Gunung Es Tersembunyi Kekerasan Seksual Pada Wanita di Indonesia

Kasus kekerasan seksual di Indonesia dipandang bak gunung es. Kekerasan seksual yang diketahui dan dilaporkan nampak sedikit, padahal ada banyak kasus yang tak tampak dan menguap. Terbaru, kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang menyita perhatian adalah kasus dugaan perkosaan di Pesantren Bandung. Bergulir di Pengadilan Kelas 1A Khusus Bandung sejak 11 November 2021. Sidang selanjutnya digelar pada 21 Desember mendatang.

Korbannya merupakan sejumlah santriwati, bahkan ada yang sampai melahirkan. Perkara dugaan pelecehan seksual ini sedang bergulir di Pengadilan Kelas 1A Khusus Bandung sejak 11 November 2021. Sidang selanjutnya digelar pada 21 Desember mendatang.

Publik sebelumnya juga dibuat meradang dengan kasus pemaksaan aborsi yang dilakukan Bripda Randy Bagus Hari Sasongko pada almarhumah Novia Widyasari. Ada pula kasus pemerkosaan oleh Ayah kepada balitanya di Lampung.

Kemudian kasus-kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang mulai terkuak seperti di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Selatan, hingga pengakuan perempuan yang ditiduri Kapolsek Parigi, Sulawesi Tengah, dengan iming-iming kebebasan sang ayah dari bui.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti menilai fenomena gunung es kasus kekerasan seksual di Indonesia terbagi menjadi dua faktor.

Yang pertama karena para korban takut berbicara atau speak up lantaran trauma dan kekhawatiran akan pandangan alias stigma sosial, dan yang kedua mandeknya proses hukum setelah korban rampung melapor. “Menjadi culture of silence. Masyarakat yang tidak abai tapi tidak memberikan ruang nyaman untuk korban untuk berbicara. Ditambah penegakan hukum kita yang lemah,” kata Khotimun.

Masyarakat, menurutnya, masih banyak yang belum memahami dengan baik terkait definisi kekerasan seksual. Akibatnya, sejumlah orang memiliki stigma buruk terhadap korban keekrasan seksual yang kemudian mengakibatkan korban memilih diam.

Sementara berbicara terkait aspek hukum, Khotimun kemudian menjelaskan, bahwa negara wajib memberikan tiga hal seperti melindungi, memenuhi, dan menghormati sebagai bentuk penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia.Namun yang terjadi saat ini, Indonesia tidak memiliki payung hukum yang jelas perihal bagaimana penyelesaian kasus kekerasan seksual beserta aksi pasca penanganan kasus seperti pemulihan kondisi fisik maupun psikis korban.

Ia mencontohkan dalam beberapa kasus yang terjadi, aparat penegak hukum tidak mengakomodir pengalaman korban. Dalam kasus ini, marak terjadi aparat kepolisian tidak melanjutkan laporan kasus kekerasan seksual sebagai tindak pidana. Temuan itu terjadi lantaran korban tidak memiliki cukup bukti, atau bahkan tindak kekerasan seksual verbal yang tidak memiliki payung hukum pasti dan spesifik. Seperti kekerasan verbal yang bisa masuk dalam kategori penghinaan sesuai KUHP, namun jarang sekali digunakan.

“Ada juga laporan kasus kekerasan seksual secara verbal, tetapi penegak hukum menganggap tidak ada sentuhan fisik sehingga tidak dianggap pelecehan,” kata dia. Ada pula kasus kekerasan seksual siber atau online seperti pelecehan lewat video call namun aparat penegak hukum masih membutuhkan saksi. Sementara menurut Khotimatun, bukti seperti layar tangkap (screenshoot) sudah cukup sebagai tuntutan kasus yang bisa diproses hukum.

Belum lagi kemudian sejumlah aparat penegak hukum yang sampai saat ini masih belum memiliki persektif korban. Ia menilai masih terdapat aparatur penegak hukum yang mengadopsi cara pandang sebagian masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual.

Padahal wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan.

Khotimun juga menyadari, dalam hukum formal yang tertuang di KUHP, pengaturan hak perempuan sebagai korban kekerasan dan hak perempuan sebagai ‘pelaku’ atau perempuan yang berkonflik dengan hukum belum cukup memadai. Hal ini juga dijelaskan dengan tidak adanya ruangan untuk aparatur penegak hukum membicarakan permasalahan kepentingan masyarakat yang mencari keadilan. Kesulitan yang dialami aparatur penegak hukum dan lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual disebabkan oleh penafsiran terhadap substansi hukum acara pidana.

“Jadi dalam waktu dekat Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) merupakan sebuah urgensi yang harus dibahas dan disahkan dengan mengakomodir suara banyak orang ya,” ujar Khotimatun.

Terpisah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin menyebutkan kasus kekerasan seksual yang dilapokan ke Komnas Perempuan meningkat tiga kali lipat sepanjang 2021 ini. Data pengaduan ke Komnas Perempuan sebelumnya juga mengalami peningkatan drastis setiap tahunnya. Peningkatan 60 persen dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020, dan tahun ini meningkat 2-3 kali lipat atau setara dengan 5.000-an kasus.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI juga mencatat adanya kenaikan dalam laporan kasus kekerasan pada perempuan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.

Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.

Melihat temuan itu, Mariana menilai bahwa kekerasan seksual khususnya pada perempuan memang masih menjadi hal yang tak terelakkan dari dulu hingga kini. Ia menilai, sejumlah orang menganggap perbuatan kekerasan seksual menjadi hal yang wajar.Bahkan pelaku seperti suami dalam sebuah rumah tangga tidak menyadari bahwa perbuatannya tergolong sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apalagi kemudian korban yang merasa tidak memiliki kuasa akhirnya memilih bungkam.

“Kekerasan seksual itu tidak ditanggapi secara serius karena budaya kita kan menganggap masalah pribadi itu masalah sendiri dan bukan masalah hukum. Kekerasan seksual, pemerkosaan, KDRT itu kan dianggap pribadi dan seperti bukan konsumsi publik,” kata Mariana. Mariana kemudian mengungkapkan sejumlah perspektif korban selama ini yang mengadu kepada Komnas Perempuan. Mereka kebanyakan baru berani speak up setelah bertahun-tahun pulih dari traumatik yang dideritanya.

Salah satu korban yang mengadu bahkan baru mengingat kejadian perkosaan yang dialaminya setelah dua tahun. Ia mampu kembali mengingat setelah mendapat stimulus dari aktivitas hipnoterapi yang diikutinya dalam sebuah perkumpulan. “Dan ada pula memang korban kalau sudah trauma ada yang sudah melupakan peristiwa itu tanpa dia sadari. Itu adalah mekanisme pertahanan hidup seseorang begitu itu yang dia lakukan,” kata dia.

Hal-hal seperti itu menurut Mariana menjadikan kasus kekerasan seksual di Indonesia bak fenomena gunung es. Masih banyak kasus yang tidak terungkap lantaran korban merasa tidak akan mendapat dukungan. Tak sedikit, korban juga merasa kebingungan untuk mulai melapor dan mendapat panduan serta perlindungan.

Sementara Komnas Perempuan menurut Mariana masih sangat terbatas kapasitasnya untuk ikut membantu menyelesaikan seluruh aduan kasus kekerasan seksual. Mulai dari relawan yang kurang hingga pendamping psikolog, khususnya di daerah-daerah rural. “Kita harus berbenah, harus disadari bahwa kasus ini korban semakin banyak dan tanggung jawab negara selain Komnas Perempuan juga dari KemenPPPA yang terlihat disepelekan kalau di struktur negara paling belakang,” kata Mariana.”Harus ada koordinasi lintas kemeterian atau lembaga seperti Kemensos untuk pemulihan korban, pendampingan, konseling. Atau dengan Kemenkes juga yang memberikan penanganan terkait kekerasan seksual yang berakibat pada fisik,” imbuhnya. Sementara dari proses penegakan hukum, Mariana tak bisa berbohong bahwa peran dan alur hukum Indonesia terhadap kasus kekerasan seksual masih belum tegak. Padahal korban memiliki HAM yang harus dipenuhi.

Hak korban tersebut adalah meliputi hak penanganan, perlindungan dan pemulihan yang bertujuan mencegah ketidak berulangan kekerasan seksual dan dampak yang berkelanjutan terhadap korban. Negara wajib memenuhi hak-hak korban dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Mariana mendorong agar pengesahan RUU TPKS mampu mengakomodir segala ‘kecacatan’ proses hukum pada korban kekerasan seksual saat ini. Ia juga meminta agar masyarakat mulai melanggengkan budaya dalam memahami perspektif korban.

Namun demikian, Mariana juga menyoroti perubahan cara pandang masyarakat akhir-akhir ini terhadap kasus kekerasan seksual di Indonesia. Melalui sosial media, nyatanya masyarakat mulai menggaungkan dukungan untuk para korban kekerasan seksual. Dengan fenomena itu, ia berharap agar pemahaman masyarakat tentang definisi kekerasan seksual juga semakin luas. Sementara para korban yang awalnya masih memilih bungkam karena takut akan ‘penghakiman sosial’ didorong untuk mulai berani speak up.

“Mungkin ini semacam evolusi informasi dan pemahaman publik, dan juga termasuk media ya. Dan juga bahkan saya lihat dalam sidang Panja Baleg DPR RI soal draf RUU TPKS, saya melihat perspektif banyak anggota itu juga lumayan, beberapa dari pandangan lelaki juga sudah lumayan memahami, akhirnya,” ujar Mariana.

Leave a comment