Monthly Archives: February 2011

Pendidikan Kewarganegaraan Yang Belum Banyak Dilakukan Di Indonesia

Bagaimana mendidik anak tentang kewarganegaraan kalau pemahaman banyak guru tentang kewarganegaraan terbatas? Bagaimana memberi pendidikan toleransi kepada anak didik kalau pemahaman guru tentang pluralisme Indonesia sangat terbatas?

Itulah ironi. ”Banyak guru bahkan tak bisa membedakan antara ’warga negara’ dari ’warga (komunitas)’ agama,” ujar Rocky Gerung, pengajar pada Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.

”Pemahaman tentang pluralitas dan pluralisme Indonesia juga terbatas,” sambung Dr Siti Musdah Mulia APU, Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Dalam Lokakarya Kurikulum dan Pelatihan Guru Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan Paramadina di Jakarta beberapa waktu lalu terkuak pengetahuan para guru tentang agama di Indonesia sangat formalistik.

Sebagian besar guru tahu ada lima agama di Indonesia, dengan Islam sebagai agama mayoritas. Jawaban itu persis seperti isi Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 18 November 1978 dan tanggal 25 Juli tahun 1990 yang menyatakan hanya lima agama diakui di Indonesia.

Tentang Konghucu, mereka mengatakan, Konghucu diakui sebagai agama dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pemerintah.

”Mereka tidak tahu tentang agama-agama lokal di Indonesia yang menurut catatan ICRP jumlahnya lebih 200 dengan lebih 10 juta penganut,” ujar Musdah. Pertanyaannya, apakah semua harus diakui dulu secara formal supaya menjadi pengetahuan para guru?

Musdah mengingatkan, ”Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penolakan permohonan peninjauan kembali UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama, April 2010, dalam pertimbangannya menyatakan, agama diakui atau tak diakui oleh negara adalah inkonstitusional.”

Sangat terbatas

Menurut Musdah, pemahaman tentang pluralitas dan pluralisme Indonesia juga masih terbatas di kalangan guru pendidikan kewarganegaraan.

”Mereka tahu ada perbedaan dan harus saling menghargai, tetapi tidak ada upaya untuk merajut perbedaan itu sebagai modal sosial agar anak mempunyai empati pada perbedaan. Upaya itu sangat penting untuk membangun keharmonisan dalam masyarakat,” lanjut Musdah.

Banyak hal menyedihkan terjadi akibat ketidakpahaman tentang hak warga negara. ”Bahkan aparat pun banyak yang tidak paham,” kata Musdah. Dia merujuk pertanyaan seorang polisi, mengapa Musdah, sebagai Muslimah, membela warga Ahmadiyah.

”Saya katakan kepada dia, ’Sebagai aparat, Anda harus melindungi semua warga negara, tanpa membedakan agama, aliran, etnis dan lain-lain’.”

Tugas guru pendidikan kewarganegaraan, seperti ditegaskan Rocky Gerung, adalah mengajari murid tentang hak dan kewajiban warga negara, bukan soal dosa-pahala. ”Kesalehan itu urusan kitab suci, bukan urusan konstitusi. Negara harus merawat warga negara. Negara tidak menilai kesalehan warga negara.”

Dalam kehidupan publik, agama adalah hak, tak ada hubungannya dengan kesalehan. ”Tidak ada warga negara yang ’saleh’ atau ’yang sesat’. Yang ada, ’taat hukum’ atau ’kriminal’,” ujar Rocky.

Namun, hari-hari terakhir ini negara gamang untuk memastikan prinsip ini. ”Padahal, justru negara didirikan untuk melindungi dan menyejahterakan seluruh warga. Negara harus mengurus keadilan di dalam negara,” tegas Rocky.

Pendidikan tentang kewarganegaraan sangat krusial. Apalagi, perlindungan kepada mereka yang dilanggar hak-haknya sebagai warga negara terkait agama dan keyakinannya tak bisa diandaikan.

Negara kerap tidak hadir dalam berbagai peristiwa kekerasan terkait hal itu. Bahkan, dari 286 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2010, menurut peneliti senior Setara Institute, Ismail Hasani, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor.

Pendidikan toleransi

Antropolog dan teolog Dr Farsijana Risakotta mengingatkan, konsep kerukunan dan toleransi, yang nilai-nilainya ada di dalam nilai kemerdekaan, seharusnya dibangun sebagai praktik hidup yang sifatnya alamiah.

”Kalau ditangani negara, ia tidak menjadi praktik hidup lagi, tetapi ideologi. Produk undang-undang terkait toleransi dan kerukunan justru akan membatasi praktik keberagaman dalam hidup,” ujar Farsijana.

Ia mengingatkan, secara budaya, ajaran ideal agama menyediakan nilai toleransi itu. Kalau sekolah tak bisa diandalkan, maka pendidikan dalam keluarga menjadi sangat menentukan untuk membangun konsep toleransi dalam imajinasi anak. ”Namun, pengalaman menegosiasikan toleransi dilakukan seumur hidup,” tegas Farsijana.

Seorang anak yang tidak terkonstruksi dengan imajinasi tentang toleransi masih dimungkinkan mengalami pengalaman toleransi ketika ia sudah dewasa. Syaratnya, anak itu terus menguji dirinya dengan konsep dan praktik toleransi yang sedang dibangunnya.

”Demi prinsip berlangsungan hidup bersama, dia harus membuka diri terhadap tenunan ruang toleransi yang terangkai dari berbagai pengalaman,” ujar Farsijana.

Menciptakan Ladang Buku Untuk Semua Orang

Kursi-kursi tertata rapi di jalanan kampung, dinaungi tenda dan dilengkapi sound system. Warga tampaknya sedang punya hajat.

Walau seluruh warga, mulai anak-anak hingga orang dewasa berdatangan, hajat itu bukan resepsi pernikahan atau sunatan massal. Acara sore itu adalah peresmian taman bacaan warga, Ladang Aksara.

Ladang Aksara merupakan hasil kerja sama warga Gunungsari 2 RT 01 RW 08 dengan Kompas MuDA Surabaya. Bagaimana hingga akhirnya Water Banders bekerja sama dengan warga Gunungsari 2?

Setelah mendapat tugas melaksanakan program tanggung jawab perusahaan (CSR) Kompas, Water Banders segera menggelar rapat, berunding taman bacaan mana yang akan dipilih untuk mendapat bantuan 1.000 buku dan dan operasional Rp 1 juta.

Setelah mendapat informasi mengenai keberadaan taman bacaan yang sesuai kriteria, yaitu minat baca tinggi tetapi sarana dan prasarana kurang memadai, Water Banders memilih tiga taman bacaan yang berpotensi untuk menjadi partner CSR Kompas.

Kompas MuDA Surabaya pun melakukan survei ketiga taman bacaan tersebut. Sebenarnya taman bacaan Ladang Aksara tidak masuk dalam daftar.

Salah satu dari ketiga taman bacaan yang disurvei adalah taman bacaan yang berada di stren kali Surabaya. Masih di wilayah Gunungsari tetapi bukan di wilayah RT 01 RW 08.

Taman bacaan tersebut berada tepat di pojok kampung dan berhadapan kurang dari 5 meter dari sungai Surabaya. Taman bacaan ini pun sebenarnya sempat ”hidup”, tapi kemudian mati suri karena manajemen yang kurang baik. Posisinya yang berada di pojok dan jauh dari jangkauan anak-anak membuat taman bacaan ini makin sepi.

Berangkat dari kondisi tersebut, pengelola taman bacaan itu kemudian mengajak Water Banders bekerja sama dengan warga Gunungsari 2 RT 01. Daerah tersebut cukup strategis untuk taman bacaan sebab berada di tengah kampung. Selain itu, keinginan warga untuk memiliki taman bacaan juga cukup tinggi. Hanya karena terkendala masalah operasional sehingga saat itu taman bacaan itu belum berdiri. Gunungsari 2 bukan kawasan penduduk menengah atas, tetapi warga di sana punya kesadaran akan pentingnya membaca.

Akhirnya Water Banders menyurvei tempat itu. Saat itu, Water Banders diterima di balai kampung, tempat di mana warga berencana mendirikan taman bacaan.

Kondisi balai kampung masih dalam tahap pembangunan. Atap masih belum terpasang semua, lantai belum jadi, dan jendela pun tak berkaca. Saat itu jujur Water Banders ragu apakah mungkin di tempat seperti ini akan didirikan taman bacaan?

Antusias warga

Namun, melihat antusiasme perwakilan warga saat Water Banders mengutarakan niat ingin membantu taman bacaan dengan memberikan 1.000 buku, keraguan itu lenyap. Gayung bersambut karena salah satu kendala warga adalah sumber buku-buku untuk taman bacaan mereka. Pak RT kemudian berjanji akan segera menyelesaikan pembangunan balai kampung.

Yang membuat kami semakin yakin memilih Gunungsari 2 adalah karena balai kampung itu dikerjakan secara swadaya oleh warga. Setiap hari Minggu, warga bergotong royong mendirikan balai tersebut.

Bahan-bahan material berasal dari warga Gunungsari 2. Inilah nilai keindonesiaan yang mulai dilupakan, gotong royong. Di saat hampir seluruh kota besar Indonesia kehilangan kearifan lokal, ternyata hal itu masih bisa ditemui di Surabaya, di Gunungsari 2.

Minat baca warga yang tinggi tetapi kurangnya sarana prasarana tidak menyurutkan niat mereka untuk mendirikan taman bacaan. Dari situlah, kami semakin yakin bahwa pilihan kami tidak salah.

Warga menunjukkan kesungguhan mereka dengan pembangunan balai kampung yang dipercepat. Dalam waktu lebih kurang satu bulan, akhirnya balai kampung tersebut jadi dan siap digunakan sebagai taman bacaan.

Sabtu sore itu, anak-anak kecil menari di panggung, menghibur warga dan Water Banders. Ladang Aksara resmi dibuka. Warga Gunungsari 2 kini telah memiliki taman bacaan yang mereka impikan.

Sukacita tampak jelas dari wajah-wajah lugu anak-anak. Tiga ratus buku yang telah diterima—pemberian buku dilakukan secara bertahap—mengundang mereka untuk membaca.

Semoga 1.000 buku yang diberikan bermanfaat untuk warga dan mampu menumbuhkan budaya baca di kalangan rakyat Indonesia, apa pun status sosial dan ekonominya.

Mari Bergaul Dengan Buku Karena Kami Cinta Membaca

Kalimat yang menjadi judul itu adalah ajakan bagi generasi muda untuk akrab dan bercengkerama dengan buku. Buku adalah kotak ajaib yang melahirkan ide-ide cemerlang bagi pembacanya sehingga tercipta karya yang menarik. MuDA cinta membaca, apalagi membaca buku-buku yang inspiratif dan bermanfaat, akan melahirkan generasi bangsa yang cerdas.

Minggu (6/2), Komandan (volunter Kompas MuDA Tanah Pasundan) bekerja sama dengan Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) menggelar Program Pengembangan Perpustakaan yang terealisasikan dalam acara ”Gaul dengan Buku, MuDA Cinta Membaca”.

Acara ini berupa peresmian Perpustakaan Corner Kompas MuDA dengan persembahan 1.000 buku dari Dana Kemanusiaan Kompas.

Acara yang berlangsung di Museum KAA ini disambut antusias oleh masyarakat, khususnya generasi muda Bandung. Kegiatan ini terselenggara berkat bantuan dari berbagai pihak, di antaranya teman-teman dari HIMA Informasi dan Perpustakaan Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayasan Mata Hati Indonesia yang nantinya akan membantu Kompas MuDA Bandung dalam menjalankan program kerjanya.

”Acaranya sangat menarik, bentuk kepedulian generasi MuDA pada minat baca. Hal yang jarang tersentuh di tengah ingar-bingar modernisasi. Kami siap membantu Kompas MuDA,” ujar Trianggoro Cahyo, Ketua HIMA Informasi dan Perpustakaan Unpad.

Pagi itu, di sepanjang Jalan Braga hingga Jalan Asia Afrika, begitu banyak kegiatan yang berlangsung. Tentu hal ini menambah semaraknya acara kami yang berada di persimpangan jalan itu.

Ini terbukti dari banyaknya peserta dan tamu undangan, mulai dari anak-anak TK, SD, mahasiswa, teman-teman tunanetra, Asian Africa Reading Club (AARC), Sahabat Museum Asia Afrika, Komunitas Anak Jalanan, Keluarga Kompas Bandung dan Jakarta, hingga adik asuh binaan kami dari Panti Asuhan Pemberdayaan Umat.

Banyak juga pengunjung yang tak sengaja ikut karena kebetulan melintas dan ingin melihat serta penasaran mengikuti rangkaian acara di teras Museum KAA itu.

”Sekarang ini jarang ada kegiatan yang mempunyai nilai edukatif seperti ini. Makanya saya dan teman-teman sengaja datang. Sukses buat Kompas MuDA,” tutur Wani Utami Putri yang hadir hari itu.

Acara dibuka dengan sambutan Ibu Elly Nugraha dari Museum KAA dan B Ikha Marlina dari Kompas. Permainan musik akustik persembahan Jantung Hati 55 oleh Kang Adew membuat acara makin meriah.

Rangkaian acara dibuat dengan sistem touring education, dimulai talkshow ”Mau Gaul? Baca Buku” oleh Pak Ahman dan Endang B. Peserta juga mengikuti kegiatan Peresmian 1.000 Buku dan Corner Kompas Muda yang ditandai pemotongan pita oleh Pak Dedy Sutardi, perwakilan Museum KAA, dan Mbak Renny.

Peserta kemudian mengikuti tur di Museum KAA untuk mendapatkan pengetahuan tentang Konferensi Asia Afrika hingga berhenti di Gedung Merdeka untuk menonton film edukasi. Dilanjutkan dengan diskusi membahas pentingnya sejarah perdamaian dunia dan peranan buku yang menjadi bagian penting untuk mendapatkan informasi tentang apa pun.

Penutupan acara berlangsung meriah, diiringi musik rada keroncong yang Indonesia banget dari Sundazee para mahasiswa UPI.

Minat Baca Buku Berbahasa Daerah Sangat Rendah

Minat baca masyarakat terhadap buku berbahasa daerah, termasuk bahasa Sunda, masih sangat minim. Hal itu rentan menurunkan produktivitas pembuatan karya sastra hingga menghambat pelestarian karya sastra berbahasa daerah.

”Buku fiksi berbahasa Sunda sepertinya semakin kehilangan peminat. Kini, penerbit buku berbahasa Sunda lebih banyak diselamatkan kewajiban pembuatan buku bahasa Sunda untuk muatan lokal pelajaran di sekolah,” kata Direktur CV Geger Sunten Taufik Faturochman di Bandung, Sabtu (12/2).

Taufik khawatir dengan minat membaca buku bahasa daerah yang semakin rendah akan berdampak lebih besar, seperti hilangnya minat penulis membuat karya sastra berbahasa Sunda atau semakin minimnya penggunaan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Bila kekhawatiran itu terjadi, Taufik yakin hal itu adalah kerugian besar.

”Penulis pasti akan kehilangan semangat karena bekerja sebatas panggilan hidup tanpa keuntungan. Saat ini, rata-rata penerbit hanya mencetak 5-10 judul buku berbahasa daerah per tahun. Untuk satu buku dengan cetak awal sebanyak 2.000 eksemplar, biasanya baru terjual habis setelah empat tahun,” kata Taufik.

Akan tetapi, Taufik mengakui terbantu proyek pembuatan buku pelajaran bahasa daerah pemerintah daerah Jabar tahun 2010 untuk muatan lokal di sekolah. Pemda Jabar menganggarkan proyek pembuatan buku pelajaran berbahasa Sunda dengan dana Rp 5 miliar per tahun. Proyek itu disebarkan pada 30 penerbit dengan masing-masing berkewajiban mencetak 4.400 eksemplar.

”Namun, kami tidak bisa memprediksikan apakah hal itu akan terus terjadi atau tidak meski sejak awal kami sadar berkecimpung dalam penerbitan bahasa Sunda adalah panggilan hidup dan bukan tempat mencari uang,” katanya.

Sarat pesan

Penulis buku berbahasa Sunda, Dhipa Galuh Purba, prihatin dengan masa depan buku dan karya sastra Sunda ini. Alasannya, banyak buku berbahasa Sunda tidak sekadar memperkenalkan penggunaan tata bahasa Sunda, tetapi sarat pesan menjaga lingkungan sekitar hingga tatanan perilaku. Oleh karena itu, bila minat baca semakin rendah, maka media sosialisasi bagi masyarakat menggunakan buku akan berkurang.

”Menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua bagaimana caranya meningkatkan minat baca pada buku berbahasa Sunda. Di antaranya metode bahasa yang lebih sederhana dan ide cerita yang mudah dicerna para pembaca.

Menurut Ketua Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) Etti RS, usaha penerbitan buku berbahasa Sunda harus ditingkatkan. Alasannya, minat dan bakat para pengarang Sunda sebenarnya masih tinggi. Mayoritas masih berusaha mempertahankan semangatnya meski pendapatan atau royalti yang mereka dapatkan terbilang sangat minim.

Ia mencontohkan jumlah pengarang Sunda yang bergabung bersama PPSS sekitar 100 orang. Ia memperkirakan, masing-masing masih memiliki naskah fiksi atau nonfiksi berbahasa Sunda yang menunggu untuk diterbitkan.

Bahasa Indonesia: Arti Kata Politikisasi

Ketika seorang pejabat tinggi Batak mengusulkan pemberian gelar Raja Batak kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama berselang, banyak orang sesukubangsanya yang kaget dan marah. Mereka langsung berdemo melancarkan tuduhan politisasi dengan lantang dan garang.

Anggapan mereka, si pengusul sedang mengejar keuntungan politik dengan mengorbankan budaya leluhur dan mengabaikan pendapat mayoritas masyarakat Batak.

Bulan sebelumnya, di tengah euforia langka sepak bola, Golkar meraup tuduhan politisasi ketika pemain-pemain Tim Nasional PSSI yang sedang berjuang meraih posisi nomor satu di Asia Tenggara, tiba-tiba diundang ke rumah sang ketua partai. Padahal, lebih baik mereka bermandi keringat di lapangan rumput atau melepas lelah di kamar sendiri. Sampai-sampai sang pelatih yang penuh dedikasi dari negeri seberang bersitegang leher memendam murka.

Memang kata politisasi umum dipakai dalam arti negatif. Kata itu lazim diteriakkan ketika pejabat dan orang partai dianggap tidak tulus, berusaha mengukuhkan kekuasaan politik diri dengan mengorbankan orang banyak atau menyelewengkan makna sejati suatu situasi yang sebetulnya tidak bernilai politis. Tentu saja si penuduh juga tak luput dari tuduhan balik bahwa mereka sendiri melakukan politisasi dengan cara menuduh orang lain berpolitisasi!

Politisasi diambil persis dengan makna konotatifnya dari kata Inggris politicization. Politisir dari Belanda sudah diapkir. Arti denotatif to politicize adalah menjadikan sadar politik atau menjadikan bersifat politik. Jadi tidak dengan sendirinya buruk negatif, tapi dalam pemakaian umum hampir selalu.

Entah bagaimana, bentukan sederhana politic+ization mengalami sunatisasi hingga lahirlah politisasi, bukan yang seharusnya politikisasi atau politisisasi. Kedua pilihan yang lebih tepat ini muncul karena ada keraguan tentang keabsahan akhiran non-Melayu yang berarti menjadikan itu.

Apabila –isasi dianggap baku, politikisasi sudah pas. Bila tidak, bentukan Inggris diambilalih seluruhnya, politisisasi. Ini analogis dengan standardisasi yang diambil komplet dari standardization dan bukan dari gabungan standar+isasi. Kalau pembaca termasuk pembenci –isasi, bolehlah pakai kata pemolitikan. Sayang ini kurang laku.

Politisasi haruslah dianggap berasal dari polit+isasi, atau politization. Ini meruwetkan perkara karena walaupun politization tidak baku, to politize sebetulnya ada, tetapi artinya lain. Menurut Oxford English Dictionary, ia berarti menjadikan (seseorang) warganegara, menangani sesuatu secara diplomatis, atau menjalin hubungan politik dengan. Sedangkan menurut Webster, artinya berbalah seperti politikus. Kata ini sudah sekarat, tiada lagi penuturnya. Hari ini, hanya kamus-kamus raksasa yang masih ingat to politize.

Hampir pasti politisasi salah kaprah akan terus menghiasi spanduk protes dan judul berita karena politikus di mana-mana memang doyan politikisasi. Sementara itu, Indonesianisasi istilah asing masih karut. Perlu matangisasi.

Samsudin Berlian Penyuka Bahasa

Seoul Woman University Berkunjung ke IPB Untuk Belajar Budaya

Mahasiswa asal “Seoul Woman University” Korea Selatan berkunjung ke kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam rangka pertukaran budaya antara kedua negara.

Kepala Humas IPB Ir Henny Windarti, MSi di Bogor, Jumat 4 Februari 2011 menjelaskan, mahasiswa dari Korea Selatan itu berjumlah 10 orang.

Rombongan dari negeri “Ginseng” itu saat datang ke IPB disambut Direktur Kemahasiswaan Dr Rimbawan, Kasubdit Program Internasional Dr drh Moh Agil, M.Agr, dan Presiden Mahasiswa BEM KM IPB Reza Pahlevi.”Mereka berkunjung selama delapan hari pada pertengahan Januari 2011 ke IPB dan beberapa tempat kebudayaan di Bogor,” katanya.

Sementara itu, penanggung jawab kegiatan pertukaran budaya “Seoul Woman University” dan IPB Daniel Naek Chrisendo menjelaskan, selama di IPB mereka melakukan beberapa atraksi budaya dalam rangka saling memperkenalkan budaya dari kedua negara. “Program mereka sangat panjang di Indonesia, selain di IPB mereka juga akan mengadakan program mengajar di beberapa sekolah,” katanya.

Dalam kunjungan tersebut, katanya, delegasi mahasiswa Korea Selatan itu memperkenalkan budayanya di antaranya pengenalan olah raga tradisional, permainan tradisional, masakan tradisional, baju adat, dan sebagainya.

Selain itu, mereka juga akan mengunjungi beberapa tempat wisata yang mencirikan budaya atau salah satu budaya di Indonesia, misalnya dengan berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Pada kunjungan itu, delegasi juga datang ke kampung Sunda Sindang Barang.”Di kampung Sunda mereka berharap untuk bisa mengikuti upacara adat panen padi, dan juga bisa mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat Sunda,” katanya.

Pihaknya mengharapkan dengan adanya pertukaran budaya dua negara, yaitu Korea – Indonesia ini, bisa ikut membantu pemerintah dalam mempromosikan budaya Indonesia kepada negara lain.