Bagaimana mendidik anak tentang kewarganegaraan kalau pemahaman banyak guru tentang kewarganegaraan terbatas? Bagaimana memberi pendidikan toleransi kepada anak didik kalau pemahaman guru tentang pluralisme Indonesia sangat terbatas?
Itulah ironi. ”Banyak guru bahkan tak bisa membedakan antara ’warga negara’ dari ’warga (komunitas)’ agama,” ujar Rocky Gerung, pengajar pada Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.
”Pemahaman tentang pluralitas dan pluralisme Indonesia juga terbatas,” sambung Dr Siti Musdah Mulia APU, Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Dalam Lokakarya Kurikulum dan Pelatihan Guru Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan Paramadina di Jakarta beberapa waktu lalu terkuak pengetahuan para guru tentang agama di Indonesia sangat formalistik.
Sebagian besar guru tahu ada lima agama di Indonesia, dengan Islam sebagai agama mayoritas. Jawaban itu persis seperti isi Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 18 November 1978 dan tanggal 25 Juli tahun 1990 yang menyatakan hanya lima agama diakui di Indonesia.
Tentang Konghucu, mereka mengatakan, Konghucu diakui sebagai agama dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pemerintah.
”Mereka tidak tahu tentang agama-agama lokal di Indonesia yang menurut catatan ICRP jumlahnya lebih 200 dengan lebih 10 juta penganut,” ujar Musdah. Pertanyaannya, apakah semua harus diakui dulu secara formal supaya menjadi pengetahuan para guru?
Musdah mengingatkan, ”Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penolakan permohonan peninjauan kembali UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama, April 2010, dalam pertimbangannya menyatakan, agama diakui atau tak diakui oleh negara adalah inkonstitusional.”
Sangat terbatas
Menurut Musdah, pemahaman tentang pluralitas dan pluralisme Indonesia juga masih terbatas di kalangan guru pendidikan kewarganegaraan.
”Mereka tahu ada perbedaan dan harus saling menghargai, tetapi tidak ada upaya untuk merajut perbedaan itu sebagai modal sosial agar anak mempunyai empati pada perbedaan. Upaya itu sangat penting untuk membangun keharmonisan dalam masyarakat,” lanjut Musdah.
Banyak hal menyedihkan terjadi akibat ketidakpahaman tentang hak warga negara. ”Bahkan aparat pun banyak yang tidak paham,” kata Musdah. Dia merujuk pertanyaan seorang polisi, mengapa Musdah, sebagai Muslimah, membela warga Ahmadiyah.
”Saya katakan kepada dia, ’Sebagai aparat, Anda harus melindungi semua warga negara, tanpa membedakan agama, aliran, etnis dan lain-lain’.”
Tugas guru pendidikan kewarganegaraan, seperti ditegaskan Rocky Gerung, adalah mengajari murid tentang hak dan kewajiban warga negara, bukan soal dosa-pahala. ”Kesalehan itu urusan kitab suci, bukan urusan konstitusi. Negara harus merawat warga negara. Negara tidak menilai kesalehan warga negara.”
Dalam kehidupan publik, agama adalah hak, tak ada hubungannya dengan kesalehan. ”Tidak ada warga negara yang ’saleh’ atau ’yang sesat’. Yang ada, ’taat hukum’ atau ’kriminal’,” ujar Rocky.
Namun, hari-hari terakhir ini negara gamang untuk memastikan prinsip ini. ”Padahal, justru negara didirikan untuk melindungi dan menyejahterakan seluruh warga. Negara harus mengurus keadilan di dalam negara,” tegas Rocky.
Pendidikan tentang kewarganegaraan sangat krusial. Apalagi, perlindungan kepada mereka yang dilanggar hak-haknya sebagai warga negara terkait agama dan keyakinannya tak bisa diandaikan.
Negara kerap tidak hadir dalam berbagai peristiwa kekerasan terkait hal itu. Bahkan, dari 286 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2010, menurut peneliti senior Setara Institute, Ismail Hasani, terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor.
Pendidikan toleransi
Antropolog dan teolog Dr Farsijana Risakotta mengingatkan, konsep kerukunan dan toleransi, yang nilai-nilainya ada di dalam nilai kemerdekaan, seharusnya dibangun sebagai praktik hidup yang sifatnya alamiah.
”Kalau ditangani negara, ia tidak menjadi praktik hidup lagi, tetapi ideologi. Produk undang-undang terkait toleransi dan kerukunan justru akan membatasi praktik keberagaman dalam hidup,” ujar Farsijana.
Ia mengingatkan, secara budaya, ajaran ideal agama menyediakan nilai toleransi itu. Kalau sekolah tak bisa diandalkan, maka pendidikan dalam keluarga menjadi sangat menentukan untuk membangun konsep toleransi dalam imajinasi anak. ”Namun, pengalaman menegosiasikan toleransi dilakukan seumur hidup,” tegas Farsijana.
Seorang anak yang tidak terkonstruksi dengan imajinasi tentang toleransi masih dimungkinkan mengalami pengalaman toleransi ketika ia sudah dewasa. Syaratnya, anak itu terus menguji dirinya dengan konsep dan praktik toleransi yang sedang dibangunnya.
”Demi prinsip berlangsungan hidup bersama, dia harus membuka diri terhadap tenunan ruang toleransi yang terangkai dari berbagai pengalaman,” ujar Farsijana.