Monthly Archives: December 2011

Kumpulan Terbaru Puisi Baequni M Haririe

HARI JUM’AT

Jum’at
Maksiat dan munajat
Bersekat-sekat
Barangkali setipis selaput dara
Segala dosa dan doa
Membungkus jua

Jum’at
Malam dan siang
Bergantian
Barangkali soal waktu
Segalanya diburu
Terbungkus nafsu

Jum’at
Lelaki dan perempuan
Berkelamin
Barangkali soal keintiman
Menjadi halal dan haram
Dibungkus berkelanjutan

Membungkusi nikmat
Atas curahan jum’at

Cirebon, 27052010

DI TELAGA REMIS

Desahmu begitu nyaring sewaktu di Telaga
Nafasmu dingin, datang bersama angin
Entahlah, bila semua itu kau tujukan padaku
Aku tak tahu, tiba-tiba saja seperti ada yang meronta
Berusaha terlepas dari keangkuhan batu-batu tua

Rupanya dirimu yang bersemayam di sana
Berapa waktu dan berapa tamu menjadi tak perlu
Karena yang kau tunggu sepertinya diriku

Seingatku, aku sama sekali tak membakar dupa
Atau membaca mantra dulu untuk datang ke Telaga
Aku menyambangi tempat itu untuk mengenang
Dimana hasratku waktu dulu begitu menyatu
Dengan semua jenis daun dan bebatuan di situ

Suaramu tak teratur ketika menyambutku
Gemericik air menggemakan sendiri suaranya
Percik air yang menyentuhku pun begitu mesra
Mengalahkan rindu yang kau muliakan layaknya dewa

Kini, Telaga itu kembali pasrah
Seperti semula, semuanya menjadi kasat mata
Batu, daun, titik air dan kesejukan
Saling menyapa bergantian

Cirebon, 2010

_____Telaga Remis: sebuah objek wisata yang terletak di Desa Kaduela, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Jaraknya kurang lebih 37 km ke arah utara dari kota Kuningan dan kurang lebih 13 km kea rah selatan dari kota Cirebon. Terletak lebih 20 km dari kota Cirebon ke arah Majalengka, telaga ini tersembunyi di antara rerimbunan pohon pinus dan bebatuan cadas. Telaga yang asri dan sejuk ini belum tersentuh pengelolaan yang baik.

KESUCIAN

Kerut di lehermu
Seolah memberitahu
Betapa kehangatan
Dapat diterjemahkan

Rekah bibirmu
Pun memberitahuku
Betapa kerinduan
Dapat dilumatkan

Tidak pada matamu
Yang enggan terbuka
Justru dengan terpejam; katamu
Adalah tanda ketulusan dan kenikmatan

Tidak semata-mata
Musabab waktu yang lama
Dapat merubah ritme desah
Kadang sayup
Kadang samar
Kadang lirih
Kemudian diam
Dan terekam sepanjang malam

Tidak, bukan itu; katamu
Kesucian yang kau inginkan

Cirebon, 2010

KEPADA SIAPA AKU BERTANYA

Bertahun-tahun kita merayakan
Berulang-ulang meritualkan panjat pinang
Berkibar-kibar merah-putih kembali terpasang
Dimana-mana kita lantunkan Tujuh Belasan

Kawan,
Sebenarnya kita sedang memerdekakan apa?

Cirebon, 17082010

KARENA SENYUM

Ingin kudekati dirimu
Saat dimana kau sedang tertidur
Dengan wajah yang tulus
Dan separuh jiwamu terbang
Entah kemana
Bertemu dengan siapa
Atau sedang mengelana
Jauh ke segala arah

Ingin kudekap hatimu
Saat dimana kau sedang tertidur
Dengan detak jantung yang teratur
Dan separuh nafasmu memanduku
Untuk menunggu
Entah di mana
Di bahu atau di dadamu
Hingga sebelum fajar
Aku dibangunkan oleh senyum
Dari sisa bibirmu yang ranum

Cirebon, 23092010

DZIKIR KOPI

Hitam adalah nyawamu
Air panas lalu gelas
Menyetubuhimu senafas demi senafas
Pada keikhlasanmu, tuan dan permaisuri
Ia menyeduh banyak arti

Kental, pahit, manis dan pekat
Layaknya fase rapalan tirakat
Sendiri, berdua atau bersama-sama
Hitam, coklat atau bercampur susu
Dzikirnya tetaplah syahdu dan khusyu’

Sesekali, nyawamu menghangatkan tembakau
Yang dihembuskan mesra dingin danau
Atau ia dilepaskan di puncak gunung
Atau di gubuk sawah atau di pojok kampung
Atau di tengah hiruk-pikuk kota
Bahkan di ranah yang lebih hitam
Pagi, siang, sore maupun malam
Kemarau, cerah atau saat hujan
Nyawamu selalu bergentayangan

Kopi, dalam mantra jiwa
Dikutuk hanya bagi pecinta

Cirebon, 29092010

JUDUL MENYUSUL

Berjanjilah nanti di depan kuburku, sebagai perempuan tangguh. Menjadi seorang bunda dari cakrawala cinta. Deru angin sesungguhnya tak sengaja melepaskan gemuruh batin atau mengirimkan wangi kelabu kepadamu. Itu hanya tanda, betapa kesempurnaan adalah Tuhan. Bersaksilah nanti di depan kuburku, bahwa namaku dari ketidaksengajaan dan kini pantas untuk dibenamkan. Kau menunggu pelangi, dan aku mati.

Cirebon, 19102011

JALAN PEMUDA

Kopi hitam ini pahit, padahal telah kuaduk dengan manis senyummu. Di tepian jalan, aku tak bisa membedakan lagi; mana asap rokok dan asap dari kebisingan itu. Penjaga Cafe memotong daun, menyiramkan air, merawat tetumbuhan agar terus berdzikir. Aku masih di sini. Mencairkan hiruk-pikuk jalanan yang padat. Terik mentari kian menyilaukan, kursi dan meja begitu kaku memamerkan lapisan debu. Kau tahu, aku masih di sini. Di sebelah ada yang berulang tahun, entah yang keberapa, tubuhnya basah. Tapi ia sumringah ditasbihkan teman-temannya sebagai lelaki paling bahagia. Setidak-tidaknya untuk hari ini, semoga sampai akhir hayatnya. Dengarlah, aku masih di sini. Merekam segala harapan dan penantian. Pisang goreng tinggal satu, sendok dan garpu seolah buntu, tak bisa lagi menghidupkan rindu. Perlahan-lahan langit mulai menua. Aku, masih terus menantang senja. Segelintir karyawan curiga, seperti menyimpan gelisah yang sama. Maka, aku pergi dari sini, mengikuti angin barat yang katanya sedang sekarat. Tuhan, aku tinggalkan kopi hitam untukMu.

——–

Baequni M Haririe, lahir di Cirebon, 19 Juli 1975. Senang menulis puisi, cerpen dan novel serta melukis. Sampai saat ini aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS).

Cerpen: Kembang Desa Akhirnya Pulang Kampung

Dusun Adem Ayem digegerkan oleh kedatangan Yuni Amperawati mantan kembang desa puluhan tahun silam. Tak seorangpun tahu kapan Yuni meninggalkan kampung. Ibunya menangis dan hanya bilang Yuni pergi merantau, entah ke Arab, Taiwan, Jepang, atau hanya ke Jakarta. Kala itu banyak pemuda dusun patah hati. Dan kini ketika Yuni pulang — tak seorangpun mengendus kehadirannya kecuali sisa-sisa kecantikan yang masih terpancar di wajah dan tubuhnya.

Warga dusun Adem Ayem amatlah bersahaja, sopan, dan religius. Pak Kyai Joko sebagai panutan dan pengayom warga dusun punya peran penting dalam menjaga keharmonisan hidup sehari-hari. Hanya bu Sastro, istri Pak Kepala Dusun agak terganggu dengan kepulangan Yuni.

Tak butuh waktu lama Yuni dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pernah jadi kesehariannya. Selain ramah, Yuni kini menjadi seorang wanita yang sublim dan mandiri. Ia tak segan mengulurkan tangan membantu yu Warti memasak untuk santri Pak Kyai.

Kebiasaan di dusun Adem Ayem, hari Minggu pagi, Ibu-ibu mencuci pakaian di sungai, bapak-bapak memandikan kerbaunya, sementara anak-anak cebur – cebur-an, mandi telanjang. Beratraksi salto, menukik, atau pantatnya menghantam air hingga mengeluarkan bunyi berdebam. Yuni tersenyum melihat tingkah polah anak-anak.

Maklum anak-anak, tak ada rasa risih walau mereka telanjang bulat dan alat kelaminnya lari kemana-mana. Tabu ketika mereka sudah akil baliq, dan alat tersebut sudah bisa berfungsi sebagai alat reproduksi. Dalam bahasa jawa, sebutan thithit — berubah menjadi “anu”, ya karena “anu” tidak layak diucapkan secara terang-terangan, tertulis, atau di depan publik. Dan mengenai “anu” inilah biang keladi Yuni mendapat masalah yang membuat geger dusun Adem Ayem.

Kejadiannya bermula saat Pak Kyai Joko mengadakan pengajian di suraunya. Semua santri dan warga dusun Adem Ayem hadir bersimpuh di atas tikar, menyimak tausiyah Pak Kyai yang bersuara bariton empuk. Semilir angin malam itu sesekali membawa bau kotoran sapi dari kandang belakang milik pak Kyai. Tapi itu tak mengurangi suasana syahdu yang menenangkan hati. Yuni ikut hadir, khidmat memperhatikan ajaran Pak Kyai.

Tiba-tiba ada seekor lalat Ijo hinggap di jidat Yuni, barangkali kabur dari kandang sapi di belakang rumah Pak Kyai. Dan Atun yang berada di sebelah Yuni tiba-tiba secara reflek menepuk lalat itu. Warga yang hadir tak mengetahui kejadian itu sampai Yuni berteriak kaget, “ Eh.. Anu … anu …..(menyebut alat vital laki-laki dewasa).. eeh anu … Ya Tuhan …. maaf.”

Semua hadirin tersentak kaget. Pandangan mereka mengarah ke Yuni yang tertunduk malu. Bu Sastro istri pak Kadus memandang Yuni dengan jijik. Di tengah suasana khusuk menghadapkan diri kepada Tuhan, terselip kata-kata tak senonoh keluar dari mulut Yuni, tentang alat kelamin laki-laki dewasa..

Konon kebiasaan “latah” adalah bentuk pertahanan diri ketika ia kaget atau sering dikageti. Insting itu tersambung cepat ke kosa kata di otaknya, entah itu punya arti menyenangkan, lucu, atau bahkan traumatis. Hal itu sangatlah alamiah dan dapat dimaklumi. Tapi jika itu terjadi pada acara suci keagamaan apakah itu bisa dimaklumi? Yuni kini menanggung semua akibatnya.

Keesokan paginya berita itu cepat menyebar. Ibu-ibu yang tadinya akrab kini menjaga jarak, saling berbisik, dan menghindar. Tak butuh waktu lama, beredarlah rumor kalau Yuni adalah perempuan nakal yang suka mangkal di warung remang-remang, menunggu supir-supir truck melepas lelah, sambil menawarkan tubuhnya dengan genit. Rumor tak berhenti di situ, sebaliknya malah tambah hebat, ada pihak ketiga yang sengaja menghembuskannya. Bu Kadus sendiri tampak vokal seolah dia sedang mensosialisasikan program kesejahteraan keluarga layaknya Pos Yandu.

Yang bikin Yuni jengkel, anak-anak kini sering mengageti dirinya, entah Ia sedang di pekarangan, di sungai, atau di jalan. Latah joroknya jadi kumat, anak-anak tertawa, sambil berlari-lari dan ikut menirukan latahnya. Ibu-ibu yang mendengar mengingatkan, “ Eeeh bocah-bocah jangan ngomong saru yaaa.”

Para orang tua kewalahan dan mengadu pada Pak Sastro. Yuni tepekur sedih. Ia tak mau lagi terusir dari dusun Adem Ayem seperti dulu. Ya.. Yuni ingat waktu remaja dulu, ketika Wati anak Pak Yudo Kadus jamannya, selalu merasa iri pada dirinya. Ketika ia menjadi juara kelas mengalahkan Wati, menjadi penari kebanggaan warga dusun, dan yang paling telak adalah Sastro — ketua pemuda dusun — yang lebih memilih dirinya daripada Wati anak Pak Kadus.

Hingga pada suatu hari kejadian luar biasa terjadi, waktu Ia diminta membantu pernikahan Tatik anak pak Kadus yang tertua, dan ketika perhiasan emas dan uang seserahan dari mempelai pria itu tiba-tiba hilang berpindah tangan dan secara ajaib berada di dalam saku jaketnya yg digantungkannya di kamar rias. Maka dia mengerti bahwa Wati telah menjebaknya. Dan akhirnya dengan penyelesaian “kekeluargaan” Yuni terpaksa meninggalkan dusunnya, meninggalkan Sastro dan segala impian indah masa depannya.

*****

Bu Sastro alias Wati istri pak Kaduslah yang kini paling vokal bersuara. Kepada suaminya ia berkata, “Semenjak kedatangan Yuni, dusun kita jadi berubah tidak tentram, pakne.”

Pak Sastro yang melihat gelagat buruk Bu Sastro menghela nafas panjang. Ia tahu Yuni adalah pribadi yang baik hati. Ia lantas teringat kejadian puluhan tahun silam, ketika masa remaja, ketika Yuni telah mencuri hatinya, dan itu membuat Wati cemburu. Dan rasa cinta yang baru mekar itu tiba-tiba layu ketika Yuni meninggalkan dusun Adem Ayem dengan tiba-tiba, tanpa pamit, sepertinya ada sesuatu yang janggal dengan kepergiannya.

“ Ya nanti aku tak “rembugan” dengan dik Joko.”

“ Pak ne tau apa? Diusir saja, demi ketentraman warga dusun.”

“ Ya ojo kesusu to bu.”

“ Pokoknya lebih cepat lebih baik, pakne.”

Pak Kadus segera menyuruh pembantunya memanggil Kyai Joko. Diantara pembicaraan bertiga, Pak Kyai menengahi, “ Janganlah kita berburuk sangka dulu, bu. Lebih baik kita “khusnudzon” saja. Semua orang tempatnya salah, tetapi sebaik-baik orang yang berbuat banyak kesalahan itu adalah orang-orang yang banyak bertaubat.”
“ Dik Joko tahu, si Kelik tukang ojeg yang mangkal di terminal itu bilang kalo Yuni suka mangkal di warung-warung pangkalan truk. Nama dusun kita akan cemar. Ibu-ibu PKK mulai cemas lho dik Joko. Khawatir kalau nanti Yuni menggoda suami – suami mereka.”
“Ya sabar bu Sastro…. Boleh jadi kita membenci sesuatu, padahal kita tidak tahu bahwa sesungguhnya itu amat baik bagi kita. Dan belum tentu apa yang menurut kita baik, padahal sebetulnya itu hal yang buruk bagi kita. Allah Maha Mengetahui. Saya akan berbicara dengan Yuni bu Sastro…”

*******

Dan mulailah Kyai Joko, atas permintaan Pak Kadus, menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Dalam pembicaraan di surau Kyai Joko yang mengenyam pendidikan keguruan di IKIP menerapkan pendekatan psikologis pengajaran untuk menghilangkan “latah”nya Yuni.
“Jeng Yuni, kebiasaan latah jorok yang keluar dari mulutmu sudah membuat warga Adem Ayem geger.”
“Iya Pak Kyai, mohon maaf. Saya harus bagaimana? Apapun akan saya kerjakan asalkan saya jangan diusir dari dusun Adem Ayem. Saya ingin menghabiskan masa tua dan mati di dusun ini.”
“ Baiklah saya akan bantu, coba jeng Yuni…. bagaimana kalau yang sudah-sudah itu, latahnya lebih baik diganti dengan menyebut asma Allah. Subhanallah boleh. Masya Allah boleh. Atau Allahu Akbar. Setuju?”
“ Ya ya ya Pak Kyai. Saya akan mencoba …”

Dan ketika Pak Kyai Joko mencoba mengageti Yuni, dan kebiasaan latah joroknya masih tetap saja, Pak Kyai hanya geleng-geleng kepala sambil tersipu malu. Orang-orang yang lewat di depan surau dan mendengar tersenyum kecut.

Mungkin besok bisa berubah, atau minggu depan. Dan ketika sampai berhari-hari Yuni tak bisa melepas kebiasaanya, maka Pak Kyai tak kehilangan kesabarannya.

Ia kemudian membuat target antara, dengan membelokkan latah joroknya menjadi Eh copot .. copot. Ya… ia sering melihat orang-orang yang latah mengucapkan kalimat seperti itu. Hal yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi Adi Bing Slamet lewat lagu Mak Inemnya waktu kecil.

Akhirnya, walau memakan waktu lama, ternyata usaha itu berhasil. Pak Kyai Joko merasa senang. Juga Yuni. Kini kalau ada sesuatu yang mengejutkan Yuni maka kata-kata yang keluar adalah:” Eh copot ..copot”, bukan latah jorok yang dulu “Eh ..anu … anu.”

Mendengar itu Pak Kadus ikut senang, anak-anakpun juga senang dan sekarang mereka mengikuti latah barunya Jeng Yuni, eh copot…copot, sambil tertawa-tawa gembira. Ibu-ibu dusun Adem Ayem menjadi tenang, hanya Bu Kadus seorang diri merasa sebaliknya.

Bersyukur dan berbahagialah seseorang yang dibimbing alim ulama, yang selalu mengajarkan suri tauladan, kebaikan, cinta kasih, tata krama, sopan berbahasa, budi pekerti dan berkaca diri. Yuni merasakan kehadiran Kyai Joko sangat dekat dalam dirinya.

**********

Di sela-sela waktu longgar seputar surau siang itu, Pak Kyai Joko sedang terlibat pembicaraan dengan Yuni . Kali ini tidak lagi membahas “latahnya” melainkan hal lain.

“Jeng Yuni masih kayak dulu lho, awet muda… Resepnya apa? Mbok aku dikasih tau.”

Yuni kaget dengan pertanyaan itu. Ia tak menyangka ucapan Pak Kyai akan seperti itu. Jangan-jangan kebiasaan joroknya selama ini mengakibatkan timbulnya kegelisahan terpendam pada diri Pak Kyai. Tapi ingatan Yuni langsung melayang ke masa mudanya ketika si Joko, adik kelasnya waktu di SMP dulu terlihat mencoba mendekati dirinya. Yuni ingat ketika Joko memboncengkan dirinya dalam karnaval sepeda 17 an. Juga beberapa kali pernah datang ke rumahnya.
“Aah bisa aja Pak Kyai, hmmm resepnya apa ya?? Hehehe”
“Wah ternyata sudah lama kita nggak ketemu yaa jeng … ayo crita pengalaman merantaumu. Aku ingatnya dulu waktu zaman SMP, he he he. Jangan ngomong siapa-siapa ya jeng Yuni, aku dulu pengagum gelapmu lho.”

Dan ketika Yuni memahami bahwa Pak Kyai berubah menjadi sedikit kekanak-kanakan, tersipu-sipu malu. Ia tak merasa kehormatan Pak Kyai menjadi luntur. Semua laki-laki dewasa pada dasarnya adalah kanak-kanak yang butuh perhatian, kasih sayang, dan pelayanan. Apalagi Pak Kyai statusnya masih single belum menikah. Yuni tetap menghormati Pak Kyai sebagai panutan moral warga dusun Adem Ayem.
“Boong banget seeh …. puacarmu kan segudang…eh becanda Pak Kyai.. Aku sudah tua loh,” Yuni tersipu dan tiba-tiba ia berbicara dalam logat Betawi, barangkali dia pernah merantau di sana.

Suasana sangat akrab dan tidak formil,“ Kalo ingat jaman dulu lucu ya jeng Yuni. Waktu “mboncengin” kamu naik sepeda senangnya minta ampun. Tapi habis itu bingung mau gimana?? He he he cinta monyet …, belum ngerti jurus-jurus merayu wanita. Jadinya diam saja, dipendam. Eeh ini jangan dimasukan hati ya, Jeng. Ini cuma pengakuan saja “
“Ha ha ha lucu….lucu…., iya … iya tenang saja Pak Kyai, kita kan bukan hanya sudah dewasa tapi “wis tuwo”, sudah tua, hehehe..Cerita seperti ini kan jaman dulu Pak Kyai.”

Pak Kyai agak tersipu, kemudian ia mencoba bersikap bijak,“Iya bener jeng Yuni, kita sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kadang kita hampir menyerah pada kenyataan pahit, tapi kemudian bangkit dengan semangat. Kadang juga kalau kita kembali ke jaman kanak-kanak, rasanya semuanya indah, penuh tawa dan canda. Dan cukuplah itu sebagai kenangan indah saja. Terlalu indah untuk menjadi nyata jeng Yuni …”
“Oh, jadi kalau sekarang Pak Kyai “udah canggih” ya cara merayunya.. hahaha. Ini becanda lho Pak Kyai.” terlihat Yuni mulai nyaman dengan gerak gerik dan ucapannya. Terlihat dia bisa mengendalikan keadaan.

Dan kini Pak Kyai Joko tak bisa menahan perasaan hatinya, lalu mengungkapkan dengan jujur apa yang pernah dia alami sewaktu muda dulu,“ He he he sebenarnya dulu itu aku pingin deket denganmu cuma aku nggak tau “piye carane”, bagaimana caranya? Pernah aku beberapa kali main ke rumahmu cuma kok aku jadi tambah bingung he he he. Mungkin salah satunya karena kamu kakak kelasku, dan juga waktu itu Mas Sastro yang ketua pemuda desa itu tergila-gila padamu — jadi aku minder. Kalo sekarang, mungkin kita sudah sama-sama dewasa, jadi ya yang ada sekarang adalah rasa hormat, rasa saling menghormati.”

“Pak Kyai, sebenernya aku juga inget banget kejadian waktu “kita” masih SMP. Seandainya waktu bisa diputar kembali….”

Seolah Pak Kyai faham film tv Time Tunnel alias Lorong Waktu jaman kecil dulu, dan ketika dia mahasiswa belajar agama dan memahami bahwa Lorong Waktu hanyalah angan-angan belaka, tapi dengan maksud tak serius dia menjawab, “Ahh masak siy jeng Yuni ingat banget kejadian-kejadian waktu “kita” masih SMP? Andai waktu bisa diputar kembali …. Apakah kira-kira ada cerita yang berbeda?”

“Kalau waktu bisa diputar kembali???!!! Kalau kita memang gak jodoh atau gak dipertemukan sama Tuhan, yo tetep ora ketemu yo?? “Pekok” banget si aku, bodo banget siy aku!! Hahaha… “
“Eh siapa tahu dipertemukan Tuhan dikemudian hari?”
“Eh copot … copot …. Pak Kyai …. pak Kyai,” Yuni latah karena gugup.
“Jangan panggil aku Pak Kyai … panggil aku Joko saja.”
“Aku tak berani … apa nanti kata warga dusun Adem Ayem kalau dengar itu.”
“Dulu waktu mboncengin kamu naik sepeda untuk pertama dan yang terakhir kalinya, he he ehem, rasanya seolah sudah jadi laki-laki gagah, gede kepala, dan bangga. Ah sayang aku dulu kurang berani, kurang nekat. Mestinya pemuda-pemuda yang naksir kamu itu tak aku gubris, atau kulawan. Jeng Yuni, maukah menikah denganku?”
“Eh copot … copot … Ah… Pak Kyai bercanda.”

Tak pernah terbayangkan dalam benak Pak Kyai sebelumnya — sampai pada keinginan ingin menikahi Yuni. Yaa ..usia Yuni mateng, lekuk pinggang dan busung dadanya menandakan hormon kewanitaannya melimpah. Demikianlah bahasa alam yang terungkap ketika seorang wanita menarik lawan jenisnya, sebagai bekal untuk bertahan di muka bumi, guna meneruskan keturunannya, beranak pinak dan pada saatnya berubah jadi gendut dan menua.

Dan akhirnya dusun Adem Ayem kembali tentram dan damai. Pak Kyai Joko bisa menyelesaikan permasalahan Yuni yang bikin dusun Adem Ayem heboh. Semua merasa bahagia, win win solution. Bu Sastro kini merasa tenang bisa menghabiskan masa tuanya bersama Pak Kadus, Kyai Joko bisa menikahi pujaan hatinya, dan Yuni tak terusir lagi dari dusunnya.

Di malam dingin, diantara suara angin yang mengguncang rimbunan bambu, sepertinya terdengar sayup-sayup Yuni mengucapkan kebiasaan latahnya, dan kini malah campur aduk tak karuan,
“Ehh .. Anu-copot …eeh anu-copot ..eh maaf Pak Kyai.“
“Hayoo … Jeng Yuni nggak boleh latah jorok lagi yaaa,” Pak Kyai agak kecewa latah jorok Yuni muncul kembali.
“Saestu Pak Kyai … kulo mboten goroh.” (Benar Pak Kyai … Saya tidak bohong kok)
“Ssssttt …..diam,” bisik pak Kyai Joko.

Washington DC 2011

Janu Jolang

Buku Baru: Tidur dengan Musuh: Rahasia Perang Coco Chanel Yang Ternyata Agen Nazi

Perancang busana Prancis Coco Chanel menjadi mata-mata bagi Nazi dalam pendudukan Jerman di Prancis pada Perang Dunia II, berdasarkan sebuah buku baru yang dijual, Selasa.

Buku berjudul “Tidur dengan Musuh: Rahasia Perang Coco Chanel” karya Hal Vaughan memaparkan bukti-bukti mengenai kehidupan ganda perancang busana ikonik itu yang merupakan kekasih dari mata-mata, Baron Hans Gunther von Dincklage.

“Buku itu menjelaskan mengenai bagaimana Coco Chanel menjadi bagian dari operasi intelijen Jerman, bagaimana dia terdaftar dalam sejumlah misi mata-mata, bagaimana menghindari penangkapan di Perancis pasca-perang,” kata penerbit Knopf asal New York dalam sebuah pernyataan.

Buku Vaughan mengungkapkan bahwa tidak hanya Chanel direkrut untuk menjadi bagian dari organisasi militer Abwehr namun juga bahwa Dincklage sendiri adalah “mata-mata utama Nazi”.

Dia “menjalankan sebuah tim mata-mata di Mediterania dan Paris serta melaporkan langsung kepada Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels, tangan kanan Hitler.”

Chanel juga anti-Semit, menurut buku itu, sekalipun pada waktu itu ia tidak akan tampak menonjol di jajaran sejumlah rekan-rekannya yang kemudian tampak bekerja sama selama masa pendudukan 1940-1944.

Chanel, seorang anak yatim yang menjadi perancang busana revolusioner Prancis, pindah ke Swiss setelah perang sebelum kembali ke Paris untuk melanjutkan karirnya di bidang mode. Dia tidak pernah dituntut melakukan tindak kejahatan dan meninggal pada 1971.

Buku Baru: The Dancing Leader

Buku setebal lebih dari 700 halaman ini ditulis oleh 45 pakar dari berbagai bidang keilmuan dan pengalaman. Rentang keahliannya cukup lebar dari ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial dengan turunannya yang cukup spesifik.

Mereka berasal dari kalangan akademisi, praktisi, swasta, dan pemerintahan. Penggagas awal dan kordinator tim editor adalah Jusuf Sutanto yang dikenal sebagai filsuf Timur dan berpangalaman dalam dunia bisnis pangan.

Dari banyaknya kontributor dan keragamannya terlihat memang tidak mudah untuk membuat buku sejenis The Dancing Leader (TDL) ini.

Diawali dengan keinginan mengisi hari-hari besar Indonesia, para kontributor mengharapkan adanya suatu pendekatan holistik terhadap permasalahan umat manusia, khususnya bangsa Indonesia yang diduga akan semakin kompleks.

Ledakan penduduk yang sulit disetop ini tentu akan menuntut pemikir, ilmuwan, praktisi, dunia pendidikan, pemerintahan, swasta dari berbagai sektor kehidupan untuk bersama-sama mencari solusi terhadap persoalan dengan pendekatan holistik, integratif, dan transdisiplin. Atas dasar keinginan itulah buku ini disusun.

TDL mencoba menyodorkan pendekatan transdisiplin terhadap persoalan bangsa yang saling kait mengait, rumit, dan berliku. Di situlah pentingnya the dancing leader yang dapat melihat dengan telinga dan mendengar dengan hati. Sensitif terhadap persoalan kebangsaan dan kemanusiaan lalu mampu menjalankan ide-ide solutif dan tidak terlalu banyak berwacana.

Momen demi momen lebur menyatu dengan persoalan kemanusiaan dan semesta, bebas dari perasaan menjadi orang penting yang mengemban amanah suci. Kecepatan, ketepan, keindahan, dan keteraturan yang dilandasi dengan kecintaan adalah tipe-tipe pemimpin yang memahami sejarah, kekinian, dan masa depan bangsa.

Buku ini terdiri atas empat bab diawali dengan sambutan-sambutan bermakna dari para pemimpin universitas. Rektor Universitas Pancasila menitikberatkan sambutannya pada tema perguruan tinggi sebagai pusat peradaban.

Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia mengangkat isu pemahaman seni memimpin dari pertanian holistik. Berikutnya, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah mengapresiasi TDL dan mengajak menari bersama semesta.

Rektor Universitas Kristen Satya Wacana menekankan betapa indahnya keragaman. Rektor Universitas Sanata Dharma mengetengahkan perilah keanekaragaman hayati di Indonesia. Mereka bisa dikatakan sebagai pemimpin yang mempunyai kriteria the dancing leader: kecepatan bertindak, penyatuan visi dan aksi, pengatur suara-suara orkestra besar sehingga enak didengar dan indah dipandang.

Bab I yang diberi judul Tarian Kepemimpinan itu memuat tulisan-tulisan yang mendasari betapa pentingnya leadership untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Indonesia pada hakekatnya mempunyai sebuah peradaban tinggi yang dapat menjadi modal kebanggaan jati diri bangsa lalu menjadi landasan untuk bergerak maju menghadapi berbagai tantangan.

Keyakinan untuk maju dalam kemajemukan bangsa akan membawa Indonesia menjadi negara terhormat yang disegani bangsa-bangsa lain di dunia ini. Rocky Gerung menekankan bahwa peradaban jauh lebih penting dari sekedar memenuhi kebutuhan material yang justru bisa membawa manusia ke wilayah terpuruk. Azyumardi Azra menekankan bahwa modal multikulural Indonesia itu sangat baik dalam membangun masa depan melalui kaidah-kaidah Pancasila.

Untuk itu, Daoed Joesoef mengajak kita untuk mencari kriteria-kriteria pemimpian yang relevan dalam pembangunan Indonesia ke arah yang sangat cerah. Sudarsono Hardjosoekarto menyodorkan pemikiran learning leader, learning people dan learning organzitation. Sarlito W. Sarwono mengajak pemimpin untuk mampu berinteraksi dengan masyarakat secara terus menerus dan melakukan upaya learning by doing.

Penguasa dan pengusaha kadang-kadang membuat ‘sikon’ menjadi sumir. Ketidaktahanan akan bujukan material sering membuat penguasa menjadi bermata lamur. Pemimpin harus mampu menekankan betapa pentingnya hal-hal yang bersifat immaterial.

Akan tetapi, Christianto Wibisono mengangkat betapa pentingnya meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan untuk menghindari penguasa menjadi pengusaha atau sebaliknya. Kepentingan untuk diri sendiri dan kelompok sempitnya harus di bawah kepentingan negara dan umum.

Pada hakekatnya menurut Vincentius Y. Jolasa adalah ikhtiar untuk menghasilkan pemimpin yang tanggap dan sukses melalui pemaknaan kepemimpinan yang ditopang oleh komunikasi transfromatif, kecakapan merancang, menerapkan dan berpartisipasi dalam dinamika sosial,ekonomi, dan politik yang dicita-citakan bersama.

Krishnanda W. Mukti mengajak kepimimpinan berbasis kesadaran bukan membuat orang menjadi tunduk, tergantung dan takut kepada pemimpin. Proses penyadaran dan kecintaan terhadap bangsa dan negara untuk menjadikan negara lebih bermartabat, terhormat, dan penuh dengan inovasi-inovasi adalah bagian inti dari pendidikan.

Itulah sebabnya Asep Saefuddin menekankan bahwa segala sesuatunya bermula dari pendidikan yang sangat esensial, bukan sekadar melatih keterampilan teknis.

Hemawan Kartajaya mengingatkan kita bahwa dunia sudah berubah dan akan terus berubah. Hanya bangsa yang pandai mengolah perubahan yang akan mampu bertahan dan menang dalam menghadapi tantangan.

Dewasa ini dalam dunia bisnis saja harus menguasi nilai, value driven, yang mendekati pelanggan sebagai manusia utuh dengan kesatuan pikiran, perasaan, dan jiwa.

Selain itu, Sudhamek A.W.S. menyarankan bangsa untuk mampu membangun budaya kompetitif yang positif melalui pengembangan kepemimpinan unggul. Ronny Adhikarya mengusung pemikiran yang tidak ‘bekutet’ di dalam kotak, rutin dan pengap.

Akan tetapi, pemimpin harus mampu berpikir di luar kotak, thinking out of the box, dengan aplikasi ilmu menjadi tacit knowledge. Di situlah pentingnya motivasi seperti yang dibahas oleh Eko Legowo. Jiwa kewirausahaan sangat perlu untuk menjadi pemimpin dengan nilai-nilai agama sebagai dasar penguatan mental.

Haidar Bagir menyadari betapa pentingnya cinta dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dikatakan Rumi bahwa cinta adalah pengggerak segalanya.

Ricardi S. Adnan menganalisis bahwa masih besar kesenjangan di dunia politik, terutama antara janji kampanye dan realisasinya. Politik memang sangat perlu di dalam sebuah negara. Namun, tanpa landasan kejujuran dan niat baik mambangun bangsa secara kokoh politik hanya akan membuat masyarakat nelangsa.

Untuk itu perlu ada dialog terus menerus antarmasyarakat dan pemimpin. St. Sularto menyarankan perlu adanya pemimpin penuh kharisma untuk mengurangi kesenjangan antara keadaan saat ini (das scin) dan das sollen (keadaan ideal yang diinginkan). Bab ini ditutup oleh Tu Weiming yang menyarankan agar kita tidak sekedar manusia antropologis tetapi total kosmologis.

Bab II berjudul Tarian Pangan, Energi dan Kewirausahaan itu merupakan pemikiran para ahli bagaimana secara riil pemimpin menghadapi kenyataan dunia. Pembangunan pertanian adalah awal dari peradaban. Peperangan juga bisa berawal dari persoalan pangan sehingga tidak salah kalau the angry man adalah the hungry man.

F. Welirang menerangkan bahwa persoalan pangan dan pertanian sangat kait mengait dengan berbagai faktor lainnya di dunia. Di sinilah betapa pentingnya kebijakan unity in diversity. S. Nagarajan, saintis pertanian India, menulis tentang belajar dari India, menegaskan bahwa India dengan penduduk 1,1 miliar itu sedang menikmati ketahanan pangan yang terus harus dibangun melalui tarian-tarian ilmu pengetahuan untuk kehidupan.

Kaman Nainggolan menjelaskan tujuh masalah strategis yang memerlukan kebijakan integratif dan pemimpin yang siap melayani. Sejalan dengan Subejo yang menekankan bahwa keadaan ini menuntut pemimpin yang mempunyai visi jauh ke depan. Dipertegas oleh Soemarno bahwa upaya kesinambungan dan kearifan dalam mengelola Bunda Alam, the mother of nature.

Fransika Z. Rungkat membahas tentang pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang tidak pernah bisa ditunda, karena manusia tidak bisa menimbun pangan di dalam perutnya. E. Gumbira Sa’id menyarankan adanya kepemimpinan inovatif berbasis agribisnis dna agroindustri.

Untuk itu diperlukan peran litbang dalam membangun komoditas unggulan nasional, misalnya, kelapa sawit. Saran tambahan dari Rachmat Pambudy adalah kepemimpinan entrepreneur dalam sistem agribisnis.

Di dalam perlombaan kemandirian pangan dunia, tidak pelak lagi merembet ke persoalan pemanasan global seperti yang disitir Purwiyatno Hariyadi. Dus, semua jenis pembangunan, termasuk pertanian diperlukan kepemimpinan yang prolingkungan hidup.

Perguruan tinggi mempunyai kesempatan emas untuk menata ulang ranah keilmuan agar tidak terlalu terkotak-kotak sehingga menjadi kaku. Persoalan lingkungan adalah persoalan dunia yang harus dihadapi secara interdisiplin bahkan transdisiplin.

Didiek H. Goenadi mengupas pentingnya hubungan antara teknologi dan langgam keilmuan. Teknologi seperti ini dihasilkan oleh sebuah aktivitas riset yang fokus dan aplikatif untuk dunia usaha. Sinkronisasi ini bagaikan orkestra yang enak didengar dan menyejukkan sesuai dengan harapan pengguna iptek seperti yang diulas oleh L. Wijayanti.

Arnold Soetrisnanto menyarankan perluasan porsi green energy yang semakin urgen dirasakan, apalagi setelah ada betapa hebatnya efek stunami di Jepang terhadap rusaknya stasiun energi nuklir di Fukuyama. Hal ini selaras dengan pandangan Clara M. Kusharto untuk memperhatikan isu-isu global yang berkaitan dengan kesehatan.

Dalam pandangan Bambang Ismawan, semua kegiatan pembangunan ini tidak bisa menihilkan peranan masyarakat agar terjadi keoptimuman hasil.

Bab III berjudul belajar arif dari orang sederhana isinya merupakan kumpulan kisah-kisah bijak baik berupa kisah nyata atau bukan yang secara esensial sangat baik untuk kehidupan masa depan. Kisah-kisah ini dikemas dengan cerdik oleh Muhammad Muhajirin dan Paul K. Somalinggi.

Belajar dari kisah nyata dan probe ini diharapkan dapat membangun rasa bijak kita yang semakin dituntut dalam peradaban yang semakin kompleks. Adapun Bab IV berisikan makalah-makalah dan diharapkan merujuk ke sebuah titik. Akan tetapi, tetap belum tercapai titik karena perjuangan TDL saat ini baru koma.

Punawan Junadi menyodorkan sebuah transformasi dengan friksi minimal, cerdas dan sehat. Lalu dipertegas oleh Irid Agoes betapa pentingnya pemahaman antarbudaya sebagai jendela perdamaian dunia.

Tim editor menyadari bahwa TDL ini harus diteruskan oleh TDL-TDL berikutnya yang semakin menukik dan operationable.

Di dalam bab terakhir ini disisipkan epilog-epilog. Misalnya, Siswono Yudo Husodo membuat epilog tentang revitalisasi dan reinterpretasi nasionalisme. Disusul oleh epilog Joko Widodo yang menyarankan agar pemimpin harus belajar sabar dari masyarakat. Dilanjutkan oleh Jusuf Sutanto yang mengangkat epilog tentang berguru dari para leluhur dan menemukan alam di dalam tepung beras. Sebagai negara berbasis kepulauan, Arif Satria menyodorkan konsep kepemimpinan lautan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi landasan berpikir holistik dan transdisiplin menghadapi persoalan dunia yang cenderung semakin rumit. Mereka yang berada di dunia pendidikan dan keilmuan tidak bisa berdiri di ruang hampa dan kering dari pengalaman.

Mereka yang berada di lapangan tidak mungkin menganggap remeh ilmu pengetahuan. Keduanya saling mengisi dan membutuhkan.

Mesin ilmu pengetahuan akan berjalan dengan baik bila diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dus, para pemimpin harus memahami kedua aspek tersebut atau dalam bahasa lain pemimpin harus mampu berilmu amaliah dan beramal ilmiah.

Selain itu, para pemimpin dan seluruh masyarakat janganlah merasa bosan untuk terus mendengungkan kecintaan terhadap Indonesia.