Monthly Archives: November 2010

Pemerintah Tidak Siap Formula Baru Ujian Nasional 2011

Pemerintah masih belum siap dengan formula baru pelaksanaan Ujian Nasional 2011. Padahal, DPR telah meminta pemerintah mengevaluasi pelaksanaan UN yang berlangsung selama ini dan mempersiapkan formula baru UN yang lebih adil.

Komisi X DPR menilai, pelaksanaan ujian nasional (UN) dengan formula lama tidak adil untuk siswa. Sebab, kondisi sekolah-sekolah di berbagai wilayah Indonesia tidak sama, bahkan banyak sekolah yang masih masuk dalam kategori standar pelayanan minimal.

Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat Panitia Kerja (Panja) Ujian Nasional Komisi X DPR bersama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang diwakili Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Mansyur Ramly di Jakarta, Selasa (30/11).

Mansyur mengatakan, pemerintah mau saja memakai formula baru pada UN 2011. ”Tetapi, formula yang tidak memveto belum ketemu. Berbagai wacana untuk membuat formula baru memang berkembang. Namun, opsi-opsi yang bisa diambil masih mengambang. Justru kami hendak minta masukan dari DPR,” kata Mansyur.

Mansyur menambahkan, untuk bisa mengubah pelaksanaan UN 2011 yang dilaksanakan atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tidak bisa dilakukan begitu saja.

”Kalau ada perubahan formula mesti disampaikan ke sidang kabinet. Mendiknas baru mau menyampaikan hal ini kepada Presiden dalam sidang kabinet Kamis (2/12) besok,” kata Mansyur.

DPR kecewa

Ketidaksiapan pemerintah itu membuat Panja UN kecewa. Keputusan untuk melaksanakan formula baru UN 2011 dikhawatirkan bakal tertunda. Sebab, DPR akan segera memasuki reses dan bersidang di Januari 2011.

Dalam pertemuan itu, Panja UN menyampaikan kriteria perbaikan formula kelulusan UN. Hasil UN tidak boleh memveto kelulusan, pelaksanaan UN harus sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, serta dalam pelaksanaannya UN dapat dikelola dengan baik dan bermanfaat untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan.

”Jika pemerintah belum punya konsep, susah juga. DPR menawarkan dua pilihan kepada pemerintah, yakni bisa UN untuk kelulusan dengan formula baru atau tidak ada UN lagi,” kata Ketua Panja UN Komisi X Rully Chairul Azwar.

Rully mengatakan, sebenarnya UN untuk kelulusan boleh saja. Namun, siswa yang gagal UN bukan berarti langsung divonis tidak lulus.

Popong Otje Djundjunan, anggota Panja UN, mengatakan, keadilan untuk siswa mesti menjadi pertimbangan pelaksanaan UN ke depan. ”Potensi siswa harus bisa dikembangkan secara optimal. Jika mengandalkan UN, potensi siswa itu seolah-seolah harus sama semuanya,” ungkapnya.

Reni Marlinawati, anggota Panja UN, mengatakan, semestinya UN itu jadi proses yang adil, menyenangkan, dan meningkatkan mutu pendidikan. ”Tetapi kenyataannya, UN itu memvonis siswa dengan mengabaikan proses belajar selama di sekolah,” ujar Reni.

Pemerintah Kota Bandung Akan Tambah Sekolah Model

Pemerintah Kota Bandung akan menambah jumlah sekolah model dalam upaya mencegah penyebaran virus HIV/AIDS pada tahun 2011. Dengan demikian, diharapkan bahaya penularan HIV/AIDS dapat tersebar lebih luas dan tersampaikan dengan benar.

”Tahun 2011, akan ada 52 sekolah baru yang menjadi model pencegahan HIV/AIDS. Kami berharap bisa memperluas penyebaran informasi bahaya penularan sejak dini,” kata Sekretaris Dinas Kesehatan Jawa Barat Dadang Irwadi.

Dadang menyampaikan hal itu di sela-sela sarasehan menyambut Hari AIDS Internasional bertema ”Stop AIDS, Tingkatkan Akses dan Pendidikan untuk Semua” di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa (30/11).

Dadang mengatakan, sejak September 2010, sebanyak 5 sekolah, yaitu SMP 1, SMP 4, SMP 14, SMP 18, dan SMP 18, dipilih menjadi sekolah model sosialisasi pencegahan HIV/AIDS. Siswa mendapatkan informasi dan penyuluhan bahaya HIV/AIDS.

Informasi yang diberikan berupa penguatan bahan ajar tentang bahaya narkoba dan pendidikan kesehatan reproduksi.

”Kami berharap sekolah model yang baru bisa memperkuat sosialisasi yang benar terkait pencegahan HIV/AIDS sejak dini. Namun, harus diingat bahwa tanggung jawab ini tidak hanya dimiliki oleh pihak tertentu. Semua lapisan masyarakat harus peduli dengan keadaan ini,” kata Dadang.

Kepala Sekolah SMP 1 Samsu Daya menyambut baik penambahan sekolah model. Belajar dari pengalaman, program itu memberikan pemahaman yang baik bagi siswa dalam mengenal bahaya penyebab HIV/AIDS tanpa harus mengucilkan pengidapnya. Oleh karena itu, ia yakin program ini akan memberikan sumbangan positif bila diterapkan di sekolah lain.

Penting

Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung Soekarno mengatakan, sosialisasi kepada generasi muda atau pelajar adalah hal penting yang harus dilakukan. Berdasarkan data KPA Kota Bandung, hingga Juli 2010, tercatat ada 2.100 kasus HIV/AIDS di Kota Bandung atau yang tertinggi di Jawa Barat.

”Yang lebih memprihatinkan, pengidap HIV di Kota Bandung didominasi remaja berusia 15-29 tahun atau 64,33 persen dari seluruh kasus,” katanya.

Penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS tidak hanya dilakukan di sekolah. Sudah ada tujuh kecamatan yang aktif melakukan sosialisasi pencegahan HIV/ AIDS. Tujuh kecamatan itu adalah Bojongloa Kidul, Coblong, Rancasari, Sukajadi, Batununggal, Antapani, dan Panyileukan.

”Selain itu, ada program pemberian susu bagi anak pengidap HIV/AIDS selama 2 tahun, pemberian bantuan dana Rp 5 juta bagi 10 pengidap HIV/AIDS, dan penyebaran 15.000 kondom per tahun di lingkungan yang rentan terjadi penularan,” katanya.

Pengidap HIV/AIDS, LY (41), juga berharap anak-anak mendapatkan porsi lebih banyak dalam upaya pencegahan HIV/AIDS. Dengan demikian, mereka secara dini mampu menangkal pengaruh buruk penyebab HIV/AIDS, seperti seks bebas tanpa kondom dan penggunaan jarum suntik.

”Saya berharap pemahaman dini mampu menyelamatkan mereka dari bahaya tertular HIV/AIDS. Dengan begitu, tingkat produktivitas mereka pun tetap terjaga,” katanya.

Mengembalikan Kehormatan Guru

Tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini profesi guru begitu terpuruk di mata masyarakat seperti saat ini.

Seringnya guru mogok mengajar karena berdemonstrasi, citra guru yang rusak karena tuntutan ujian nasional, dan kebijakan pendidikan yang abai terhadap pengembangan profesional guru hanya beberapa kenyataan yang menunjukkan betapa kehormatan guru telah hilang. Mengembalikan kehormatan guru tak lagi bisa ditawar untuk menyelamatkan masa depan negeri ini. Tugas itu tak ringan dan memerlukan kerja sama banyak pihak sesuai cakupan tanggung jawab mereka. Hanya dengan pendekatan utuh dan sinergilah, kita dapat mengembalikan kehormatan guru.

Tiga sisi

Persoalan guru bisa diurai dengan melihatnya dari tiga sudut pandang: guru, negara, dan masyarakat. Pertama, persoalan yang penting direfleksikan oleh guru adalah bagaimana mereka tetap memiliki inspirasi pribadi yang memberi landasan nilai, makna bagi perkembangan dirinya sebagai guru. Inspirasi adalah sumber kekuatan, berupa nilai, prinsip pendidikan, dan tujuan hidup yang diyakini sebagai dasar bagi pengembangan panggilan pribadinya sebagai guru.

Memiliki inspirasi yang kuat sebagai guru berarti bahwa di tengah menumpuknya tugas rutin, guru tak pernah boleh kehilangan idealismenya sebagai pembelajar. Rutinitas dan keteraturan adalah ciri pendidikan formal. Persoalan seperti tugas administrasi, membuat silabus, satuan pelajaran adalah bagian dari kinerja guru. Oleh karena itu, beres secara administratif saja belum cukup. Lebih dari itu, mampu merefleksikan dasar terdalam panggilan sebagai guru bisa menjadi sumber rohani yang memungkinkan guru tetap menemukan makna di tengah tantangan dan kesulitan.

Memiliki inspirasi sangat penting sebab dengan itu, guru dapat mempertahankan kebebasan dan kemerdekaan sebagai pengajar. Kebebasan adalah dasar dari pengembangan bermutu setiap profesi. Jika inspirasi tak ada, guru bisa kering nilai dan tanpa makna menjalani panggilan sebagai guru. Bahkan, guru bisa terpuruk sekadar jadi tukang yang melakukan sesuatu karena disuruh atau diperintah orang lain, atau sekadar taat aturan.

Tentu guru tak bisa bertindak seenak sendiri tanpa aturan yang sesuai dengan prosedur. Negara, dalam hal ini pemerintah, telah memberi rambu hukum dan peraturan yang membatasi profesi guru. Mengembalikan kehormatan guru tak mungkin terjadi secara efektif dan sistematis tanpa campur tangan negara.

Ruang kebebasan guru

Oleh karena itu, persoalan kedua yang mendesak dibuat oleh pemerintah untuk mengembalikan kehormatan guru adalah diberikannya ruang bagi guru untuk melaksanakan kebebasan profesionalnya sebagai guru dan pendidik. Ruang ini selama ini telah direnggut oleh UN. Pendidikan yang merupakan komunikasi antara anak didik dan guru jadi sebuah komunikasi teknis dan instrumental karena tak ada lagi keautentikan suasana pembelajaran yang terenggut karena tuntutan UN. Kehormatan guru tak akan pulih dengan efektif jika polemik seputar kebijakan UN tidak diselesaikan.

Negara memang telah memberi peraturan dan rambu untuk menyeleksi siapa saja yang layak dan pantas mengajar di depan kelas melalui peraturan perundang-undangan, terutama lewat sertifikasi. Namun, perlindungan atas profesi guru—negeri dan swasta—belum terjadi secara sinergis. Melindungi profesi guru dari terabasan berbagai kepentingan di luar dunia pendidikan, yang sering kali mempolitisasi guru, adalah hal yang mendesak.

Hal ketiga yang bisa membantu guru menemukan kembali kehormatan adalah tanggung jawab masyarakat sebagai rekan kerja utama para guru di sekolah, terutama orangtua. Mau tak mau, harus diakui, sekolah kita banyak diintervensi oleh orangtua dan masyarakat yang arogan, yang menganggap sekolah mesin produksi untuk memintarkan anak. Bahkan, ada yang sekadar menganggap sekolah lembaga pemberi ijazah. Mental dagang itu ada di masyarakat kita, dan guru harus berhadapan dengan kultur yang tak kondusif ini.

Mental dagang seperti tak mau terlibat dengan pendidikan anak karena sudah bayar mahal sekolah serta mental korup yang ada dengan membeli nilai atau ijazah adalah hal yang merugikan anak dan melecehkan martabat guru.

Namun, tak jarang juga mental dagang itu ada dalam diri guru sendiri. Gejala jual beli soal dan jawaban ujian, lobi orangtua untuk memperoleh nilai baik untuk anaknya dengan cara ”membeli” guru pun, sering juga tak disadari guru sebagai bagian yang sesungguhnya merusak martabatnya sebagai guru. Masyarakat perlu sadar bahwa kehormatan guru bisa pulih jika masyarakat membantu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan guru dan anak didik. Tanpa bantuan masyarakat, pendidikan di sekolah tak akan berkesinambungan.

Mengembalikan kehormatan guru adalah hal mendesak. Tindakan yang bisa dibuat mesti sinergis dan simultan, serentak bersama-sama tiga pihak yang berkepentingan dengan pulihnya kehormatan dan martabat guru itu sendiri: guru, masyarakat, dan negara. Hari Guru Nasional yang kita peringati kemarin merupakan momentum untuk menyadari kembali, kehormatan guru harus segera dipulihkan demi perbaikan pendidikan di negeri ini.

Doni Koesoema A Peneliti dan Konsultan Pendidikan, Alumnus Boston College Lynch School of Education, AS

PGRI Desak Surat Edaran Menpan Dicabut

Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia mendesak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk segera mencabut surat edaran yang melarang penempatan guru pegawai negeri sipil di sekolah swasta.

”Kebijakan itu melanggar konstitusi dan membuktikan terjadinya diskriminasi profesi guru sekolah swasta,” kata Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, Kamis (25/11) di Jakarta.

Sulistiyo mengingatkan, penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dari sekolah swasta akan mengganggu proses belajar-mengajar dan merugikan siswa. Sebab, sekolah swasta tidak bisa menyediakan guru pengganti dalam waktu cepat. ”Hilangnya guru PNS dari sekolah swasta juga menyebabkan siswa kehilangan guru bermutu,” ujarnya.

Ketua Harian PGRI Unifah Rosyidi menambahkan, penarikan guru PNS itu hanya akan membuat sekolah swasta semakin terpuruk, terutama sekolah swasta yang memiliki mayoritas siswa dari keluarga miskin. Ketiadaan guru-guru yang berkualitas di sekolah swasta ini yang dikhawatirkan akan semakin menyisihkan siswa miskin dari hak-hak mereka untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Terancam gulung tikar

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan di Bandung, Jawa Barat, mengatakan, adanya guru PNS di sekolah swasta secara tidak langsung merupakan ”bantuan” pemerintah untuk sekolah swasta karena gaji guru PNS dibayar negara. Namun, dengan ditariknya guru PNS tersebut, sekolah swasta harus menyediakan anggaran lebih besar untuk pembayaran gaji guru.

”Bagi sebagian sekolah swasta, alternatifnya menaikkan uang sekolah kepada siswa. Namun, sekolah swasta yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga miskin terancam gulung tikar,” kata Iwan mengingatkan.

Jika penarikan akan terus dilanjutkan, semestinya pemerintah menyediakan dana bantuan bagi sekolah-sekolah swasta.

Guru PNS di Sekolah Swasta Mulai Ditarik

Guru-guru berstatus pegawai negeri sipil yang diperbantukan di sekolah-sekolah swasta mulai ditarik untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri. Padahal, kehadiran guru-guru tersebut masih dibutuhkan sekolah-sekolah swasta yang keuangannya terbatas.

Informasi yang beredar di kalangan sekolah swasta, dinas pendidikan di daerah mulai menginstruksikan agar guru-guru pegawai negeri sipil (PNS) yang diperbantukan di sekolah swasta segera ditarik dan berdinas di sekolah negeri.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), di Jakarta, Selasa (23/11), mengatakan, beberapa tahun lalu memang ada surat edaran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang intinya melarang penempatan guru PNS di sekolah swasta. ”PGRI sudah lama menolak kebijakan itu, tetapi tidak ada respons. Sejumlah pemerintah daerah ada yang mengikuti, ada yang masih membiarkan,” ujar Sulistiyo.

Menurut Sulistiyo, sekolah-sekolah swasta, terutama SD dan SMP swasta kecil dan keuangannya terbatas, tidak bisa sepenuhnya mengandalkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Adanya bantuan guru PNS di sekolah swasta mampu mengurangi biaya operasional sekolah sehingga bisa menggratiskan biaya pendidikan dasar.

E Baskoro Poedjinoegroho dari Tim Advokasi Keadilan Pelayanan Pendidikan Dasar untuk Anak Bangsa mengatakan, kebijakan pemerintah yang menarik guru-guru PNS di sekolah swasta itu merupakan bukti perlakuan diskriminatif pemerintah kepada sekolah swasta.

”Padahal, institusi pendidikan swasta yang tidak semuanya mampu itu juga sama-sama melayani anak bangsa yang wajib dibiayai pemerintah, terutama yang masuk dalam usia wajib belajar,” kata Baskoro.

Sikap pemerintah itu berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang dengan tegas mengatur bahwa sekolah negeri sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Adapun sekolah yang didirikan masyarakat sepenuhnya harus jadi tanggung jawab masyarakat.

”Untuk sekolah swasta yang keuangannya mapan, penarikan guru PNS ini tak menjadi masalah. Namun, bagi sekolah swasta yang keuangannya kurang mapan, kebijakan ini menjadi persoalan besar. Bahkan, bisa menyebabkan kekurangan guru,” kata Baskoro.

Diimbau pindah

Warnoto, Kepala SMAN 18 Jakarta, mengatakan, dirinya sejak 1994 menjadi guru yang diperbantukan di SMA PGRI 12 Jakarta. Namun, dalam dua-tiga tahun belakangan, para guru PNS yang ada di sekolah swasta diimbau untuk pindah ke sekolah negeri.

”Untuk guru PNS di kota tidak mudah mencari sekolah negeri yang bersedia menerima. Sebab, sekolah-sekolah negeri di kota umumnya sudah memiliki guru yang cukup,” kata Warnoto.

Rosmini Lede, guru PNS yang diperbantukan di SD Alkhairaat di Poso, Sulawesi Tengah, mengatakan, belum ada informasi bahwa guru-guru PNS di sekolah swasta akan dikembalikan ke negeri. ”Di SD swasta tempat saya mengajar, sebagian besar justru guru PNS,” kata Rosmini.

SD Alkhairaat merupakan sekolah swasta yang kecil dan kondisi bangunan sekolahnya sudah tidak layak. Sekolah ini tidak memungut bayaran dari siswa. Keberadaan guru PNS dari pemerintah membantu yayasan untuk bisa menjalankan pendidikan dasar gratis yang dibutuhkan masyarakat sekitar.

Kementerian Pendidikan Nasional melihat ada masalah dalam distribusi guru. Sebanyak 68 persen sekolah di kota kelebihan guru. Adapun 37 persen sekolah di desa dan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru

Kompetensi Guru Harus Dibangun Melalui Sertifikasi

Fenomena kecurangan dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam-Jabatan lewat Portofolio kian menguak apa yang sesungguhnya telah jadi rahasia umum.

Terungkapnya kasus plagiasi 1.700 guru di Riau menunjukkan sebagian kecil dari kecurangan dalam memenuhi portofolio sertifikasi guru. Banyak masyarakat yang merisaukan aneka pelanggaran itu, tetapi program sertifikasi terus saja melaju atas nama pemenuhan amanat peraturan perundang-undangan.

Kerisauan juga berkembang di kalangan pimpinan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), terutama yang diserahi tugas melaksanakan sertifikasi tersebut. Dalam lima tahun terakhir (2006-2009), lebih dari 500.000 guru telah diberi sertifikat oleh LPTK yang ditunjuk pemerintah (Kompas, 1/11). Namun, hingga detik ini belum ada kabar menggembirakan adanya peningkatan kinerja guru bersertifikat pendidik itu. Malahan, sertifikasi telah sempurna menyemaikan dan menyuburkan budaya jalan pintas yang amat mencederai sosok profesional guru itu sendiri.

Publik hanya tahu guru-guru bersertifikat itu buah karya LPTK. Ketika mereka gagal mewujudkan impian publik akan peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air, LPTK-lah yang pertama akan ditagih akuntabilitasnya. Ini sungguh tagihan yang amat berat bagi LPTK yang terlibat dalam prosesi sertifikasi guru meskipun sesungguhnya sejak awal sejumlah pimpinan LPTK skeptis mengenai sertifikasi massal itu akan membuahkan hasil seperti diidealkan, yakni peningkatan mutu pendidikan.

Alih-alih, menuai kemaslahatan, kita lebih banyak menuai kemudaratan. Angka Rp 60 triliun bukan angka kecil untuk peningkatan guru (Kompas, 1/11).

Potensi ”GiGo”

Jauh lebih penting dari soal pelanggaran adalah menyempurnakan perangkat dan sistem sertifikasi sungguh perlu dilakukan. Prosesi uji kompetensi yang dilakukan empat tahun terakhir banyak mengandung kelemahan, terutama instrumen dan teknik pengumpulan data. Instrumen penilaian yang menggunakan ukuran persepsional sangat berpotensi menghasilkan data dan informasi yang keliru.

Demikian pula teknik penilaian yang asal menelurkan angka juga berpotensi menghasilkan data penilaian yang keliru.

Instrumen penilaian yang mengandalkan persepsi penilai, seperti pada penilaian kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional yang dipercayakan kepada kepala sekolah dan (pengawas), sangat sulit dipercaya dapat menghasilkan data valid. Data penilaian terhadap variabel ini menunjukkan nyaris semua kandidat mendapatkan skor sempurna karena kepala sekolah dan pemda juga merupakan pihak yang berkepentingan.

Demikian juga instrumen penilaian kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis yang mengandalkan penilaian persepsional terhadap RPP dan sertifikat tanda mengikuti diklat dan aneka macam kegiatan lain juga tak cukup menggambarkan pengembangan profesional. Skor pengukuran dengan instrumen serba persepsional itu sesungguhnya tak mampu membedakan antara guru kompeten dan tidak kompeten. Artinya, kesimpulan atas kelulusan guru juga berpotensi mengandung kesalahan.

Kekeliruan semacam ini dikenal dengan istilah GiGo (garbage in garbage out), masuk sampah, keluar juga sampah. Apalagi pola penilaian kompetensi dengan menggunakan portofolio yang menyerupai borang ini telah dinodai aneka kecurangan.

Portofolio berbasis kelas

Sesungguhnya menggunakan portofolio untuk uji kinerja guru dalam rangka sertifikasi adalah hal biasa. Bahkan portofolio diyakini banyak ahli merupakan cara paling andal untuk mengukur kinerja. Ada dua hal inti yang dilupakan yang membuat portofolio dimaksud jadi sosok lain yang mencederai portofolio itu sendiri. Pertama, diabaikannya unsur analisis dan refleksi kinerja yang mestinya ditampilkan penyusun. Kedua, tak mengukur kinerja, melainkan hal-hal yang bersifat instrumental-input yang masih diduga memengaruhi kinerja.

Sertifikasi guru seharusnya diletakkan dalam bingkai pengembangan profesionalitas pendidik dan bukan sekadar alat pemenuhan tuntutan yuridis formal yang penuh aroma politik praktis. Proses sertifikasi tak boleh terjebak pada justifikasi lulus-tidak lulus saja, tetapi harus jadi sebuah prosesi yang fungsional- akademis yang memberikan pengalaman belajar bermakna bagi guru di dalam meningkatkan mutu pembelajaran.

Proses sertifikasi guru yang demikian ini menempatkan penilaian sebagai bagian terintegrasi dalam proses pengembangan profesi. Portofolio itu merupakan analisis reflektif tentang praktik pembelajaran yang dilakukan guru dan dampaknya pada belajar siswa. Jadi, karakteristik khas portofolio berbasis kelas adalah analitik-reflektif.

Portofolio berupa laporan analisis (semacam evaluasi sumatif) terhadap kerja profesional guru mengenai segala keputusan tindakan pembelajaran yang telah dilakukan selama rentang waktu tertentu dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Penilaian portofolio dapat menggunakan instrumen berupa rubrik, dengan skala pemeringkatan tertentu.

Semangat yang dibawa adalah pemberdayaan guru. Dengan mekanisme penilaian portofolio ini, guru akan mengelola pembelajarannya dengan kerangka pikir pengembangan, dan dengan demikian berdampak pada proses pertumbuhan profesi secara berkelanjutan karena siklus kinerja yang analitik-reflektif akan menjamin pertumbuhan profesional.

Portofolio berbasis kelas juga tak bias kota, yang konon banyak menyediakan fasilitas seminar dan pelatihan. Untuk menyusun portofolio yang baik, guru cukup berkutat dengan urusan pemantapan pembelajaran. Dengan format portofolio berbasis kelas, di pelosok mana pun guru menjalankan tugas, mereka bisa membuat portofolio terbaik dan ”mengujikan” kompetensi dirinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik.

Kompetensi pendidik merupakan bangun utuh antara domain proses berpikir dan domain tindak pembelajaran. Artinya, perangkat uji kompetensi juga satu kesatuan bangun utuh yang mampu mengukur domain berpikir dan domain tindakan guru. Portofolio harus mampu jadi media pengukuhan profesi guru secara konsisten (berkelanjutan). Sebagai perangkat penilaian kinerja, portofolio harus mampu mengungkap pengetahuan teoretik dan konsepsi (keyakinan) guru, pikiran dan keputusan guru yang menggambarkan bangun (domain) proses berpikir guru, serta perwujudannya dalam bentuk tindak pembelajaran.

Bangun proses berpikir guru ini sesungguhnya menunjukkan epistemologi dan paradigma belajar dan pembelajaran yang dibangun guru lewat proses resiprokal antara pengalaman berpikir dan bertindak di sepanjang perjalanan karier sebagai agen pembelajaran.

Waras Kamdi Ketua LP3 Universitas Negeri Malang; Pegiat Kelompok Peduli Pendidikan Guru

Universitas Padjadjaran Bangun Museum Naskah Kuno Nusantara

Universitas Padjadjaran, Bandung, sedang membuat Museum Naskah Kuno Nusantara di Kampus Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Museum ini diharapkan selesai pada 2012.

Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Dadang Suganda mengatakan, museum itu diharapkan menjadi sumber literatur dan pencatatan sejarah tradisi masyarakat serta mencegah maraknya penjualan naskah kuno ke luar negeri.

”Perlindungan terhadap naskah kuno sudah sangat mendesak karena penjualan naskah ke pihak asing masih marak,” kata Dadang di Bandung, Selasa (23/11).

Selain itu, dalam naskah kuno tertentu tersimpan berbagai macam pengetahuan, kehidupan sosial budaya, cara pengobatan, dan praktik pemerintahan yang masih relevan apabila diterapkan saat ini.

Dadang mengatakan, museum yang sudah mulai dibangun ini akan diisi berbagai naskah kuno, baik hasil pencarian ke berbagai daerah maupun sumbangan pihak tertentu. Ia mencontohkan naskah hasil sumbangan filolog asal Perancis, Viviane Sukanda-Tessier, sebanyak 981 naskah kuno berbahasa Arab, Sunda, serta Jawa dari Jabar dan Banten.

Naskah terbuat dari daun lontar, kertas daluang, dan kertas buatan Eropa bertanda air dari abad ke-17 dan abad ke-18. Selain itu, pencarian naskah juga dilakukan dengan membentuk tim untuk mencari naskah yang saat ini berada di masyarakat.

Ketua Konsentrasi Bidang Kajian Utama Filologi dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Kalsum mengatakan, keterlibatan masyarakat juga diharapkan menjaga keberadaan naskah kuno di Jabar. Akibat minimnya pemahaman masyarakat, banyak naskah kuno yang terlalu dianggap sakral atau bahkan dianggap tidak bernilai sejarah. Akibatnya, banyak nilai dan kandungan ilmu yang ada dalam naskah tidak bisa dimanfaatkan untuk kehidupan saat ini. ”Karena minimnya pemahaman masyarakat terhadap naskah kuno, banyak pula naskah yang dijual kepada pihak asing,” ujarnya.

Buku Baru: Api Paderi: Pertentangan Kaum Paderi dengan Kaum Adat Menegakkan Islam secara Kaffah

Dua kutub, di mana pun itu, selalu ada dan saling beradu. Kutub agama dan budaya menjadi contoh kutub-kutub yang kadang sulit bertemu. Karena itu, membaca, mempelajari, dan mempertemukan kedua kutub ini kadang menjadi sia-sia jika tidak dikaji dari sudut yang tepat.

Pertentangan semacam ini pun terjadi. Pro-kontra Kongres Kebudayaan Minangkabau adalah dua kutub yang saling beradu. Kutub yang sulit bertemu yang coba dijalin dalam suatu karya sastra oleh seorang penulis muda asal Ranah Minang. Penulis novel ini berani menulis setelah tunak di Yogyakarta sana. Novel ini bahkan lahir setelah ia berada jauh dari obyek yang dituliskannya.

Karya ini mengambil setting tempo dulu Nagari Paninjauan di pinggang gunung, yang sekaligus menjadi bagian penting dari narasi yang terbangun. Lalu dengan ”memanfaatkan” perdebatan dua kutub antara kaum padri dan kaum adat, penulis novel ini menghadirkan kisah-kisah lama dengan baik.

Konflik panas

Perseteruan kaum padri dengan kaum adat sudah menjadi cerita baik dalam khazanah pemikiran Islam modern dan sejarah prakemerdekaan. Bahkan, dalam sejarah Islam secara umum. Cerita heroik ini berawal dari pembaruan di Ranah Minang seiring dengan masuknya gerakan Wahabisme. Cerita heroik Harimau Nan Salapan dalam gerakan pemurnian Islam merupakan sebuah episode sejarah yang melekat dan terkait dengan titik prakemerdekaan. Ada semangat perlawanan untuk lebih maju dan memerdekakan diri dari kungkungan kemapanan. Di sinilah, jika merenunginya, seakan-akan mustahil. Tuanku Nan Renceh dari Kamang Bukittinggi begitu tega membunuh ”eteknya” sendiri, karena tidak mau berhenti dari mengunyah sirih. Begitulah kerasnya ”perang” terhadap Takhayul Bid’ah dan Churafat di Ranah Minang hingga menjadi sebuah gerakan yang menimbulkan konflik panas.

Serpihan sejarah kaum padri dengan balutan romantika, konflik, adat, budaya, dan agama paling tidak mengingatkan bahwa hidup memang selalu berpagut pada cara pandang terhadap kehidupan. Keyakinan dan kenyataan selalu terkait.

Tokoh Datuk Sati dengan para parewanya menerangkan bahwa sudah menjadi budaya, sejak saisuak, hal-hal apa pun akan dimurnikan oleh gerakan orang asing. Walaupun begitu, ia sangat moderat terhadap hal baru. Lain lagi dengan Datuak Tan Kuniang, yang tak bisa diasak pendapatnya. Diasak layu, dianjak mati! Sementara, Tenku Hudzail dari sisi lain, yang membawa ”sesuatu” dari rantau, agaknya harus mendapat masalah. Begitulah awalnya lalu ada romantika adik si Midin, Puti Jalito, yang membuat lini cerita berkelindan dengan dinaungi narasi Nagari Paninjauan yang indah.

Dalam novel ini, ada masalah teknis pada beberapa bagian bangunan kalimat dan istilah. Paling tidak, sedikit mengganggu dan mesti direkomendasi kepada penulis dan penerbit untuk kembali mengoreksi. Walau akan menjadi alasan, remah-remah sejarah ini sudah telanjur masuk wilayah fiksi. Hal ini kadang tetap menjadi ganjil dan mustahil di pikiran pembaca di ranah sendiri. Dan itu, sangatlah mungkin bagi pembaca untuk komplain jika melihat kenyataan yang ada dibandingkan dengan yang diceritakan dalam novel. Atau paling gawat, jika fiksi ini hanya satu-satunya sumber bacaan di masa depan nantinya tentang pertikaian kaum tua dan kaum muda. Maka, alamat novel ini menjadi tambo! Apalagi bagi Ranah Minang, tempat di mana setting itu berada dan segala sesuatunya sangat banyak yang tahu tentang apa yang diceritakan tersebut.

Badiak dan cenayang (clairvoyance) adalah dua kata yang paling mungkin ”dicurigai” menyaru secara sah dalam novel ini. Alasannya, ini bahasa dari ranah yang lain. Bagi penulis tentulah punya alasan tersendiri, tetapi ”kecurigaan” akan kuat terasa ketika masuk lebih jauh. Di mana, ada komparasi ala penulis dalam cerita ke ranah Jawa. Misalnya, persis Tapa Brata Nyi Camara di Pantai Selatan (hal 16). Komparasi ini terjadi beberapa kali, seakan-akan penulis ingin menjelaskan lebih jauh tentang duduk persoalan. Sementara, persoalan baru pun muncul di benak pembaca. Bagaimana jika pembaca tidak kenal dengan amsal yang jadi bahan komparasi itu? Ini bisa berbahaya. Inilah jika menulis cerita dengan setting sejarah.

Persepsi baru

Secara menyeluruh, novel ini harus diapresiasi tinggi di ranah sendiri. Sebuah novel baru dengan penulis yang mengaku baru pula perlu dibaca oleh siapa saja. Kenapa demikian? Karena penulisnya telah mencerita hal-hal lama dengan posisi dan persepsi yang baru dan segar. Memperkenalkan dua kutub pemikiran yang pernah ada dan mungkin masih ”bertempur” di kepala orang-orang di sini. ”Di negeri orang-orang pintar,” menurut Makmur Hendrik.

Novel Api Paderi diyakini menjadi sebuah novel yang kuat karena narasi-narasi yang hidup dengan pendekatan kata-kata sastra. Lebih-lebih jika menceritakan suasana Paninjauan yang indah. Dua gunung, malam purnama penuh. Sawah. Angin sepoi-sepoi dan seterusnya. Memancing pengambilan gambar untuk dijadikan film. Dan ini, paling tidak, merekomendasikan para sineas untuk mengangkat novel ini ke skenario film.

Terakhir, dua kutub itu selalu ada sebagai kenyataan dalam kehidupan. Ia laksana dua rel yang diperlukan walau tak bisa dipertemukan. Dan memang tidak perlu dipertemukan demi keseimbangan. Selalu, ”pertentangan dan perimbangan” memang ranum (hal 11) jika diusik oleh kepentingan yang menyaru ke dalamnya. Kepentingan tersebut berupa kekuasaan; ekonomi, daerah, juga kadang perempuan! Begitulah, novel ini hadir menjadi bukan sekadar sebuah cerita lepas. Ia memiliki sesuatu yang amat penting diceritakan untuk diambil sebagai pelajaran, iktibar!

Abdullah Khusairi Dosen Pemikiran Islam Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang

• Judul: Api Paderi: Pertentangan Kaum Paderi dengan Kaum Adat Menegakkan Islam secara Kaffah

• Penulis: Muhammad Sholihin

• Penerbit: Narasi

• Cetak: Februari 2010

• Tebal: 215 halaman

• ISBN: 978-979-168-228-2

Buku Buku Terbaru Hari Ini

Ketika Matahati Bicara

Surat kabar hanya bertahan sehari. Sedangkan buku bisa bertahan 1.000 tahun. Demikian kalimat bijak yang diyakini sebagian besar wartawan, termasuk Ahmad Suroso, kelahiran Yogyakarta tahun 1960. Oleh karena itulah, Redaktur Pelaksana sekaligus Plt Pemimpin Redaksi Tribun Batam (sejak tahun 2009) menerbitkan buku berisi kumpulan editorial atau Tribun Corner yang setiap hari muncul di harian yang ia pimpin. Suroso memberi judul bukunya, Ketika Matahati Bicara.

Tulisan di editorial Tribun Batam merupakan refleksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi perbincangan publik, baik lokal, regional, maupun nasional. Isinya merupakan perpaduan antara topik hangat yang sedang berkembang di masyarakat dan ekspresi sikap kritis, optimistis, atau kegalauan dan sedekat mungkin mencoba menyuarakan suara publik.

Diterbitkan oleh PT Grafika Wangi Kalimantan, Ketika Matahati Bicara diberi pengantar Moh Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga ”teman” penulis saat kuliah di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Senandoeng Radja Ketjil

Sebanyak 15 penyair berhimpun di dalam sebuah buku berjudul Senandoeng Radja Ketjil. Beberapa di antaranya cukup beken di dunia tulis-menulis. Sebut saja di antaranya Hendry Ch Bangun, Prijono Tjiptoherijanto, Edi Sedyawati, Eka Budianta, Handrawan Nadesul, dan Kurniawan Junaedhie.

Mencermati nama-nama itu, tak pelak lagi mereka adalah orang-orang mapan. Kiprahnya dalam peta perpuisian Indonesia juga sudah tak asing lagi, bahkan sebagian besar telah ikut mewarnai dinamika kesusastraan Indonesia tahun 1980-an. Jadi sesungguhnya mereka, secara sosial-ekonomi, bukan kelompok marjinal dan tak pernah kehabisan pekerjaan.

Sekarang boleh kita bertanya: apa maunya orang-orang mapan ini berhimpun dan bersepakat menerbitkan puisi? Demikian pertanyaan Maman S Mahayana, pemerhati sastra, di dalam epilog buku itu.

Selain menyumbang beberapa judul puisi, Handrawan Nadesul, seorang dokter, juga menulis prolog atas buku yang diterbitkan Penerbit Kosa Kata Kita ini. Ia memberi judul ”Berpuisi untuk Memperkaya Diri”.

”Antologi ini lahir bukan tanpa sebab,” kata Handrawan.

Biografi Warkop: Bisnis Warung Kian Tergusur

Andai Warkop masih lengkap, sajian satir politik mereka laris manis setahun terakhir ini. Mereka pasti ”menguras habis” isu DPT bodong, Cicak vs Buaya, skandal Century, mobil baru menteri, studi banding DPR, Ketum PSSI, dan belasan ketidakwarasan politik sebagai bahan melucu. Apalagi, komedi jadi salah satu kompensasi untuk melepaskan stres sosial karena aspirasi rakyat sudah lama tak didengar elite yang memerintah.

Akan tetapi, apa betul banyak yang tertarik nonton lawak politik? Apalagi lawak ala Warkop disajikan butuh tingkatan intelektualitas tertentu mengingat almarhum Nanu Mulyono, Kasino Hadibowo, dan Wahjoe Sardono (yang tersisa tinggal Indro Kusumonegoro dan Rudy Badil) sarjana-sarjana sadar politik. Sementara, mayoritas rakyat terbilang apolitis.

Persoalan kedua, satir-satir Warkop pada tahun 1970-an digemari karena iklim politik yang represif. Belum ada keterbukaan, semua takut buka mulut. Pembusukan politik (political decay) saat itu menyuburkan rumor-rumor tentang penyalahgunaan kekuasaan yang berseliweran nyaris tiap hari, yang dengan mudah dapat diangkat menjadi satir. Dalam istilah populer, kita hidup di alam vivere pericoloso atau nyerempet- nyerempet bahaya yang kondusif untuk ditertawakan.

Hal ketiga, Warkop keburu ngetop hanya di kalangan generasi muda saja. Itu pun cuma di wilayah terbatas dan eksklusif, seperti kampus atau stasiun radio Prambors. Para penikmatnya kaum terpelajar saja. Baru belakangan mereka ”merakyat” ketika masuk ke film dan rekaman kaset dengan banyolan-banyolan populer, termasuk pornografi.

Di atas segala-galanya, kita belum punya tradisi stand up comedy yang berbau politik yang kekuatannya ketika disajikan melalui monolog. Kreativitas komedian kita waktu melakukan stand up comedy terbatas, audiens juga kurang paham menangkap nuansa-nuansa politik. Monolog kita dimainkan batur-batur Srimulat yang tampil sendiri membuka panggung dengan banyolan-banyolan yang itu-itu saja.

Buku

Asumsi-asumsi inilah yang dikemukakan dalam buku Warkop, Main-main Jadi Bukan Main hasil karya dua eks personelnya, Rudi Badil dan Indro Kusumonegoro. Buku ini yang pertama yang lengkap mengulas perjalanan kelompok lawak. Memang tak ada referensi memadai untuk menulis secara ilmiah, tetapi daya ingat Badil dan Indro (serta analisis film dan kaset Warkop) membuat buku ini cukup menarik sebagai biografi.

Barangkali untuk menempatkan Warkop sebagai komedian-komedian politik, kisah Dono jadi demonstran lagi seperti ia masih mahasiswa, yang jadi pembuka buku, boleh dikenang. Dono yang suka nekat itu, sepanjang demo dari petang 13 November 1999 hingga lewat tengah malam, jadi ”dirigen” penyemprot selang air pemadam kebakaran di Unika Atmajaya. Lawan Dono tentu amat tangguh, yakni aparat keamanan yang menghujani kampus dengan peluru.

Ya, Dono dinobatkan sekitar 5.000 mahasiswa/demonstran sebagai penyemprot utama selang raksasa. Meski tak pernah jadi petugas pemadam kebakaran, kedua tangan Dono lincah memainkan selang ke kerumunan tentara di jalan jalur lambat Jalan Jenderal Sudirman. Ia lincah menyemprot air ke kiri, tengah, kanan, berpindah-pindah dengan cepat. Sebagian prajurit geleng kepala melihat ulah Dono.

Pancaran Sinar Petromaks

Menyaksikan aksi Dono itu mengingatkan kita bahwa itulah sesungguhnya komedi politik Warkop ketika awal dibentuknya. Ia lugu karena idealis, bersifat partisipatif, berani menyerempet bahaya, dan tak kenal batas usia. Aksi Dono kurang lebih mirip dengan kebiasaan mereka sejak dulu, bersikap apatis terhadap, atau melecehkan, kekuasaan.

Misalnya, ”intel Melayu” yang masuk kampus memata-matai mahasiswa pada masa Orde Baru sering jadi sasaran. Mereka dengan bahasa tubuh dan oral yang berani dan ngawur, pura-pura saling komunikasi dengan walkie-talkie untuk melaporkan situasi yang sebenarnya tak genting amat kepada komandan. Adegan menarik itu tak lupa pula ditimpali dengan suara mulut berbunyi ”kresek-kresek” yang keluar dari walkie-talkie intel yang usang.

Tentu Warkop tidak hanya bermain lewat monolog sendiri atau dialog lima orang saja, ada saja cara-cara lainnya, termasuk happening arts. Entah bentuknya obrolan ringan dengan masing-masing personel berbahasa daerah, sajian musik dengan lagu-lagu Barat atau Indonesia yang dipelintir liriknya, drama pendek, dan sebagainya. Dan, tentu saja medium yang paling efektif adalah musik.

Itu pun bukan kejutan karena musik pada tahun 1970-an menjadi lingua franca bagi generasi muda, terutama mahasiswa, untuk melancarkan kritik sosial. Seperti halnya band-band pop atau rock, kritik melalui musik dianggap paling efektif. Setidaknya musik menjadi lem perekat yang mengikat solidaritas mahasiswa yang hidup di dunia ”buku, pesta, dan cinta”.

Tidak heran Warkop meniti karier profesional dari stasiun radio Prambors yang menjual musik. Kebetulan pula sebagian personel Warkop merupakan musisi-musisi yang cukup mahir memainkan instrumen dengan suara yang tak kalah merdu dibandingkan biduan-biduan profesional kala itu. Bagi sebagian orang, musik Warkop dan pelesetan lirik lagu-lagu Barat maupun Indonesia yang justru jadi kekuatan tersendiri.

Itulah salah satu sebab mengapa Warkop ikut pula melahirkan grup musik Pancaran Sinar Petromaks (PSP) saat hari pertama shooting film November 1928 arahan Teguh Karya tahun 1978. PSP terdiri dari sejumlah mahasiswa FISIP UI dan FE-UI yang memiliki daya pikat tersendiri dengan sajian lagu-lagu bernapaskan dangdut. Belakangan, kaset-kaset Warkop juga diselingi pula oleh sejumlah lagu yang, sayangnya, tidak mampu menjadi hit.

Mencampur happening arts dengan lawak politik tentu bukan tugas mudah. Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa Nanu, Kasino, Dono, Indro, dan Badil sesungguhnya komedian-komedian berbakat besar. Setelah era Warkop, tak ada lagi kelompok lawak asal kampus (khususnya UI) yang mengikuti jejak langkah mereka. Bisnis kelas warung rupanya semakin tergusur dilindas zaman.