Monthly Archives: September 2008

Benteng Terakhir Pertahanan Intelektualitas Republik Indonesia

Dalam kurun serba uang dan kedudukan seperti sekarang, ada pertanyaan yang mendesak diajukan. Di manakah benteng terakhir asketisme intelektual kita?

Ketika para intelektual merayap keluar dari ruang-ruang akademik dan mengabdi pada uang dan kedudukan, di manakah semangat artes liberal yang diabdikan pada kebaruan dan wawasan? Saat kepentingan intelektual sebangun dengan kepentingan pemodal dan politikus, di manakah integritas akademik bercokol?

Surplus

Satu hal yang patut menjadi kebanggaan kita, republik ini tak pernah kekurangan intelektual. Dalam satu tahun saja, ribuan master dan doktor dihasilkan. Sebagian melalui jalur universitas, sebagian lain melalui jalur partikelir. Berbagai lembaga donor asing berlomba membiayai para calon intelektual republik. Ada yang jelas-jelas berkepentingan, ada juga yang bersembunyi di balik agenda peradaban. Apa pun, kita patut bersyukur.

Masalahnya, di manakah para intelektual mengabdi setelahnya. Universitas terbatas, sementara pasokan intelektual muda terus bertambah. Belum lagi birokrasi perekrutan yang formalistik dan konservatisme berdosis tinggi di universitas. Kementerian pun demikian. Doktor-doktor baru pulang untuk mendapati pekerjaan administrasi belaka. Tak ada laboratorium canggih untuk mereka mengembangkan ilmu.

Yang tinggal adalah lembaga- lembaga penelitian partikelir yang tersebar di pelosok republik. Sebagian didanai pemodal dan sebagian lain politikus. Lembaga- lembaga ini menarik. Sebab selain gaji yang memadai, para intelektual juga mendapat prestise tersendiri. Mengapa demikian? Sebab lembaga-lembaga penelitian adalah tangki pemikir (think- tank) yang mendekatkan intelektual pada yang kuasa.

Para akademisi pun kini menjadi agen ganda. Universitas yang tidak menjanjikan secara ekonomi membuat mereka cari makan di luar. Masalahnya, mereka tidak mau melepaskan status sivitas akademika-nya. Bagi mereka, apa yang mereka lakukan adalah satu dari tiga darma perguruan tinggi: pengabdian masyarakat. Namun, apa jadinya saat pengabdian masyarakat menumpulkan dua darma lain. Riset pun menyurut dan pengajaran menjadi ala kadarnya. Di mana letak tanggung jawab mereka sebagai sivitas akademika, komunitas akademik yang beralas pada kreasi bukan komodifikasi pengetahuan.

Intelektualitas dan kekuasaan

Ribuan tahun lalu Plato mengingatkan, intelektualitas sebangun dengan kekuasaan. Sebab, intelektualitas adalah kebijakan tertinggi yang akan mengatur nafsu-nafsu rendah. Namun apa jadinya saat intelektualitas menyatu baku dengan nafsu-nafsu rendah itu? Alih-alih menjadi komando bagi nafsu uang dan kedudukan, para intelektual mengabdi pada keduanya.

Alibi para intelektual tukang saat ini mungkin masuk akal. Kami bergabung untuk memberi warna humanis pada uang dan kedudukan. Berkat kami, kini uang dan kedudukan menjadi santun dan berperikemanusiaan. Naif dan mudah dibatalkan. Apa yang kita saksikan kini adalah intelektual yang memberi justifikasi ilmiah pada kejahatan yang dilakukan pemodal. Saksi-saksi ahli adalah intelektual bermuka tebal. Mereka rela mengorbankan integritas keilmuan demi ketebalan kantong belaka.

Saya tiba-tiba terkenang filsuf Perancis, Michel Foucault. Dia mengingatkan, jangan terlalu naif memandang pengetahuan. Alih- alih berhadapan, pengetahuan dewasa ini berkelindan dengan kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan. Putusan pengadilan pun memihak saat sang intelektual berfatwa, ”itu adalah kejadian alam bukan kelalaian!”. Artinya, pengetahuan bukan muatan kepala orang per orang. Itu sudah menjadi institusi yang mendikte perilaku, perasaan, dan kesadaran semua orang.

Universitas

Universitas adalah universum ilmu-ilmu, sebuah artes liberal yang membaktikan diri pada kreasi dan transfer pengetahuan. Para intelektual universitas adalah hulubalang tri darma perguruan tinggi. Pertama, meneliti untuk mencipta pengetahuan. Kedua, mengajarkan pengetahuan itu. Ketiga, memanfaatkan pengetahuan baru untuk kemaslahatan bersama.

Sekelompok peneliti IPB yang meneliti adanya bakteri pada susu kaleng tahu persis darma mereka. Mereka tidak menghamba pabrik susu atau Departemen Kesehatan. Mereka menghamba pada kebenaran dan integritas akademik. Mereka tahu, apa yang mereka temukan harus dibagikan untuk kepentingan publik, juga saat mereka menjadi bulan-bulanan kekuasaan.

Universitas bukan pemasok tukang, tetapi pengetahuan. Seorang sahabat mengatakan, pengetahuan bukan komoditas. Pengetahuan bertambah saat dibagikan. Pengetahuan berkembang lewat persentuhan. Saat pengetahuan dijual demi uang dan kedudukan, watak pengetahuan semacam itu pupus. Pengetahuan tak ubahnya barang dagangan di toko kelontong.

Watak nontransaksi dari pengetahuan harus dirawat universitas sebagai semesta ilmu-ilmu. Para intelektual universitas bekerja dua puluh empat jam setiap hari untuk menemukan pengetahuan dan membagikannya. Untuk itu mereka layak dibayar tinggi sehingga mereka tidak lagi membuka warung pengetahuan di luar. Mereka tidak lagi tergiur uang dan kedudukan. Mereka bangga dengan statusnya sebagai warga sebuah sivitas akademika.

Universitas adalah benteng terakhir asketisme intelektual. Saat tangki-tangki pemikir bernoda uang dan kedudukan bertumbuhan di sana sini, universitas harus menumbuhkan tangki-tangki pemikir yang mengabdi kemaslahatan bersama, bukan pribadi atau golongan. Infiltrasi kepentingan harus dibersihkan dari tiap pojok akademik universitas.

Untuk itu, universitas harus membuka pintu lebar-lebar bagi intelektual independen, mereka yang beraspirasi pada integritas ilmu pengetahuan dan kemaslahatan bersama. Sebab, merekalah para penjaga benteng sebenarnya. Namun, sekali lagi, intelektual yang tidak mudah dibeli justru mahal harganya. Karena itu, segalanya harus dimulai dari elitisme. Para intelektual independen ditampung dalam aneka kelompok peneliti khusus. Tugas mereka ada tiga: meneliti, mengajar, dan mengabdi pada kemaslahatan bersama. Tak lebih.

Kecendekiawanan adalah sebuah panggilan, sebuah laku suci untuk menapak di tanah tak bertuan. Membuka rahasia semesta dan membocorkannya secara sederhana demi kemaslahatan bersama. Karena itu, bagi mereka yang berpisah jalan hanya ada satu pesan. Kembalilah ke jalan yang benar, jalan kecendekiawanan, jalan artes liberal. Universitas, benteng kita bersama.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI; Pendapat Pribadi

Balai Bahasa Masih Kurang – 10 Provinsi Tidak Miliki Balai Bahasa

umlah balai bahasa dirasakan masih kurang. Dari 33 provinsi di Indonesia, hingga saat ini baru 17 provinsi yang memiliki balai bahasa dan lima provinsi yang mempunyai kantor bahasa. Padahal, keberadaan lembaga tersebut penting sebagai pusat informasi dan pengembangan bahasa Indonesia.

”Belum adanya balai bahasa di semua provinsi menyebabkan pengembangan bahasa, termasuk juga untuk pemetaan bahasa daerah, menjadi tidak optimal,” kata Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono di Jakarta, Selasa (16/9). DKI Jakarta tidak memiliki balai bahasa, tetapi ada Pusat Bahasa.

Adapun 10 provinsi yang belum memiliki balai bahasa atau kantor bahasa adalah Kepulauan Riau, Bengkulu, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Dendy Sugono mengatakan, ke depannya balai bahasa di provinsi juga mampu membantu peningkatan mutu bahasa asing di kalangan masyarakat, seperti bahasa Inggris untuk peningkatan daya saing masyarakat Indonesia di dunia internasional.

”Misalnya, untuk kalangan tenaga kerja Indonesia, orang Indonesia masih kalah dari Filipina dalam penguasaan bahasa Inggris,” kata Dendy.

Sastra daerah

Kepala Balai Bahasa Kalimantan Tengah Puji Santosa, secara terpisah, di Palangkaraya, mengatakan, selain sebagai pusat informasi, balai bahasa juga berperan meningkatkan mutu bahasa dan sastra di daerah.

Selama ini banyak pihak yang mendatangi Balai Bahasa Kalteng untuk berbagai keperluan terkait bahasa dan sastra. Selasa (16/9) pagi, misalnya, Rohana, guru Agama Islam SD Negeri 2 Menteng, Palangkaraya, datang ke Balai Bahasa Kalteng untuk meminta masukan mengenai naskah kumpulan puisi dan esai pengajaran bahasa dan sastra yang ditulisnya.

Sebelumnya, ada juga warga di Palangkaraya yang datang ke Balai Bahasa Kalteng sambil membawa foto spanduk dan papan iklan. ”Warga tersebut ingin tahu apakah tata bahasa dan substansi kalimat pada iklan itu sudah benar, sesuai kaidah, dan layak dipasang atau tidak,” kata Puji.

Ada juga polisi yang meminta pendapat dari ahli bahasa di Balai Bahasa Kalteng mengenai suatu kasus penghinaan yang sedang disidik. Polisi tadi ingin mengetahui apakah makna ucapan tersangka yang sedang disidik itu dari sisi bahasa termasuk penghinaan atau tidak.

Puji menuturkan, kegiatan kebahasaan dan kesusastraan Balai Bahasa Kalteng dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menggelar temu sastrawan dan diskusi bahasa.

Kisah Seru Akuisisi Perusahaan Krakatau Steel

Ketika Lakshmi Mittal, orang kelima terkaya di dunia, berniat membeli 49 persen saham Krakatau Steel dengan penawaran senilai 10 miliar dollar Amerika Serikat, pro dan kontra pun terjadi.

Menteri BUMN Sofyan Djalil dan Kepala BKPM M Lutfi mendukung masuknya Mittal dengan harapan kinerja Krakatau Steel menjadi lebih baik. Maklum, hingga semester pertama tahun ini lonjakan impor baja telah mencapai 4,3 miliar dollar AS. Alangkah eloknya jika hal itu bisa disediakan sendiri di dalam negeri.

Namun, banyak pula yang menolak kehadiran Mittal, mulai dari karyawan dan manajemen Krakatau Steel hingga sejumlah pakar dan pengamat bisnis, yang lebih menyarankan untuk menjual saham melalui penawaran kepada masyarakat (IPO).

Bagi Mittal, kondisi semacam ini bukan yang pertama yang harus dihadapinya. Cold Steel, yang ditulis oleh Bouquet dan Ousey (2008) menjelaskan bagaimana ia merebut sejumlah perusahaan besi dan baja di banyak pelosok dunia. Dukungan yang kuat dari sejumlah lembaga keuangan global memungkinkan Mittal melakukan ekspansi bisnis yang membuatnya sebagai bagian dari lima orang terkaya di dunia.

Sejak Barbarian at the Gate (Burrough dan Helyar, 1990) yang menceritakan dengan rinci lika-liku hostile takeover RJR Nabisco, maka Cold Steel merupakan kisah perburuan Mittal untuk memperoleh sejumlah perusahaan baja yang tidak memiliki kinerja optimal untuk dicaplok dan kemudian dipoles agar beroperasi menguntungkan.

Kedua pengarang berhasil menghidupkan kenyataan dengan menggambarkan sejumlah langkah politik, ekonomi, serta pengelolaan isu dan komunikasi yang harus diambil Lakshmi Mittal dan anaknya, Aditya Mittal, untuk mencapai tujuannya.

Buku ini menggambarkan bagaimana pemerintah di sejumlah negara mengalami kesulitan karena perusahaan baja yang mereka miliki tidak beroperasi secara menguntungkan. Suatu kondisi rawan yang akan mengundang masuk predator asing untuk menguasainya.

Mittal sesungguhnya memulai bisnis baja globalnya dari Jawa Timur, yang dalam tahun pertama operasinya (1978) memproduksi 26.000 ton, dengan laba sebesar 1 juta dollar AS. Sebelas tahun kemudian, produksinya sudah mencapai 330.000 ton, yang memberinya keyakinan untuk memulai akuisisi globalnya.

Ia memulai dari Trinidad dan Tobago, ketika pabrik baja ISCOTT terancam bangkrut. Pengelolaannya saat itu dibantu oleh 60 manajer Jerman yang bergaji 20 juta dollar AS per tahun. Dalam kondisi itu, perusahaan merugi 10 juta dol,ar AS per bulan. Mittal pun menawarkan ke Pemerintah Trinidad dan Tobago, ”Berikan perusahaan untuk saya kelola dan setiap bulan saya akan menyetor 10 juta dollar AS (hal 30).”

Mittal segera melakukan efisiensi. Manajer Jerman diganti dengan manajer India yang hanya digaji 2 juta dolar per tahun, hanya 10 persen dari gaji manajer Jerman. Ketika perbaikan dilakukan (1989), produksi ISCOTT hanya 420.000 ton, empat tahun kemudian produksinya hampir mencapai satu juta ton. Dan, Mittal mengakuisisi pabrik baja itu.

Dalam upaya memburu perusahaan-perusahaan baja di segenap penjuru bumi, Mittal harus berhadapan dengan sejumlah kepala negara yang ikut memberi kata putus terhadap perusahaan milik negara.

Salah satu yang dapat kita contoh adalah apa yang dilakukan Presiden Ukraina Viktor Yushchenko. Ia membatalkan tender KKN senilai 800 juta dollar AS dari kroni presiden sebelumnya bagi pabrik baja utama Ukraina: Kryvorizstal. Lalu melakukan tender terbuka yang sangat transparan. Khalayak umum dapat menyaksikan secara langsung melalui siaran elektronik tawaran yang disampaikan perusahaan-perusahaan baja yang berminat melakukan akuisisi.

Di sinilah Mittal harus bersaing dengan Arcelor, salah satu produsen baja terbesar di Eropa. Penasihat Presiden Yushchenko memperkirakan Kryvorizstal maksimal akan terjual seharga 3 miliar dollar AS. Namun, persaingan terbuka antara Mittal dan Arcelor membuat harga terus terkerek naik dan akhirnya dimenangkan oleh Mittal dengan harga 4,84 miliar dollar AS. Ini berarti lebih enam kali lipat dari harga yang dibayarkan kroni presiden sebelumnya dan nilai tunai yang didapat 20 persen lebih banyak dari semua dana privatisasi Ukraina sebelumnya.

Arcelor Mittal

Menyadari kehadiran Arcelor membuat perburuan pabrik baja menjadi lebih mahal, Mittal memulai perang besarnya untuk melakukan hostile takeover terhadap pesaingnya itu. Sebuah perburuan yang melibatkan banyak negara, sekutu, dan musuh yang perlu dipengaruhi dengan sejumlah deal yang menguntungkan bagi masing-masing pihak.

Mittal, misalnya, harus menemui Presiden Perancis Jacques Chirac dan Wakil Perdana Menteri Spanyol Pedro Solbes karena Arcelor memiliki sejumlah pabrik di Perancis dan Spanyol serta Perdana Menteri Luksemburg, Jean-Claude Juncker, tempat Arcelor bermarkas. Masih pula dilengkapi dengan menghadapi sejumlah menteri yang berhubungan dengan hal itu dan parlemen.

Dijelaskan bagaimana Arcelor harus mencari konsultan hukum, konsultan merger dan akuisisi, serta konsultan komunikasi untuk mempertahankan diri. Termasuk di sini apa yang dilakukan tim komunikasi Mittal dari Publicis, Jean-Yves Naouri, yang meminta wartawan Le Monde untuk mengangkat satu kutipan yang dianggap akan merugikan Arcelor (hal 116).

Mittal juga melengkapi pasukannya dengan konsultan yang sama tangguhnya, dengan suatu pertaruhan penting senilai 188 juta dollar AS—1 juta dollar AS per hari selama masa berburu—untuk membayar para konsultan ini agar dapat merebut mangsa yang diincar.

Ia beruntung didukung Menteri Perdagangan dan Industri India Kamal Nath yang menulis surat ke Komisioner Perdagangan WTO Peter Mendelson bahwa upaya menghalangi upaya merger Arcelor-Mittal sama artinya dengan menghalangi upaya WTO dalam mendorong upaya investasi lintas negara.

”Tidak seharusnya seorang investor dinilai berdasarkan warna kulitnya. Reaksi semacam ini memperlihatkan Eropa tidak siap menghadapi globalisasi yang mereka trompetkan,” tuturnya kepada wartawan (hal 138). Presiden Mammohan Singh juga tak lupa membicarakan hal ini ketika Presiden Chirac berkunjung ke India.

Perang opini dan isu memang sangat terasa di masing-masing pihak. Federasi Karyawan Baja Eropa menyampaikan penolakan mereka terhadap akuisisi Mittal. Mereka terus berupaya melobi para politisi untuk menolak hostile takeover ini.

Arcelor sendiri terus berusaha memperoleh dukungan finansial dari sejumlah institusi keuangan dan sekaligus berusaha mencari white knight, ksatria putih, dalam bentuk perusahaan baja terkemuka lainnya yang mau memberikan tawaran tandingan yang lebih baik dibandingkan dengan dark knight, si ksatria hitam.

Sejumlah ksatria putih datang dan pergi karena pengaruh dan penawaran dari masing-masing pihak. Termasuk di antaranya ThysenKrupp dari Jerman dan SeverStal dari Rusia. Sejumlah deal dan kontra deal bermunculan. Di antara pembicaraan dan perselingkuhan itu, sejumlah investor ikut menambang keberuntungan seiring dengan naiknya nilai saham dari perusahaan yang diperebutkan.

Akhirnya Arcelor jatuh juga ke pangkuan Mittal setelah ia menaikkan tawarannya dari harga semula sebesar 28 dollar AS per saham menjadi 40,40 dollar AS. Pihak manajemen tak lagi mempunyai cara untuk menghalangi Mittal karena pemilik saham Arcelor merasa memperoleh keuntungan besar dengan tawaran itu. Pemerintah Luksemburg yang sebelumnya keras menolak akhirnya terpaksa menerima ketika Mittal memastikan tak akan memindahkan kantor pusat Arcelor Mittal dari negara kecil itu. Mittal juga memastikan akan melaksanakan keterbukaan dan praktik good corporate governance dalam operasinya. Untuk semuanya ini, saham Pemerintah Luksemburg terdilusi hingga tinggal 3 persen dari 6,1 persen yang sebelumnya mereka miliki. Imbalannya, negara ini memperoleh dana tunai sebesar 600 juta dollar AS.

Sementara Arcelor-Mittal menjadi produsen baja terbesar di dunia dengan kapasitas produksi 10 persen dari total produksi dunia. Suatu kapasitas yang menurut Mittal harus terus diperbesar agar perusahaan dapat memiliki sustainable competitive advantage.

Buku ini memberikan pelajaran bahwa di dunia yang semakin terbuka sudah tak ada lagi tempat bagi perusahaan-perusahaan milik negara yang hanya menjadi parasit. Dorongan ke arah privatisasi yang semakin besar ini harus dapat dijawab oleh pengelola BUMN untuk dapat beroperasi secara inovatif dan menguntungkan. Suatu hal yang hanya mungkin terjadi jika mereka tidak diganduli oleh beragam vested interest dari sejumlah faksi dan kelompok untuk semata keuntungan kelompok mereka.

(M Gunawan Alif, Pengajar Brand Management dan Komunikasi Pemasaran di Pascasarjana Manajemen FE UI, MM UI, dan Binus Business

Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan

Judul: Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi Politik dalam Negara Kebangsaan Penulis: Ahmad Farhan Hamid Penerbit: Kemitraan Cetakan: I, Mei 2008 Tebal: 274 halaman Isu partai politik (parpol) lokal di Aceh secara politis tertuang dalam lampiran Provisional Understanding yang ditandatangani Pemerintah RI dan wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Geneva, Swiss.

 

Lampiran bertanggal 9 Januari 2001 itu menjadi dokumen pertama di Indonesia yang menyebut adanya calon nonpartai dan partai daerah atau parpol lokal yang dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan umum di Aceh. Dalam perjalanannya, muncul kontroversi terhadap pembentukan parpol lokal yang dituntut oleh GAM tersebut.

 

Sebagian berpendapat bahwa pembentukan parpol lokal di Aceh adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh.

 

Selain menyajikan format parpol lokal di Aceh, buku ini juga menguraikan sejarah dan perkembangan kepartaian di Indonesia sejak masa pendudukan Belanda dan Jepang hingga masa setelah reformasi. Penulis yang tercatat sebagai konseptor awal UU Otonomi Khusus Aceh ini juga membahas sejarah dan perkembangan parpol lokal di beberapa negara, seperti Inggris, Spanyol, Finlandia, India, dan Malaysia.

Kampanye Sekolah Gratis Melebihi Menarik Daripada Wajah Cantik Para Artis Yang Membosankan

Kemenangan Alex Noerdin- Eddy Yusuf atau Aldy dalam Pilkada Sumatera Selatan setidaknya mencerminkan bahwa sebagian besar warga lebih tertarik pada program pemenuhan sekolah dan kesehatan gratis daripada popularitas sosok selebriti.

Pasangan itu berhasil meraih suara pemilih sedikit lebih banyak dari Syahrial Oesman—yang berpasangan dengan presenter yang cukup populer di negeri ini, Helmy Yahya.

Dalam Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Selatan (Sumsel), Kamis (9/11), Aldy, yang selalu mengusung program sekolah dan kesehatan gratis dalam kampanyenya, ditetapkan sebagai pemenang pemilihan kepala daerah (pilkada). Mereka memperoleh 1.866.390 suara (51,40 persen). Rivalnya, Syahrial-Helmy (Sohe), mendapat 1.774.373 suara (48,60 persen), kalah tipis 122.017 suara.

Aldy unggul di delapan dari 15 kabupaten/kota, antara lain di Banyuasin, Musi Banyuasin, Muara Enim, Lahat, dan Musi Rawas. Sohe menang di tujuh daerah, antara lain di Palembang, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur.

Jumlah warga yang menggunakan hak pilihnya dalam pencoblosan tanggal 4 September lalu tercatat 3.704.591 orang (72,79 persen). Namun, 73.828 suara di antaranya dinyatakan tidak sah. Mengingat pemilih yang terdaftar 5.089.536 orang, maka 1.384.945 (27,21 persen) pemilih adalah golongan putih.

Ajukan gugatan

Dalam telekonferensi seusai penetapan pemenang pilkada kemarin, Alex Noerdin yang sedang berada di Jakarta menyatakan, setelah dilantik, dia akan langsung memanggil semua wali kota dan bupati se-Sumsel untuk membahas pembagian anggaran. ”Terutama untuk melaksanakan program sekolah dan kesehatan gratis. Berapa anggaran yang mereka sediakan dan berapa yang harus disiapkan provinsi. Pasti mereka mendukung karena rakyat membutuhkan,” katanya.

Di pihak Sohe, Ketua Tim Advokasi Sohe, Suparman Romans, menekankan, pihaknya akan mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Mereka menduga ada penggelembungan suara di Kabupaten Musi Banyuasin. ”Hari ini (kemarin) kami menyusun materi gugatannya. Besok atau lusa kami mengajukan ke pengadilan tinggi,” ujar Suparman.

Rapat Pleno KPU Sumsel, yang antara lain dihadiri Gubernur Sumsel Mahyuddin dan Kepala Kepolisian Daerah Sumsel Irjen Ito Sumardi, tidak dihadiri tim dan saksi Sohe.

Meski demikian, menurut Ketua KPU Sumsel Syafitri Irwan, rapat pleno tersebut tetap sah karena dihadiri minimal tiga anggota KPU Sumsel. Rapat itu diwarnai unjuk rasa ratusan pendukung Sohe.

Arti Kata Tebar Pesona Dalam Bahasa Indonesia

Ungkapan tebar pesona menjadi terkenal dan selalu dihubungkan dengan strategi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menuai kritik dari lawan politiknya. Mengapa tebar pesona bikin orang lain tak enak hati? Bukankah dengan kita banyak senyum, orang lain akan senang?

Seperti biasa tentu kita akan mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lema tebar yang ditandai sebagai verba langsung diikuti oleh bentuk bertebaran yang dijelaskan sebagai ’bertaburan, berhamburan, tersebar’: rumah makan banyak bertebaran di sekitar tempat itu.

Selain bertebaran juga dijelaskan kata bentukan lain, seperti menebari, menebarkan, mempertebarkan, tertebar, tebaran, penebar. Saya ingat kumpulan sajak Sutan Takdir Alisjahbana, Tebaran Mega, dan mencoba mencari maknanya. Di KBBI dijelaskan bahwa tebaran bermakna ’sesuatu yang ditebar’, ’hasil menebar’ dan ’siaran (agama), maklumat, taburan, sebaran’. Penjelasan ini menuntut kita membuka kamus lebih jauh dan menemukan kata taburan yang dijelaskan sebagai ’yang ditaburkan’: taburan bunga di pusara.

Jadi, apakah tebaran mega bermakna taburan yang dijelaskan sebagai yang ditaburkan? Sungguh membingungkan! Padahal, dengan menggunakan insting bahasa, saya mampu memahami ungkapan tebaran mega sebagai mega yang ditebarkan, artinya seolah-olah ditaburkan atau disebarkan di langit. Untuk menguji kebenaran rasa bahasa itu, tentu saya harus membuka KBBI.

Kumpulan cerpen saya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Wanita Cantik Menebar Harum Bunga, yang dikoreksi dari judul aslinya Wanita Cantik Menyebar Harum Bunga, dan di dalam kontrak cetak ulang untuk Proyek Pengadaan Buku Perpustakaan Nasional ditulis sebagai Wanita Cantik Penebar Harum Bunga. Apa pun judulnya, akibatnya sama saja: royalti yang sangat kecil.

Ternyata lema tebar tak menjelaskan kata menebar, tetapi menebari dan menebarkan. Rasanya kata menebari menuntut obyek penderita yang menyatakan tempat sebagai hasil kegiatan menebari, dan menebarkan menuntut obyek penyerta yang menyatakan benda yang ditebarkan.

Kesimpulan saya, saya telah salah memilih judul kumpulan cerpen yang berasal dari judul sebuah cerpen. Menurut KBBI, seharusnya judul buku itu Wanita Cantik Menebarkan Harum Bunga atau sebagaimana yang ditulis dalam surat kontrak cetak ulang: Wanita Cantik Penebar Harum Bunga.

Sebelumnya Wanita Cantik Menyebar Harum Bunga yang dikoreksi oleh redaktur Balai Pustaka itu, menurut KBBI, malahan benar. Kita temukan lema sebar langsung disusul oleh menyebar yang dijelaskan sebagai ’menghamburkan, menyiarkan (kabar), menabur (benih)’. Yang mengherankan, tak ada penjelasan mengenai menyebar yang bermakna ’pergi ke segala arah’, seperti dalam ”pasukan rahasia itu menyebar ke seluruh pelosok daerah musuh”.

Kata sebar menyiratkan adanya gerakan dari subyek ke arah tertentu. Apakah hanya boleh mengatakan dengan menghambur? Lema hambur dijelaskan sebagai tabur, tebar, dan sebar. Dengan penjelasan itu seolah tak ada beda antara tebar pesona, tabur pesona, dan sebar pesona. Yah, senyum sajalah yang memesona.

Sunaryono Basuki Ks Sastrawan, Tinggal di Singaraja

Sanksi Untuk Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Oleh Kepala Sekolah SMA 2 Banguntapan Sudah Tepat

Rekomendasi Badan Pengawas Daerah Kabupaten Bantul agar Kepala SMAN 2 Banguntapan dicopot dari jabatannya dinilai Komisi A DPRD Bantul sebagai langkah tepat. Komisi A juga memberikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Bantul karena sudah bertindak cepat dalam mengungkap kasus pelecehan seksual tersebut.

Ketua Komisi A DPRD Bantul Aryunadi, Rabu (10/9), di kantornya, mengatakan rekomendasi sanksi tersebut sudah sesuai dengan ketentuan normatif yang berlaku. Pencopotan jabatan saya kira sudah merupakan sanksi berat sehingga diharapkan ada efek jera, tuturnya.

Menurut Aryunadi, pihaknya belum menerima laporan rinci soal dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Kepala SMAN 2 Banguntapan Susanto kepada anak didiknya. Meski belum menerima laporan, tetapi bila memang terbukti sanksi tersebut sudah sangat tepat. Tindakan itu patut disayangkan, mengingat Pak Susanto sudah masuk golongan VI C, ucapnya.

Belum tuntas

Bila para korban masih tidak puas dengan sanksi tersebut, Komisi A mempersilakan mereka untuk mengadukan persoalan tersebut ke pihak kepolisian. Secara internal kepegawaian, pemberian sanksi memang dianggap selesai, tetapi bila masuk ke ranah hukum perkara tersebut belum dianggap tuntas. Dalam rekomendasinya, Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Bantul mengusulkan agar Susanto dicopot jabatannya sebagai kepala sekolah. Yang bersangkutan juga tidak diperbolehkan mengajar di SMAN 2 Banguntapan.

Bapak Susanto kami usulkan untuk dikembalikan ke Dinas Pendidikan. Meski begitu, keputusan tetap berada di tangan Bupati, kata Kepala Bawasda Bantul Subandrio. Menurut Subandrio, rekomendasi tersebut didasarkan pada hasil penyelidikan tim investigasi. Penyelidikan dilakukan terhadap lima siswa yang diduga menjadi korban, guru, dewan sekolah, ketua OSIS, dan sekolah tempat bekerja Susanto sebelum pindah ke SMAN 2 Banguntapan.

Kasus dugaan pelecehan seksual tersebut terungkap setelah para siswa SMAN 2 Banguntapan mogok belajar pada hari Sabtu (30/8). Mereka memprotes perbuatan kepala sekolah yang telah berbuat tidak senonoh seperti ucapan berbau seksual hingga meraba. Kejadian tersebut ditindaklanjuti Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul dengan membentuk tim investigasi yang beranggotakan perwakilan subdinas pendidikan menengah, kepegawaian, dan koordinator pengawas

Periset Unggulan Indonesia Pergi Keluar Negeri Akibat Merasa Tidak Dihargai

Sejumlah periset bidang unggulan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI memilih hengkang ke luar negeri. Alasannya, mereka menilai perhatian pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana penelitian sangat kurang sehingga penelitian tidak bisa berjalan optimal.

”Nyaris tidak ada iklim yang bisa mendorong lembaga-lembaga riset di Indonesia menjadi optimal. Keterbatasan dana riset tidak diatasi dengan mengoptimalkan kerja sama lintas lembaga riset yang ada,” kata Ines Irene Atmosukarto, yang sebelumnya menjadi periset pada Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Dia sebelumnya mengembangkan riset unggulan untuk pembuatan vaksin flu burung.

Sejak awal 2007, Ines hengkang ke Australia. Ia bekerja di sebuah perusahaan bioteknologi di Canberra yang bergerak di bidang penelitian pembuatan vaksin.

Selama riset tiga tahun antara 2003 dan 2006, Ines menemukan cara membuat protein M2 yang terdapat pada virus flu burung dengan bahan dari keanekaragaman hayati lokal. Menurut dia, ketika dihubungi awal pekan ini, hasil risetnya itu berpeluang untuk dijadikan vaksin sintetis flu burung (H5N1).

”Tetapi, penelitian sampai ke pembuatan vaksin tidak bisa berlanjut di LIPI karena keterbatasan sarana dan prasarananya,” ujarnya.

Inez Slamet-Loedin, periset bidang unggulan di bidang tanaman pangan padi dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, juga pindah ke Filipina dan bekerja pada International Rice Research Institute (IRRI) sejak 1 Agustus 2008. Inez sebelumnya mengembangkan riset unggulan LIPI berupa rekayasa genetika tanaman pangan padi untuk menghasilkan varietas tahan kekeringan dan banjir.

Kedua periset itu mengungkapkan, hambatan riset dialami di Indonesia juga karena periset lebih disibukkan pada urusan administratif. ”Urusan administratif membuat riset di Indonesia lebih lama. Misalnya, untuk riset pembuatan vaksin di Australia memakan waktu 10 tahun, kalau di Indonesia bisa tiga kali lipatnya,” ujar Ines Irene Atmosukarto.

Kepala LIPI Umar Anggara Jenie menanggapi, pindahnya para periset LIPI itu memang disebabkan sarana dan prasarana penelitian yang dimiliki pemerintah kurang memadai. Namun, ke depan, diharapkan ada perbaikan.

”Pada waktunya diharapkan mereka kembali ke LIPI dan mengembangkan riset di Tanah Air,” kata Umar.

622 satker riset

Sekretaris Dewan Riset Nasional Tusy A Adibroto mengatakan, selama ini memang tidak terjalin kerja sama yang baik. ”Saat ini terdapat 622 satuan kerja atau satker riset,” kata Tusy.

Satker riset sebanyak itu terdapat pada 114 perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 91 lembaga penelitian nondepartemen, 76 lembaga penelitian departemen, 24 lembaga penelitian daerah, 8 lembaga penelitian badan usaha milik negara, dan 8 lembaga penelitian milik swasta.

”Dari pemetaan riset pada 2006-2007 diketahui terjadi duplikasi riset. Misalnya, ada 11 lembaga riset yang meneliti masalah biofuel dari minyak sawit dengan anggaran dari pemerintah Rp 10 miliar. Ini contoh pemborosan anggaran riset akibat duplikasi,” kata Tusy.

Deputi Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Program Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Teguh Rahardjo mengatakan, selama ini tidak ada instrumen untuk memantau jenis riset yang dikembangkan setiap lembaga riset. Begitu pula mekanisme koordinasi dan komunikasi di antara lembaga riset yang tersebar di Indonesia belum tercipta

Mari Mengelola Anak Cerdas Indonesia Dengan Benar

Khusus untuk anak-anak kita yang berprestasi cemerlang, yang telah mengharumkan nama bangsa dan negara dengan meraih medali emas dalam olimpiade berbagai cabang ilmu pengetahuan tingkat internasional, pemerintah akan memberikan beasiswa.

Beasiswa itu dimaksudkan menuntut ilmu di universitas mana pun di seluruh dunia sampai mencapai gelar doktor.

Kita patut bersyukur, pada tahun 2007 kontingen Indonesia berhasil memperoleh 51 medali emas dari berbagai olimpiade sains internasional. Suatu prestasi yang cemerlang dan membanggakan.

Kalimat itu secara eksplisit dinyatakan Presiden Yudhoyono saat menyampaikan pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas rancangan undang- undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2009 beserta nota keuangan pada 15 Agustus 2008.

Apabila dicermati secara teliti dalam sejarah pidato kenegaraan presiden RI, pengakuan terhadap prestasi internasional anak cerdas Indonesia baru pertama kali terjadi. Apalagi menghadirkan anak-anak cerdas pada acara resmi pidato kenegaraan juga belum pernah dilakukan selama ini; terkecuali pada momentum 15 Agustus 2008.

Kaya anak cerdas

Jika diukur dengan pencapaian medali dalam momentum olimpiade internasional, sebenarnya kita memiliki banyak anak cerdas. Kita selalu mampu meraih medali emas, perak, atau perunggu dalam setiap momentum, seperti International Mathematical Olympiad (IMO), International Physics Olympiad (IPhO), International Biology Olympiad (IBO), International Chemistry Olympiad (IChO), dan International Astronomy Olympiad (IAO).

Peraihan medali oleh anak Indonesia ternyata cukup merata; dari SD, SMP, hingga SMA.

Di satuan SD, anak kita berhasil mengharumkan nama bangsa dalam forum Primary Mathematics World Contest (PMWC) 2006 di Hongkong. Dalam forum ini anak Indonesia, Jennifer Santosa, meraih medali emas selain mendapat predikat Honour for Individual Performance. Anak Indonesia lainnya, Ivan Wangsa, meraih medali perunggu dan predikat Third Class Honour for Individual Performance.

Pada satuan SMP anak-anak berjaya dalam forum The 2nd International Junior Science Olympiad (IJSO) yang diselenggarakan di Yogyakarta-Indonesia pada 5-13 Desember 2005. Di dalam forum ini anak-anak berhasil meraih enam medali emas, empat medali perak, dan dua medali perunggu. Momentum yang diikuti ratusan siswa dari 34 negara itu salah satu anggota delegasi Indonesia, Yoshua Michael Maranatha, berhasil meraih trofi Absolute Winner (pemenang sejati) setelah mendapat nilai tertinggi dan keluar sebagai The Best Theory.

Apakah prestasi itu diraih karena penyelenggaraannya di ”kampung” sendiri? Tidak! Ketika IJSO ke-3 diselenggarakan pada 3-12 Desember 2006 di Sao Paulo, Brasilia, pun, anak Indonesia kembali berjaya. Kita berhasil menyabet dua medali emas atas nama Kevin Nangoi dan Fernaldo Richtiar Winnerdy; tiga medali perak atas nama Aga Krisnandha, Kevin Soejatmiko, dan Ivana Polim; serta satu medali perunggu atas nama Rais Bachtiar.

Bagaimana dengan satuan SMA? Pada satuan ini pun, banyak siswa Indonesia berjaya. Ketika diselenggarakan International Physics Olympiad (IPhO) pada 8-17 Juli 2006 di Singapura, para siswa berhasil mengumpulkan empat emas atas nama Jonathan Pradana Mailoa, Pangus Ho, Irwan Ade Putra, dan Andy Octavian Latief; serta satu medali perak atas nama Firman-syah Kasim. Pada forum yang diikuti 386 peserta dari 84 negara ini delegasi Indonesia berhasil menjadi juara umum. Wajar jika anak- anak pengharum nama bangsa ini begitu tiba di Tanah Air langsung diterima Presiden Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan beberapa menteri.

Prestasi bagus itu juga terjadi di forum olimpiade lain, misalnya dalam International Astronomy Olympiad (IAO), 29 September-7 Oktober 2007 di Simeiz, Ukraina. Pada acara itu, anak Indonesia berjaya atas nama Zefrizal Nanda Mardani (emas), Veena Salim (perunggu), dan Anas Maulidi Utama (perunggu).

Dalam International Mathematical Olympiad (IMO), 10-22 Juli 2008 di Madrid, Spanyol, anak Indonesia berjaya atas nama Andreas Dwi Maryanto Gunawan (perak), Aldrian Obaja Muis (perunggu), dan Fahmi Fuady (perunggu).

”Reward” yang tepat

Terlepas dari sejauh mana representativitasnya terhadap anak Indonesia umumnya, yang jelas kita memiliki anak-anak cerdas yang terbukti berhasil mengharumkan bangsa Indonesia. Janji Presiden Yudhoyono untuk memberikan beasiswa kepada mereka guna menuntut ilmu di universitas mana pun di seluruh dunia sampai mencapai gelar doktor merupakan reward yang tepat.

Kita harus jujur, hingga kini pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang ”mahal” bagi kebanyakan rakyat Indonesia, apalagi sampai strata S-3 alias doktor. Mengambil program doktor di luar negeri, apalagi di perguruan tinggi berkelas internasional (world class university), merupakan impian yang hampir tidak mungkin diwujudkan.

Meski pemberian beasiswa kepada anak-anak cerdas itu amat tepat, tetapi harus disertai ikatan, berupa kesanggupan untuk mengamalkan ilmu yang diperolehnya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Hal ini untuk mengantisipasi jangan sampai setelah selesai pendidikan doktor kelak, anak-anak itu ”melarikan” diri, menjual kecerdasan dan ilmu yang diperolehnya bagi kepentingan bangsa lain.

Kita bangga memiliki anak- anak cerdas Indonesia. Namun, kebanggaan ini perlu didukung sistem pengelolaan yang profesional, baik untuk kepentingan anak-anak cerdas itu sendiri maupun bangsa.
Ki Supriyoko Sekretaris Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Indonesia

Cerpen- Cerita Pendek Sang Mertua

Baru satu hari tiba di Yogya dan bermalam di hotel, kepalaku terasa pusing. Rombongan pertemuan wanita baru saja pergi dan aku tinggal sendiri karena kurasa wajahku sebelah terasa nyeri dibarengi kepala yang berat. Kucoba merendam diri di kamar mandi, tetapi rasa nyeri itu tidak hilang juga. Kukira karena perjalanan jauh naik kereta api dari Jakarta-Yogya. Sebelum malam jauh, aku membeli obat sakit kepala, namun sepanjang malam keadaan tidak bertambah baik. Keesokan harinya kukatakan kepada rombonganku bahwa aku tidak dapat mengikuti pertemuan wanita dan pamit pulang ke Jakarta. Rasa pening kepala makin menjadi-jadi, dan sebagian wajahku, pipi sebelah kanan rasanya seperti kaku, demikian Marice menuturkan awal penderitaannya.

Suamiku terkejut melihat aku sudah kembali begitu cepat. Kuceritakan bahwa aku merasa tidak enak badan. Sepanjang dua hari kepalaku nyut-nyutan dan mata sebelah seperti tidak sinkron dengan yang sebelah lagi. Suamiku tampak cemas dan mengajakku pergi ke dokter. Digandengnya aku ke dalam mobil dan sore itu dokter memeriksa wajahku sebelah kanan. Dengan jarinya ia menekan pipiku dan mengatakan adanya pembengkakan. Ia memintaku untuk menceritakan awal mula rasa sakitku. Kututurkan semua gejala yang kurasakan dan kemudian dokter merujuk aku ke rumah sakit.

Pelbagai macam obat kutelan yang membuat rasa nyeri menjadi hilang, tetapi suamiku mengatakan bahwa pipi kananku agak membengkak. Secara patologis aku merasa sakit dan dinyatakan oleh dokter memang sakit, namun apa penyakitku belum diketahui dengan jelas. Berbulan-bulan aku menjadi pasien beberapa rumah sakit dan gonta-ganti dokter, namun keadaanku belumlah membaik. Suatu saat, ketika aku merasa agak baikan, aku minta pulang ke rumah.

Aku cemas jika suamiku menghiburku, jangan-jangan ia tertarik kepada wanita lain mengingat wajahku yang semakin tidak berbentuk. Kuingat masa pacaran dahulu, ketika aku memutuskan hubungan dengannya sekadar untuk menguji sejauh mana cintanya, membuatnya menderita demam. Mengapa aku ”memutuskan” tali cinta sebagai uji coba, karena kudengar darinya bahwa saudara-saudaranya dan orangtuanya tidak setuju mendengar kami menjalin cinta kasih, karena berbeda suku. Konon, ibunya mengatakan bahwa seorang gadis sedang menunggunya di kampung halaman dan menyuruhnya segera kembali. Nyatanya, ia mencintaiku dan kami menikah. Pesan ibuku kepadaku, juga sebagai nasihat yang kupegang teguh, ialah:

Nak, kalau nanti menikah, perlakukan suamimu seperti tuanmu, apa pun pangkat dan jabatanmu. Layani ia di meja makan kalaupun terlambat pulang ke rumah, sediakan makanan untuknya dan duduk di dekatnya. Tunggu ia sampai selesai makan. Perhatikan, jika makan, jangan berikan sisa makanan untuknya. Bila ia belum kembali dan terpaksa kau lebih dahulu makan, atau entah dengan siapa di rumahmu, selalulah pisahkan untuknya. Bila kau bangun tidur, bereskan tempat tidurmu. Jangan sekali-kali biarkan pembantu rumah tangga membenahi tempat tidurmu. Dan itu semua kulakukan dengan penuh perhatian sehingga suamiku merasa selalu diperhatikan. Akankah cintanya akan berkurang karena kini melihat wajahku sangat berbeda? Bengkak sebelah karena daging tumbuh yang nyaris menutupi seluruh kupingku sebelah kanan?

Dari hari ke hari suamiku selalu pulang ke rumah tepat waktunya dan selalu duduk di dekatku sambil membelai punggungku. Kuingat, pernah sekali kami berjalan mendaki bukit bersama rombongan. Entah karena licin, aku tergelincir dan segera ditangkap suamiku yang berjalan di belakang dan kemudian membopongku sampai ke atas. Kawan-kawan yang lain yang sesuku dengan suamiku tersenyum-senyum. Kutanyakan kepada suamiku mengapa mereka tersenyum-senyum, seolah-olah ada sesuatu yang menggelikan? Suamiku menjawab bahwa di tengah-tengah suku mereka tidak lazim suami memangku istri di tengah-tengah orang lain. Oh, kalau di tempat sunyi, boleh? jawabku. Untuk menjawab aku, suamiku tidak langsung berkata kepadaku, melainkan kepada kawan serombongan, mengatakan bahwa lebih baik aku menyelamatkan istriku dengan menggendongnya daripada ia cedera dan masuk rumah sakit. Toh saya juga yang rugi, bukan? katanya. Kawan-kawan serombongan tetap saja tersenyum-senyum, sambil mengangguk-angguk.

Setahun kemudian aku memeriksakan diri ke rumah sakit khusus kanker dan hasilnya mencengangkan. Menurut pemeriksaan laboratorium, aku divonis stadium tiga. Dokter berulang-ulang memerhatikan gambar hasil potret daging tumbuh di pipiku, hasilnya selalu dinyatakan dengan geleng-geleng kepala. Kami tidak sanggup, katanya. Akarnya telah merambat ke mana-mana. Mereka angkat tangan, padahal dokternya sudah profesor yang terkenal ke mana-mana di bidangnya.

Aku bertekad dalam hati, tidak mau mati. Anak-anakku dan suamiku sangat memerlukan kasih sayangku. Aku berdoa dan berdoa kepada Tuhan agar mukjizat diturunkan kepadaku. Dalam keadaan sulit seperti ini, datang surat dari kampung halaman suamiku. Dalam suratnya yang panjang lebar itu, ada sebuah kalimat yang menyentuh hatiku: Barangkali istrimu ada kesalahan kepada Ibunda yang jarang dijenguknya…. Ya, Tuhan! kucoba kutelusuri lubuk hatiku, mungkin ada kesalahan kata, maklum mulutku rica-rica (mengucapkan kata yang pedas), atau kesalahanku kepada saudara-saudara pria dan wanita dari kerabat suamiku. Kurasa tidak ada. Tetapi, apa salahnya kalau aku datang menemui mertua perempuan yang tinggal sendiri dan meminta ampun kepadanya karena jarang kujenguk dan suami selalu terlalu sibuk. Katanya, perilaku demikian juga adalah wujud dari rasa tidak sopan dan tidak tahu ”adat”. Suku suamiku memang keras dengan adatnya.

Walaupun dalam keadaan sakit kukatakan kepada suamiku supaya pulang kampung. Ibu mertuaku pun sedang sakit dan pernah kukirim sesuatu kepadanya. Suamiku terharu dan merangkulku sambil bertanya, ”Kau bisa berjalan ke sana?” Kujawab, ya. Apa pun akan kulakukan dengan kesehatan mertua dan kesehatan jiwaku juga. Bahkan, kalau diminta untuk mencium kakinya, aku mau.

Sebuah kerinduan yang timbul dalam diriku, kalau aku minta ampun kepada ibu mertua, penyakitnya mungkin akan sembuh dan barangkali Tuhan juga akan mengampuniku dan memberi kesembuhan kepadaku. Dalam keyakinanku, tidak ada yang mustahil bagi-Nya.

Dan perjalanan pulang kampung halaman pun dimulai. Di Medan aku terpaksa masuk rumah sakit beberapa hari. Dokter memberikan obat untuk menahan rasa nyeri. Perjalanan pulang ke kampung, seperti kata suamiku, adalah perjalanan sulit yang pertama kali kulakukan. Di kampungku sendiri tidak ada perjalanan sesulit ini. Delapan jam perjalanan! Jalan yang berliku-liku dan menikung, antara gunung dengan lembah, dan jurang yang dalam. Suamiku memelukku sepanjang jalan yang membuat penumpang lain tersipu-sipu, mungkin mereka menganggapku perempuan yang manja. Entahlah. Perjalanan ini benar-benar melelahkan bagiku.

Menjelang senja kami tiba. Rumah mertuaku yang cukup besar membuat hatiku lega. Tapi, jangan tanyakan soal kenyamanan untuk mandi dan membuang hajat. Itu di luar pemikiran orang kota. Tetapi, tidak apalah. Aku harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi.

Ibu mertuaku tersenyum menyambut kedatanganku. Ia tidak bisa berdiri. Duduk pun susah. Segera aku bersimpuh di dekat tempat tidurnya yang beralasan tikar. Kupegang tangannya dan kusapa ia dengan bahasanya (yang kupelajari dari suamiku sebelumnya), yang membuatnya agak kaget. Ia meraba wajahku sambil mengangguk-angguk. Aku memohon maaf kepadanya karena lama tidak pernah menjenguknya. Rupanya, keadaan ibu sudah cukup parah sehingga ia sulit bangun dari tempat tidur.

Paginya, aku memasak air panas dan memandikan ibu. Kusuapi ia dengan makanan pagi. Ia mengunyahnya. Wajahnya berseri-seri. Kutanyakan kepada saudara perempuan suamiku apakah selama ini Ibunda mau makan, mereka menjawab, tidak. Rupanya, setiap kali diberi makan, mereka hanya menaruh makanan di dekat ibu dan membiarkannya makan sendiri. Mula-mula ia dapat makan sendiri, tetapi lama-kelamaan ia tidak mampu bangun, dan membiarkan makanan dingin di sampingnya. Kutanyakan mengapa tidak dialas dengan kasur, mereka menjawab bahwa kasurnya sering basah dan akhirnya rusak. Kubeli kasur baru untuknya, dan setiap hari kuberi makan dan kuganti pakaiannya.

Seminggu kemudian Ibunda sudah dapat duduk dan nafsu makannya pulih kembali.

Pada suatu hari ibu mertuaku mengatakan bahwa ia ingin makan kue dan aku membawakan kue untuknya. Saudara-saudara perempuan suamiku menjadi amat ramah kepadaku, tetapi mereka sering tertawa cekikikan kalau suamiku duduk di sampingku sambil memberi makan ibu. Apalagi kalau suamiku menggandengku di dekat ibu, mereka tertawa tersipu-sipu. Melihat itu, ibuku tidak berkata apa-apa. Kesehatan ibu mertuaku semakin membaik. Sekalipun sibuk, aku dapat tidur dengan nyenyak. Kalau hendak makan, suamiku selalu menungguku, sampai selesai mengurus ibu.

Senyum saudara-saudara suamiku, yang lelaki dan perempuan, selalu mengembang setiap kali suamiku duduk di sampingku, atau duduk di tangan kursi yang kududuki. Akhirnya aku memberanikan diri dan bertanya kepada mereka, ”Apa ada yang keliru dengan kami berdua?” Mereka akhirnya menjawab dengan senyum dikulum, ”Kalian suami-istri yang mesra….”

Oh, tanpa kami sadari lingkungan kami, kami bersikap seperti di rumah sendiri. Dan itu menggelikan bagi mereka. Tetapi, salah seorang dari saudara perempuan suamiku bercerita di beranda, ketika ibu mertuaku sudah lelah di kamar, katanya:

Menurut ayah kita, almarhum, ibu adalah seorang yang keras. Kerasnya bagaikan batu cadas, kata ayah. Kalau ibu mengatakan tidak, ya tidak. Sekalipun gempa bergoyang-goyang, dia tidak akan goyah….

Maksudnya? tanyaku tidak sabaran.

Ayah menikah dengan ibu karena dijodohkan orangtua masing-masing. Ibu sendiri tidak menolak pernikahan itu. Pesta meriah diadakan. Semua gembira dan senang. Setelah pernikahan itu, ayahlah yang menjadi tidak senang. Ibu selalu menghindar dari ayah. Bukan satu minggu, dua minggu, bahkan berbulan-bulan. Untung ayah seorang pemuda yang sabar dan penuh dengan pertimbangan. Enam bulan berlalu, ibu selalu menghindari ayah.

Lepas bulan keenam, ayah mengajak ibu ke kebun untuk menggarap kebun. Rupanya, di kebun itulah ibu mengenal ayah sebagai suami, dan sejak itu keduanya tidak dapat dipisahkan, siang malam.

Dan setiap tahun, anaknya lahir….

Ketika ayah meninggal dunia, bertahun-tahun ibu merasa kehilangan yang amat sangat, yang membuat kesehatannya semakin merosot. Dan, kehadiran kalian berdua membuat semangatnya hidup kembali, kemesraan kalian itulah!

Aku menatap suamiku, dan suamiku mengeratkan tangan kirinya di pinggangku, sementara saudara-saudaranya menatap lurus ke depan, entah memandang siapa.

Setahun kemudian kuperiksakan penyakitku ke dokter lain di kota lain, sang dokter membaca hasil rontgen, lalu berkata, ”Kita akan operasi,” Dan ternyata, gumpalan daging dan akar-akarnya semua dicabut. Dokter mengatakan semuanya bersih!

Wajahku dijahit kembali dengan lapisan dari kulit perutku. Beberapa minggu kemudian suamiku datang dan memelukku. Kutanyakan, ”Apakah kau tetap mencintaiku?” Jawabnya, Tetap!

Pelukannya mengingatkan aku kepada Sang Mertua.

Bandung, 11 Juni 2008