Monthly Archives: January 2022

Nama Nusantara Ternyata Dicontek Dari Kalimantan Oleh Kerajaan Majapahit

Pilihan kata ‘nusantara’ sebagai nama ibu kota negara di Kalimantan Timur (Kaltim) sempat dinilai Jawa-sentris. Belakangan, ahli sejarah menjelaskan ‘nusantara’ justru merupakan istilah asli Kutai di Kaltim. Jadi istilah ‘nusantara’ itu berasal dari Jawa atau dari Kutai? Dari Majapahit (Jawa)

Selama ini jamak dipahami, nama ‘Nusantara’ berasal dari era Majapahit. Nusantara termaktub dalam catatan ini:

  1. Kakawin Nagarakertagama karya Mpu Prapanca
    Tahun: 1365 Masehi, zaman Majapahit.
    Ditemukan: 1894 Masehi di Lombok, zaman Hindia-Belanda
  2. Kitab Pararaton
    Tahun: 1481 (naskah Pararaton paling tua)
    Dalam kitab itu pula, termaktub Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada yang bertekad mengalahkan Nusantara.

Secara umum, Majapahit memang punya pusat pemerintahan di Pulau Jawa bagian timur (tentu saja saat itu belum ada Provinsi Jawa Timur). Saat itu, Nusantara dipahami sebagai daerah di luar pengaruh budaya Majapahit (Jawa). Daerah Nusantara berada lebih luar dari Nagargung (pusat pemerintahan) dan mancanegara (luar pusat pemerintahan namun masih terpengaruh budaya Majapahit). Karena Nusantara dipahami sebagai nama dari perspektif Jawa, maka nama Nusantara sebagai ibu kota negara di Kaltim dinilai sebagai Jawa-sentris oleh sejarawan JJ Rizal. “Sebab itu sejak zaman pergerakan, istilah Nusantara tersingkir karena dianggap Jawa-sentris,” kata Rizal kepada Perspektif.

Namun pandangan alternatif mendapat sorotan publik sejurus kemudian. Nama ‘Nusantara’ bukan berasal dari Jawa, melainkan justru berasal dari Kaltim sendiri. Nusantara adalah nama asli dari Kutai sebelum daerah itu bernama Kutai, yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara, berdiri pada abad 14. Pandangan ini dikemukakan oleh sejarawan Samarinda, Muhammad Sarip.

Muhammad Sarip menjelaskan, nama ‘Nusantara’ sendiri secara kata memang terpengaruh dari bahasa Sanskerta (bahasa dari India). Namun kata ‘nusantara’ sudah menjadi nama tempat (toponimi) untuk daerah di timur Kalimantan yang di kemudian hari bernama Kutai, yakni sebelum Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada 1300-1325 Masehi dan berlangsung sampai berabad-abad setelahnya (bandingkan dengan masa eksistensi Majapahit 1293-1527 Masehi).

Setelah itu, barulah nama Nusantara menjadi populer di luar Pulau Kalimantan dan sampai ke telinga Jawa, sampai ke telinga Kerajaan Majapahit. “Interaksi lintas pulau tentu saja bisa mempopulerkan sebutan Nusantara. Istilah Nusantara berkembang menjadi sebutan lampau dari pulau luas Kalimantan,” kata Sarip kepada Perspektif detikcom, Rabu (19/1/2022).

Orang Majapahit kemudian menyebut Nusantara tidak cuma sebatas daerah bagian timur Kalimantan, namun diperluas menjadi Pulau Kalimantan secara keseluruhan, dan ‘pulau-pulau di luar Majapahit’. “Lantas, terjadi dinamika lagi pada era jaya Majapahit sehingga Gajah Mada perlu mengidentifikasi wilayah vasalnya dari gugusan pulau di barat sampai timur dengan istilah ringkas ‘Nusantara’,” kata Sarip.

“Hipotesisnya, Nusantara berawal dari timur Kalimantan,” tandasnya. Muhammad Sarip adalah sejarawan yang diakui kompetensinya oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dia mendasarkan pendapatnya pada dua catatan berikut.

Dua catatan bukti ‘Nusantara nama asli Kutai’:

  1. Penulis: S.W. Tromp (Solco Walle Tromp)
    Judul: Uit de Salasila van Koetei (Salasila Kutai)
    Jurnal: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Volume 37: Issue 1
    Penerbit: Brill
    Tahun: 1 Januari 1888
  2. Penulis: S.C. Knappert
    Judul: Beschrijving van De Onderafdeeling Koetei (Deskripsi Onderafdeeling/Subdivisi Kutai)
    Jurnal: ijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Volume 58: Issue 1
    Penerbit: Brill
    Tahun: 1 Januari 1905

Bila dibandingkan angka tahunnya, tentu Nagarakertagama dan Pararaton lebih tua ketimbang referensi Sarip di atas. Namun menurut Sarip, Kitab Nagarakertagama baru ditemukan oleh Belanda pada enam tahun setelah penelitian SW Tromp terbit di Jurnal tahun 1888. “Kitab Nagarakertagama saja baru ditemukan KNIL (tentara kerajaan Belanda) tahun 1894 di Lombok. Itu juga nggak langsung diteliti,” kata Sarip.

Dia sendiri bersikap skeptis terhadap Kitab Pararaton yang bagian tertuanya ditulis dua abad setelah Nagarakertagama. “Secara umum, Pararaton nggak terlalu kuat buat dijadikan referensi sejarah,” ujarnya.

Kartel Gelar Profesor Di Indonesia

Sidang judicial review UU Guru dan Dosen yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) membuka kotak pandora Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Ristek Dikti). Pemohon yang juga dosen senior UI, Dr Sri Mardiyati menduga ada ‘kartel’ profesor di Dikti.
Sidang judicial review masih berlangsung di MK. Berikut ringkasan judicial review tersebut yang dirangkum:

Siapakah Pemohon Judicial Review?
Sri Mardiyati adalah dosen tetap Fakultas MIPA UI dan mengajar sejak 1991. Beberapa tulisannya yang dimuat di jurnal internasional. Di antaranya Numerical Analysis of the Electrical Potential Calculation in a Transversely Isotropic Media, Polinomial Permutasi di Gelanggang Zn, Relasi antara perbedaan potensial pada permukaan media dan perbedaan konduktiviti di media, Transversely Isotropic Media with Layers Having Exponentially Varying Conductivity, hingga Prediksi Resiko Morbiditas Pasca Operasi Bedah.

Apa yang Dialami Sri Mardiyati?
Nama Sri sudah diusulkan menjadi profesor oleh Dekan Fakultas MIPA pada 14 Mei 2019. Disusul pengesahan hasil validasi oleh Rektor UI pada Oktober 2019 dan diteruskan ke Kemendikbud. Sri kaget sat mendapat Nota Dinas dari Direktur SDM UI yang menyebutkan berdasarkan hasil keputusan rapat panitia penilai pusat, usulan Sri menjadi Guru Besar belum dapat dipertimbangkan. Salah satu alasannya karena salah satu karya ilmiah Sri tidak memenuhi syarat.

Selidik punya selidik, penentu akhir di Kemendikbud adalah di Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Iptek dan Dikti yang menolak pemberian gelar itu. Karena karya ilmiah Sri di-review oleh profesor yang tidak sesuai rumpun bidangnya. Sebagai karya tulis rumpun matematika, karya tulisnya dinilai oleh guru besar di bidang elektro, guru besar di bidang fisiologi/genetika molekuler tanaman dan guru besar di bidang fisika.

Apa Kerugian Konstitusional Sri?
Sri memberikan kuasa kepada Maqdir Ismail mengajukan judicial review ke MK. Apa yang dialami Sri di atas dinilai akibat Pasal 50 ayat 4 UU Guru dan Dosen yang berbunyi:

Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Menyatakan Pasal 50 ayat 4 UU Guru dan Dosen tidak konstitusional bersyarat secara khusus di Universitas Indonesia sepanjang tidak dimaknai bahwa pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia,” pinta Maqdir mewakili kliennya.

Dugaan ‘Kartel’ Gelar Profesor
Sri lewat Maqdir Ismail menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbudristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan.

“Permohonan ini tidak bertujuan untuk ‘mengutuk’ para profesor ataupun pejabat tinggi Kemendikbud karena mereka telah melakukan ‘censorship’ atau ‘cartel’ dalam memberikan persetujuan atas penilaian angka kredit jabatan fungsional dosen. Tidak juga untuk menghalangi bimbingan yang marak dilakukan oleh pihak-pihak dalam melakukan penulisan karya ilmiah untuk membantu menulis karya ilmiah yang ‘terindeks dalam Scopus dan dipublikasikan jurnal ilmiah internasional bereputasi’,” kata Maqdir.

Sri Diajak Damai Asal Cabut Gugatan
Atas apa yang dialaminya, Sri kemudian menggugat ke PTUN Jakarta. Namun, di tengah proses gugatan itu, ia diajak berdamai. “Pertanyaan saya juga yang ingin saya tanya kepada Pak Sofwan, sebelum perkara ini bergulir ke PTUN, apakah Saudara mendengar ada pembicaraan atau pesan yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian melalui Dekan FMIPA UI agar supaya klien kami ini tidak meneruskan perkara ini ke PTUN, akan tetapi dia akan diberikan gelar melalui NITK (Nomor Induk Tenaga Kependidikan)?” tanya Maqdir.

Atas apa yang dia alami, Sri menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan. “Kemudian, apakah Saudara juga mengetahui bahwa pada tanggal 31 Januari, juga kepada klien kami ini ditawarkan kembali untuk menjadi guru besar, sepanjang tidak mempersoalkan persoalan ini melalui proses hukum dan harus melalui NITK?” tanya Maqdir tegas.

MK Singgung ‘Obral’ Gelar Profesor Kehormatan
Saat sidang, MK menyinggung Kemendikbud mudah memberikan profesor kehormatan.

“Saya kalau pulang ke Padang masih main-main ke kampus, Prof Arief juga begitu. Itu salah satu yang dikeluhkan oleh teman-teman itu, kok kami, kita yang di kampus ini sulit sekali jadi guru besar, ya. Sementara di tempat lain profesor kehormatan, profesor kehormatan itu seperti apa saja, sekilat sekelebat pedang saja begitu, tiba-tiba sudah jadi profesor kehormatan,” ujar hakim MK Saldi Isra. Oleh sebab itu, Saldi meminta Kemendikbud lebih serius dalam mengkaji masalah di atas.

“Nah, tentu ini sesuatu yang harus dipikirkan oleh kementerian dan concern saya sebetulnya apa yang membedakan profesor kehormatan itu dengan profesor biasa? Karena semuanya saya lihat itu memakai gelar profesor, enggak ada bedanya. Prof Arief pakai profesor karena dulu dari dosen. Ada orang yang karena profesor kehormatan, tapi enggak ada bedanya. Kalau doktor kehormatan kan dipakai, doktor hon begitu. Ini perlu enggak? Ada penambahan profesor hon juga begitu? Profesor honoris atau kehormatan begitu? Nah itu, supaya ada sesuatu yang membedakan orang yang memang berjuang dari awal untuk sampai karena itu dianggap sebagai prestasi akademik paling tinggi. Ini tolong bisa jadi perhatian di Kementerian,” kata Saldi menegaskan.

MK Pertanyakan Dikti Gagalkan Calon Profesor yang Sudah Lulus di Kampus
Hakim MK menanyakan soal standar penilaian kelayakan menjadi profesor. Sebab, ada kandidat yang lolos di tingkat universitas, tapi dimentahkan oleh Dikti dengan penilaian sebaliknya. Kemendikbud diminta membuat sistem yang tidak mempersulit kandidat profesor karier.

“Jadi, dia naik ke Jakarta itu, itu hanya formalitas untuk kemudian diterbitkan ketetapan begitu, keputusan untuk yang bersangkutan bisa diangkat sebagai guru besar. Jadi, agar apa? Agar setiap level itu tidak melahirkan, maaf, ‘raja-raja kecil’ lagi. Ada punya otoritas bisa menghitam, memutihkan begitu. Nah, kalau di internal perguruan tinggi biarkan sajalah. Mulai dari jurusan sampai ke fakultas sampai ke universitas, tapi begitu seseorang lolos dari fakultas, dia masuk universitas, di situlah masuk diintegrasikan reviewer dari kementerian itu. Jadi, kalau ini misalnya sudah menyatakan oke, maka dia dikirim ke Jakarta itu minta tanda tangannya Pak Menteri saja atau Bu Menteri nanti kalau Menteri Pendidikannya ibu-ibu. Bisa enggak, seperti itu Bu Chatarina? Yang bisa dipikirkan?” kata Saldi di sidang.

Jurnal Internasional Tidak ‘Welcome’ ke Pancasila
Salah satu syarat menjadi profesor adalah pernah menulis di jurnal internasional. Namu hakim konstitusi Arief Hidayat menilai jurnal internasional itu tidak ‘welcome’ terhadap ideologi yang berbeda dengan jurnal itu. Bila jurnal itu di Australia, maka tidak ‘welcome’ dengan Pancasila.

Arief meminta Kemendikbud melobi jurnal internasional untuk lebih terbuka terhadap hukum Indonesia, yaitu hukum Pancasila. Sebab, jurnal internasional cenderung menerbitkan riset hukum yang sesuai ‘selera’ hukum barat, yaitu hukum liberal. Padahal Indonesia memiliki kiblat hukum sendiri, yaitu hukum Pancasila.

“Saya juga merasakan begini, teman-teman di bidang hukum itu kalau menulis ke jurnal internasional itu banyak mentoknya, banyak yang kemudian ditolak. Karena apa? Hukum itu kan harus mengandung atau berisi kosmologi hukum Indonesia. Sehingga tulisan-tulisan doktor, tulisan-tulisan makalah yang akan diekspose ke jurnal internasional itu harus berkosmologi Indonesia, mengembangkan hukum Pancasila. Tapi, dengan mengembangkan hukum Pancasila, jurnal internasional itu enggak mau terima karena dia jurnal dari luar negeri, inginnya sesuai dengan kosmologinya, liberalisme. Itu susah diterima,” kata Arief Hidayat.

Arief mencontohkan peneliti MK lulusan Australia yang mendapatkan doktor Australia. Berkali-kali menulis bidang hukum tentang hukum Pancasila, tapi berkali-kali ditolak dalam jurnal internasional yang terindeks Scopus. Karena jurnal itu yang punya authority untuk menerima atau tidak menerima.

“Nah, tulisannya itu tidak sesuai dengan kosmologi hukum mereka, dia menulis bagaimana Indonesia. Nah, apakah tidak ada pandangan supaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membina jurnal-jurnal Indonesia? Sehingga bermutu yang bisa menjadi media untuk orang Indonesia. Mengembangkan ilmu berdasarkan kosmologi Indonesia,” papar Arief.

Arief juga menyoroti soal syarat menulis di jurnal internasional bagi dosen Indonesia agar bisa naik pangkat atau mendapat gelar profesor. Akhirnya muncul jurnal internasional abal-abal. “Nah, di lapangan karena banyak menjadi pasar jurnal internasional karena semua harus terekspos di jurnal internasional, padahal banyak jurnal-jurnal internasional yang kemudian abal-abal yang masuk di pasar Indonesia. Nah, ini bagaimana pengawasan mengenai jurnal internasional yang dilakukan oleh pihak pendidikan tinggi?” kata Arif menegaskan.

MK Minta Kemendikbud Jangan Ada Dusta
MK meminta Kemendikbud memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya dan jangan ada dusta. Hal itu disampaikan hakim konstitusi Aswanto soal syarat penulisan di jurnal internasional penuh kejanggalan.

“Kita harus ada konsistensi, tidak ada raung yang bisa ditafsirkan macam-macam. Jadi tidak perlu tidak ada diskresi. Mohon maaf saya agak vulgar, soalnya saya juga mengalami. Banyak hal seperti ini saat saya menjadi dekan. Bahkan ada kawan saya, sudah kurang lebih 8 tahun, sampai sekarang tidak pernah keluar,” kata Aswanto yang juga guru besar Universitan Hasanuddin (Unhas) Makassar itu.

Aswanto juga kecewa karena Kemenristek Dikti tidak membawa data berapa jumlah jurnal Indonesia yang masuk indeks internasional. Begitu juga berapa jumlah indeks internasional yang diakui sebagai syarat menjadi profesor. Aswanto juga berharap harusnya di sidang itu Kemendikbud bisa membeberkan negara mana saja yang menggunakan syarat penulisan jurnal internasional untuk menjadi profesor.

“Saya masih ingat, saya mendampingi rektor saya menghadap Pak Dirjen, katanya jurnalnya ada masalah. Padahal jurnal itu banyak yang dipakai dan menjadi guru besar. Hal-hal seperti ini yang bisa menjadikan kecurigaan-kecurigaan, yang kemudian bisa menjadi suudzon atau lain-lain dan kemudian berpengaruh kepada kualitas departemen,” beber Aswanto. Di sisi lain jurnal internasional untuk ilmu non-eksakta sangat sedikit sehingga persaingan sangat ketat. “Jadi ini mohon diclearkan, agar jangan ada dusta di antara kita,” pungkas Aswanto.

UI Minta Kemendikbud Jangan Turut Campur Tentukan Gelar Profesor
Universitas Indonesia (UI) meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) tidak lagi terlibat dalam menentukan gelar profesor. Sebab, UI sudah otonom sesuai PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Hal itu disampaikan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Rektor UI Ari Kuncoro lewat kuasa hukumnya, Ima Mayasari. Dalam sidang itu, UI meminta menjadi pihak terkait atas judicial review yang diajukan oleh dosennya, Sri Mardiyati, yang gagal jadi profesor karena Mendikbud tidak mengeluarkan surat keputusan.

“Menyatakan ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa seleksi, penetapan, dan pengangkatan jenjang jabatan akademik, termasuk guru besar, merupakan kewenangan sepenuhnya dari rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi tanpa ada campur tangan menteri,” demikian bunyi pendapat hukum Ari Kuncoro yang dikutip dari website MK, Kamis (11/11/2021).

Tangkisan Kemendikbud di Sidang
Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Muhammad Sofwan Effendi memberikan tangkisan sebagai berikut:

Kami punya norma layanan SLA (Service Level Agreement) di dalam SOP kami untuk penilaian lektor kepala itu maksimal 45 hari, hari kerja untuk di Dikti. Sedangkan untuk layanan penilaian profesor selama 55 hari kerja sampai sejak usulan kami terima, sampai ditetapkan angka kreditnya.

Kami merujuk pada Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Nomor 1142 Tahun 2016, tanggal 9 Mei 2016. Bahwa menyampaikan imbauan agar pengusulan kenaikan jabatan akademik minimal 2 tahun sebelum batas usia pensiun. Sedangkan edaran yang terbaru dari Dirjen Dikti Nomor 166 Tahun 2020 bahwa usulan kenaikan jabatan akademik ke lektor kepala dan profesor maksimal 1 tahun sebelum batas usia pensiun dan itu berlaku sejak Januari 2021.

Pengajuan usulan kenaikan jabatan akademik atas nama Pemohon diusulkan oleh Universitas Indonesia melalui laman pak.ristekdikti.go.id dengan Surat Rektor Universitas Indonesia Nomor S817/UN2.R/SDM.00.02/2019, tanggal 4 Oktober 2019 dengan melampirkan Berita Acara Surat Dewan Guru Besar dan Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen atas nama Pemohon.

Yang kedua, usulan kenaikan pangkat menjadi profesor yang bersangkutan diterima melalui laman PAK Kemdikbud, tanggal 4 Oktober 2019. Sedangkan beliau lahir tanggal 25 Oktober tahun 1954, sehingga akan masuk di batas usia pensiun pada tanggal 25 Oktober 2019.

Artinya, usulan masuk hanya 21 hari sebelum yang bersangkutan memasuki batas usia pensiun, yaitu pada tanggal 1 November 2019. Kalau kita merujuk pada Surat Edaran Dirjen SDID yang pertama yang berlaku di sejak 2016, maka ini tidak memenuhi imbauan Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti yang disarankan atau diimbau agar pengajuan guru besar maksimal 2 tahun sebelum batas usia pensiun karena adanya proses review dan seterusnya.

Namun demikian, kami tetap melakukan penilaian usulan atas nama Pemohon pada periode penilaian yaitu pada tanggal 22 Oktober, pada tanggal 25 Februari 2020, dan pada tanggal 26 sampai 27 Februari 2020. Dan ketiga‐tiganya tadi sudah dijelaskan, menyatakan belum menerima atau belum merekomendasikan usulan atas nama Pemohon selaku diajukan sebagai profesor.