Lili Chadijah Wahid menarik perhatian publik bersamaan dengan kasus dugaan korupsi Bank Century. Dialah anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR yang berdiri sendirian, berbeda pendapat dari semua anggota fraksinya dalam rapat paripurna pengambilan keputusan DPR atas kasus Bank Century, Maret lalu.
”Ini adalah suara hati nurani dan saya meyakini sebagai kebenaran,” tegas Lili.
Ketegasannya bersikap tampak dari tidak goyahnya pendirian dia. Lobi internal partai maupun luar partai tak mampu mengubah sikapnya itu. Dia bahkan menyatakan tidak takut berseberangan sikap dengan fraksinya untuk menegakkan kebenaran dan berpihak kepada rakyat.
”Ada kesan kasus Bank Century ini ditutup-tutupi,” katanya.
Beranikah Ibu ”berperan” seperti Pak Susno Duadji membongkar kebusukan di lingkungan Ibu bekerja?
(Agus Supriadi, Bandung)
Kenapa tidak? Itu kewajiban.
Bu Lili, apakah dalam kasus Bank Century, Presiden tersangkut di dalamnya?
(Pri, xxxx@indosat.blackberry.com)
Kita harus memakai asas praduga tak bersalah. Hingga saat ini belum ditemukan bukti keterlibatan Presiden.
Almarhum. Gus Dur adalah sosok kontroversial. Saya juga melihat ada hal yang kontroversial dalam diri Ibu Lili. Saat itu Ibu satu front dengan Muhaimin Iskandar. Saat ini, Ibu juga sering beda pendapat dengan Muhaimin Iskandar, termasuk kasus Bank Century. Apakah hal demikian biasa dalam dunia politik…?
(Berlin Simarmata, Gandul Cinere, Depok)
Pedoman hidup saya adalah menjunjung tinggi kebenaran. Pada saat Gus Dur memecat Muhaimin Iskandar, legalitas hukum ada di tangan Muhaimin. Akan tetapi, karena hari ini Muhaimin tidak menyuarakan kebenaran dan tidak berpihak kepada rakyat, tidak masalah untuk beda pendapat dengan Muhaimin.
Siapa yang memotivasi Ibu sehingga berani berseberangan dengan saudara-saudara Ibu di PKB? Apa Ibu tidak takut tidak kebagian uang penguasa?
(Didi Mursidi Kazub, xxxx@yahoo.co.id)
Prinsip hidup yang diajarkan orangtua saya adalah selalu jujur dan berani menyatakan kebenaran. Tidak ada istilah uang penguasa, yang benar adalah pemasukan uang negara. Salah satu pemasukan ke kas negara berasal dari pajak yang dikumpulkan rakyat. Justru karena dibayar menggunakan uang rakyat, saya harus berpihak dan membela kepentingan rakyat.
Saya yakin betul inilah keberanian yang Gus Dur ajarkan untuk Ibu. Bagaimana Ibu bisa merasa yakin bahwa hati nurani Ibu membawa kepada keberanian yang Ibu tunjukkan dalam rapat paripurna yang lalu?
(Firmanita Damayanti, xxxxi@gmail.com)
Kami enam bersaudara tumbuh menjadi dewasa dididik oleh ibu kami yang single parent. Ibu kami berkarakter: jujur, tegas, egaliter, dan sangat berjiwa sosial. Sebagai kakak tertua, Gus Dur pun berkarakter demikian. Kami pun tidak jauh dari karakter dasar itu. Nurani yang sehat adalah yang bisa merasakan ketidakadilan di masyarakat luas, serta keyakinan bahwa kita harus memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi rakyat.
Bukankah sikap yang Ibu lakukan tersebut bertolak belakang dengan semangat koalisi yang telah dibangun PKB? Apa sanksi yang diberikan partai kepada Ibu selaku ”pembangkang”?
(Hendra Yuliansyah, Yogyakarta)
Secara normatif seharusnya saya mengikuti garis partai sebagai mitra koalisi pemerintah. Akan tetapi, dalam kasus Bank Century, pemerintah menganggap tidak ada masalah dengan bail out bagi Bank Century.
Bagi saya, ini sangat bertentangan dengan nurani dan rasa keadilan. Bagaimana mungkin uang rakyat hilang Rp 6,7 triliun dianggap tidak ada masalah dan tidak ada yang bertanggung jawab. Soal sanksi, sampai hari ini saya belum menerima teguran/sanksi, baik lisan maupun tertulis, dari partai.
Bagaimana sikap Ibu bila menghadapi putra-putri Ibu yang berbeda pendapat dengan Ibu. Mereka bersikukuh pendapat putra-putri Ibu benar?
(Imam Purwa, Depok)
Pak Imam, saya terbiasa bersikap demokratis dalam mendidik anak-anak saya sejak dini. Mereka bebas berbeda pendapat dengan saya sejauh bukan soal syariah dan norma-norma atau nilai-nilai agama.
Di PKB, terutama NU, identik dengan dinasti Wahid dari trah KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, di kalangan masyarakat awam ada akronim ”Partai Keluarga Besar” untuk PKB. Seberapa signifikan peran Bu Lili dalam warna politik di antara bayang-bayang nama besar trah Wahid di PKB?
(Moh Mishbahul Fuad, Sidoarjo, Jawa Timur)
Saya rasa sikap saya dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 4 Maret lalu adalah warna politik saya dalam PKB. Dalam politik, kita harus berani menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Tentu saya bersyukur kepada Allah SWT yang menjadikan saya sebagai bagian dari keluarga besar Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim.
Saya sudah enggak respek dengan PKB. Tetapi saya salut dengan sikap Ibu dan angkat topi. Hebat. Apakah Ibu tidak takut tergusur?
(Haryono, Bekasi Barat)
Pak Haryono, saya ingin Anda memahami bahwa sikap elite PKB hari ini bukanlah cerminan sikap partai dan anggota PKB secara keseluruhan.
Sedikit banyak ada persamaan antara situasi PKB dan keadaan negara kita secara umum. Sikap dan perilaku korup para elite bangsa bukanlah cerminan bahwa bangsa Indonesia seluruhnya adalah insan-insan korup….
Kemungkinan akan digusur tidak pernah jadi pertimbangan dalam menentukan sikap politik saya. Itu adalah risiko atas keputusan yang saya ambil.
Apakah Anda tertarik untuk memperbaiki PKB ke depan, mungkin dengan mendirikan PKB-Perjuangan?
(Rully Johan, xxxx@gmail.com)
Memperbaiki PKB adalah kewajiban, tanpa harus melalui pembentukan partai baru. Ada upaya-upaya konstitusional yang sedang saya jalani untuk perbaikan PKB ke depan.
Cepat atau lambat para elite PKB yang hanya memikirkan diri sendiri akan tersingkir dengan izin dan kehendak Allah. Karena mereka lupa tugas mereka adalah berjuang agar masyarakat adil dan makmur segera tercapai sesuai cita-cita para pendiri negara Republik Indonesia.
Sebagai seorang yang sangat menjunjung hati nurani, apa yang membuat Anda yakin kepada nurani Anda? Padahal, mayoritas teman Anda tidak sependapat dengan Anda.
(Safii Pangeran, xxxx@yahoo.co.id)
Melihat dan merasakan kesulitan hidup rakyat kecil adalah cara kita mengasah nurani kita untuk tetap berpihak kepada mereka yang termarjinalkan.
Bu Lili, pada saat Anda berdiri dalam paripurna DPR untuk angket Bank Century, apakah Anda mencari popularitas atau memang konsisten sesuai hati nurani Anda?
(Setia Alraharjo, xxxx@ymail.com)
Pada waktu saya berdiri sendirian dalam Sidang Paripurna DPR, 4 Maret lalu, saya cuma berpikir saya harus memperjuangkan kebenaran yang sudah gamblang sekali yang betul-betul saya yakini.
Bu Lili, apa dasar Anda yang membuat Anda yakin bahwa pembuat kebijakan untuk Bank Century adalah suatu kesalahan? Apakah Anda hanya mencari sebuah sensasi?
(Ferry NZ, xxxx@yahoo.co.id)
Dari awal, kebijakan Bank Indonesia terhadap merger Bank Century sudah salah, banyak peraturan Bank Indonesia yang dilanggar. Riwayat hidup pemilik banknya juga tidak baik, sering melakukan penipuan. Yang paling parah, sebelum dana talangan dikeluarkan, ada perubahan peraturan BI yang menyangkut rasio permodalan yang seharusnya 8 persen diturunkan sampai hanya rasio positif, dan aset bank tersebut tidak cukup untuk membayar kembali dana talangan Rp 6,7 triliun. Makanya Pak JK mengatakan bank ini merampok uang nasabahnya.
Lalu ditalangi oleh BI Rp 6,7 triliun. Maksudnya untuk membayar kembali uang nasabah yang sudah dipakai bank. Kemudian uang yang Rp 6,7 triliun habis, uang nasabah tidak dibayarkan kembali.
Nah… inilah yang disebut skandal Bank Century. Kalau kejahatan seperti ini tidak disebut kesalahan, apa dong namanya?
Apa pesan Ibu buat generasi muda atau perempuan Indonesia agar berbuat lebih untuk bangsa dan negara dalam rangka Hari Kartini? Terima kasih, Bu Lili, terus berjuang.
(Farid Widodo, Banyumamik-Semarang)
Pesan untuk generasi muda: beranilah karena benar dan berjuanglah untuk kebenaran yang kalian yakini. Inilah pintu masuk untuk perubahan Indonesia yang bersih, sejahtera, adil, dan makmur.