Monthly Archives: April 2010

Menjual Bencana Lewat Jurnalisme

Buku Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, Kesaksian dari Tanah Bencana tulisan Ahmad Arif (33) diawali kisah memilukan Bedu Saini (38), warga Lambaro Skep, Kuta Alam, Banda Aceh, yang kehilangan dua anak dan ibu yang melahirkannya saat bencana tsunami mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004.

Bedu, pewarta foto harian Serambi Indonesia, saat air bah mengganas tengah bersantai di dalam rumah bersama anggota keluarga. Istrinya, Khalidah (35), menggendong si bungsu, bayi laki-laki berusia 4 bulan yang belum diberi nama.

Naluri sebagai pewarta foto ”memaksa” Bedu meninggalkan keluarga, meski ….air di dalam bak kamar mandi tumpah ke lantai serta dinding dan atap rumah berderak seperti hendak roboh. Ini sebuah pertanda telah terjadi sebuah gempa.

”Aku tetap pergi walaupun anak-anak masih ketakutan dan ibuku meminta tetap tinggal,” kata Bedu. Sebuah dorongan yang bertahun-tahun mengalir dalam nadinya mengalahkan semua: dorongan meliput, melihat dari dekat apa yang tengah terjadi, dan mengabadikannya dengan kamera.

Kepergian Bedu ”dibayar mahal”. Ketika ia pulang ke rumah—setelah mengabadikan gambar-gambar kerusakan Kota Banda Aceh lewat kamera Nikon D-100-nya—ibunya serta bayi lelaki yang belum bernama itu dan anak sulungnya tak terlihat lagi. Khalidah kemudian berkisah tentang dua anak mereka dan sang ibu yang hilang terseret air.

Bedu hanya bisa terpaku mendengar kisah istrinya. Secepat datangnya gelombang, secepat itu pula orang-orang terdekat menghilang terbawa pusaran air hitam.

Bahaya akan selalu membayangi kerja wartawan. Namun, seandainya dalam posisi Bedu Saini, sanggupkah kita melakukan hal sama?

Buku ini mencoba menguraikan beragam persoalan dan dilema yang dihadapi wartawan di medan bencana, meliputi: detik-detik pertama wartawan sebagai korban, saksi, sekaligus pelapor bencana. Lebih dari itu, buku yang ditulis oleh satu dari sekian wartawan muda di Kompas ini juga mengkritisi cara kerja wartawan—di daerah bencana—yang kadang menulis berita tanpa keseimbangan dan mengecek ulang adanya sebuah fakta sehingga berita yang disajikan bisa disebut ”kabar bohong”.

”Kabar bohong”, antara lain, tentang ditemukannya 500 mayat akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, akhir Desember 2006. Berita ini dijadikan berita utama sebagian surat kabar. ”Saya bersikukuh kabar itu belum jelas. Akhirnya terbukti, hanya isapan jempol,” tulis Arif dalam buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, ini. Dalam praktik jurnalisme di Indonesia, hiburan, gosip, dan berita kadang bercampur aduk.

Buku Ahmad Arif mencoba melintasi reportase. Ada analisis, komentar, hasil riset sejarah, dan lain-lain. ”Pembaca juga dapat memanfaatkan data selebihnya yang cukup banyak,” tulis Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pertama majalah Tempo, di sampul belakang.

Semua Orang Sama Hak Dimata Hukum Termasuk Fakir Miskin

Setiap orang, lepas dari status sosialnya dalam masyarakat, memiliki peluang untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan hukum. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma (pro deo atau pro bono publico) kepada masyarakat yang lemah dan miskin merupakan bagian dari fungsi dan peranan advokat dalam memperjuangkan hak asasi manusia.

Kedudukan fakir miskin di hadapan hukum, yang seharusnya dilindungi negara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, sejauh ini belum dilaksanakan dengan efektif. Jaminan bahwa hak semua orang, baik dari golongan mampu maupun tidak mampu, untuk diperlakukan sama di hadapan hukum masih jauh dari terpenuhi.

Buku Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum merupakan karya ilmiah Frans Hendra Winarta yang memberikan jawaban atas permasalahan sebagaimana diuraikan di atas. Solusi yang ditawarkan didukung juga oleh pengalamannya sebagai seorang advokat senior dalam pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin.

Penulis mengawali tulisannya dengan menjelaskan landasan-landasan konstitusional yang terdapat dalam Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bagi perlindungan fakir miskin ini secara implisit terkandung dalam landasan filosofis Pancasila yang memuat sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, termasuk kaum fakir miskin. Landasan konstitusional dalam UUD 1945 mengenai jaminan perlindungan fakir miskin tersebut dalam praktik hukum belum sepenuhnya diwujudkan sekalipun landasan konstitusional dimaksudkan untuk mengamanatkan tanggung jawab negara terhadap fakir miskin, termasuk dalam pemberian jasa bantuan hukum.

Dalam buku ini diuraikan sejarah perkembangan bantuan hukum yang dimulai sejak masa kolonial sampai kepada era reformasi. Disebutkan bahwa perkembangan hukum nasional dari masa ke masa, yang tidak terlepas dari pengaruh asing, dalam perjalanannya juga tidak lupa memberikan perhatian terhadap aspek bantuan hukum. Di sini dikemukakan pembahasan mengenai perkembangan bentuk bantuan hukum di Indonesia dan perjuangan advokat dalam memberikan bantuan hukum. Tidak hanya itu, buku ini menjelaskan pula bagaimana bentuk intervensi pemerintah dan lainnya.

Konsep bantuan

Untuk memberikan gambaran nyata perjuangan membela fakir miskin, buku ini menguraikan kasus yang menjadi landmark dalam sejarah bantuan hukum, yaitu Waduk Kedung Ombo. Dalam proyek ini, pemerintah Orde Baru, yang berkolaborasi dengan Bank Dunia, bersengketa dengan warga yang rumahnya akan digusur untuk kepentingan pembangunan waduk. Pada saat itu ditempuh jalan ”praktis” untuk menyelesaikan masalah, seperti intimidasi pembubuhan kode Ex-Tapol (ET)/Organisasi Terlarang (OT) pada KTP warga yang menolak ganti rugi. Bahkan, disertai ancaman bahwa keturunan warga tersebut akan mengalami perlakuan serupa yang dialami oleh orangtua mereka. Kekerasan dalam bentuk penyiksaan fisik dilakukan oleh aparat desa dan juga ABRI kepada warga yang menolak ganti rugi. Sebagian warga memang menyerah dan terpaksa meninggalkan kampung halamannya. Tetapi, sebagian lagi mencoba melawan.

Dalam kasus ini, warga didampingi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka mencari keadilan hingga tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA). Akhirnya, (dalam PK) pihak pemerintah dimenangkan oleh MA walau di tingkat kasasi, warga dimenangkan oleh MA. Pendampingan yang dilakukan oleh YLBHI ini merupakan bentuk perwujudan bantuan hukum sebagai hak konstitusional bagi fakir miskin dalam pembangunan hukum nasional.

Buku ini juga mengetengahkan pendapat penulis yang berbeda dengan konsep bantuan hukum struktural yang selama ini dijadikan rujukan para pejuang hak asasi manusia untuk membela orang yang tidak mampu. Hasil penelitian dan pengalaman penulis dalam bidang bantuan hukum (legal aid) sampai kepada temuan yang signifikan. Penulis mengajukan konsep bantuan hukum responsif yang dilatarbelakangi perubahan perkembangan sistem politik dari rezim otoritarian ke demokratis, terutama setelah mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan RI. Konsep ini mengutamakan kebersamaan antara pemerintah dan elemen masyarakat sipil untuk bahu-membahu memperbaiki hak fakir miskin dalam bantuan hukum.

Prinsip inilah yang menunjukkan perbedaan konsep bantuan hukum struktural yang selalu menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berseberangan dengan perjuangan masyarakat sipil. Sementara bantuan hukum responsif berarti memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma dengan peran serta negara dan masyarakat (hal 169).

Secara singkat, konsep bantuan hukum responsif yang digagas oleh penulis buku ini merupakan jawaban atas tantangan masalah sebagaimana telah diurakan di awal tulisan. Konsep ini dipandang tepat sesuai dengan konteks pembangunan dan penegakan hukum pada era reformasi saat ini dan pada masa mendatang.

Dengan segala kekurangannya sebagai karya ilmiah, selayaknya buku ini dibaca guna memperkaya khazanah dalam bidang hukum, khususnya bantuan hukum.

Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

data buku

• Judul: Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum

• Penulis: Frans Hendra Winarta

• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

• Cetakan: 2009

• Tebal: xvii + 221 halaman

• ISBN: 978-979-22-4565-3

Lili Chadijah Wahid Kita Harus Berjuang Untuk Keadilan

Lili Chadijah Wahid menarik perhatian publik bersamaan dengan kasus dugaan korupsi Bank Century. Dialah anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR yang berdiri sendirian, berbeda pendapat dari semua anggota fraksinya dalam rapat paripurna pengambilan keputusan DPR atas kasus Bank Century, Maret lalu.

”Ini adalah suara hati nurani dan saya meyakini sebagai kebenaran,” tegas Lili.

Ketegasannya bersikap tampak dari tidak goyahnya pendirian dia. Lobi internal partai maupun luar partai tak mampu mengubah sikapnya itu. Dia bahkan menyatakan tidak takut berseberangan sikap dengan fraksinya untuk menegakkan kebenaran dan berpihak kepada rakyat.

”Ada kesan kasus Bank Century ini ditutup-tutupi,” katanya.

Beranikah Ibu ”berperan” seperti Pak Susno Duadji membongkar kebusukan di lingkungan Ibu bekerja?

(Agus Supriadi, Bandung)

Kenapa tidak? Itu kewajiban.

Bu Lili, apakah dalam kasus Bank Century, Presiden tersangkut di dalamnya?

(Pri, xxxx@indosat.blackberry.com)

Kita harus memakai asas praduga tak bersalah. Hingga saat ini belum ditemukan bukti keterlibatan Presiden.

Almarhum. Gus Dur adalah sosok kontroversial. Saya juga melihat ada hal yang kontroversial dalam diri Ibu Lili. Saat itu Ibu satu front dengan Muhaimin Iskandar. Saat ini, Ibu juga sering beda pendapat dengan Muhaimin Iskandar, termasuk kasus Bank Century. Apakah hal demikian biasa dalam dunia politik…?

(Berlin Simarmata, Gandul Cinere, Depok)

Pedoman hidup saya adalah menjunjung tinggi kebenaran. Pada saat Gus Dur memecat Muhaimin Iskandar, legalitas hukum ada di tangan Muhaimin. Akan tetapi, karena hari ini Muhaimin tidak menyuarakan kebenaran dan tidak berpihak kepada rakyat, tidak masalah untuk beda pendapat dengan Muhaimin.

Siapa yang memotivasi Ibu sehingga berani berseberangan dengan saudara-saudara Ibu di PKB? Apa Ibu tidak takut tidak kebagian uang penguasa?

(Didi Mursidi Kazub, xxxx@yahoo.co.id)

Prinsip hidup yang diajarkan orangtua saya adalah selalu jujur dan berani menyatakan kebenaran. Tidak ada istilah uang penguasa, yang benar adalah pemasukan uang negara. Salah satu pemasukan ke kas negara berasal dari pajak yang dikumpulkan rakyat. Justru karena dibayar menggunakan uang rakyat, saya harus berpihak dan membela kepentingan rakyat.

Saya yakin betul inilah keberanian yang Gus Dur ajarkan untuk Ibu. Bagaimana Ibu bisa merasa yakin bahwa hati nurani Ibu membawa kepada keberanian yang Ibu tunjukkan dalam rapat paripurna yang lalu?

(Firmanita Damayanti, xxxxi@gmail.com)

Kami enam bersaudara tumbuh menjadi dewasa dididik oleh ibu kami yang single parent. Ibu kami berkarakter: jujur, tegas, egaliter, dan sangat berjiwa sosial. Sebagai kakak tertua, Gus Dur pun berkarakter demikian. Kami pun tidak jauh dari karakter dasar itu. Nurani yang sehat adalah yang bisa merasakan ketidakadilan di masyarakat luas, serta keyakinan bahwa kita harus memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi rakyat.

Bukankah sikap yang Ibu lakukan tersebut bertolak belakang dengan semangat koalisi yang telah dibangun PKB? Apa sanksi yang diberikan partai kepada Ibu selaku ”pembangkang”?

(Hendra Yuliansyah, Yogyakarta)

Secara normatif seharusnya saya mengikuti garis partai sebagai mitra koalisi pemerintah. Akan tetapi, dalam kasus Bank Century, pemerintah menganggap tidak ada masalah dengan bail out bagi Bank Century.

Bagi saya, ini sangat bertentangan dengan nurani dan rasa keadilan. Bagaimana mungkin uang rakyat hilang Rp 6,7 triliun dianggap tidak ada masalah dan tidak ada yang bertanggung jawab. Soal sanksi, sampai hari ini saya belum menerima teguran/sanksi, baik lisan maupun tertulis, dari partai.

Bagaimana sikap Ibu bila menghadapi putra-putri Ibu yang berbeda pendapat dengan Ibu. Mereka bersikukuh pendapat putra-putri Ibu benar?

(Imam Purwa, Depok)

Pak Imam, saya terbiasa bersikap demokratis dalam mendidik anak-anak saya sejak dini. Mereka bebas berbeda pendapat dengan saya sejauh bukan soal syariah dan norma-norma atau nilai-nilai agama.

Di PKB, terutama NU, identik dengan dinasti Wahid dari trah KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, di kalangan masyarakat awam ada akronim ”Partai Keluarga Besar” untuk PKB. Seberapa signifikan peran Bu Lili dalam warna politik di antara bayang-bayang nama besar trah Wahid di PKB?

(Moh Mishbahul Fuad, Sidoarjo, Jawa Timur)

Saya rasa sikap saya dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 4 Maret lalu adalah warna politik saya dalam PKB. Dalam politik, kita harus berani menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Tentu saya bersyukur kepada Allah SWT yang menjadikan saya sebagai bagian dari keluarga besar Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim.

Saya sudah enggak respek dengan PKB. Tetapi saya salut dengan sikap Ibu dan angkat topi. Hebat. Apakah Ibu tidak takut tergusur?

(Haryono, Bekasi Barat)

Pak Haryono, saya ingin Anda memahami bahwa sikap elite PKB hari ini bukanlah cerminan sikap partai dan anggota PKB secara keseluruhan.

Sedikit banyak ada persamaan antara situasi PKB dan keadaan negara kita secara umum. Sikap dan perilaku korup para elite bangsa bukanlah cerminan bahwa bangsa Indonesia seluruhnya adalah insan-insan korup….

Kemungkinan akan digusur tidak pernah jadi pertimbangan dalam menentukan sikap politik saya. Itu adalah risiko atas keputusan yang saya ambil.

Apakah Anda tertarik untuk memperbaiki PKB ke depan, mungkin dengan mendirikan PKB-Perjuangan?

(Rully Johan, xxxx@gmail.com)

Memperbaiki PKB adalah kewajiban, tanpa harus melalui pembentukan partai baru. Ada upaya-upaya konstitusional yang sedang saya jalani untuk perbaikan PKB ke depan.

Cepat atau lambat para elite PKB yang hanya memikirkan diri sendiri akan tersingkir dengan izin dan kehendak Allah. Karena mereka lupa tugas mereka adalah berjuang agar masyarakat adil dan makmur segera tercapai sesuai cita-cita para pendiri negara Republik Indonesia.

Sebagai seorang yang sangat menjunjung hati nurani, apa yang membuat Anda yakin kepada nurani Anda? Padahal, mayoritas teman Anda tidak sependapat dengan Anda.

(Safii Pangeran, xxxx@yahoo.co.id)

Melihat dan merasakan kesulitan hidup rakyat kecil adalah cara kita mengasah nurani kita untuk tetap berpihak kepada mereka yang termarjinalkan.

Bu Lili, pada saat Anda berdiri dalam paripurna DPR untuk angket Bank Century, apakah Anda mencari popularitas atau memang konsisten sesuai hati nurani Anda?

(Setia Alraharjo, xxxx@ymail.com)

Pada waktu saya berdiri sendirian dalam Sidang Paripurna DPR, 4 Maret lalu, saya cuma berpikir saya harus memperjuangkan kebenaran yang sudah gamblang sekali yang betul-betul saya yakini.

Bu Lili, apa dasar Anda yang membuat Anda yakin bahwa pembuat kebijakan untuk Bank Century adalah suatu kesalahan? Apakah Anda hanya mencari sebuah sensasi?

(Ferry NZ, xxxx@yahoo.co.id)

Dari awal, kebijakan Bank Indonesia terhadap merger Bank Century sudah salah, banyak peraturan Bank Indonesia yang dilanggar. Riwayat hidup pemilik banknya juga tidak baik, sering melakukan penipuan. Yang paling parah, sebelum dana talangan dikeluarkan, ada perubahan peraturan BI yang menyangkut rasio permodalan yang seharusnya 8 persen diturunkan sampai hanya rasio positif, dan aset bank tersebut tidak cukup untuk membayar kembali dana talangan Rp 6,7 triliun. Makanya Pak JK mengatakan bank ini merampok uang nasabahnya.

Lalu ditalangi oleh BI Rp 6,7 triliun. Maksudnya untuk membayar kembali uang nasabah yang sudah dipakai bank. Kemudian uang yang Rp 6,7 triliun habis, uang nasabah tidak dibayarkan kembali.

Nah… inilah yang disebut skandal Bank Century. Kalau kejahatan seperti ini tidak disebut kesalahan, apa dong namanya?

Apa pesan Ibu buat generasi muda atau perempuan Indonesia agar berbuat lebih untuk bangsa dan negara dalam rangka Hari Kartini? Terima kasih, Bu Lili, terus berjuang.

(Farid Widodo, Banyumamik-Semarang)

Pesan untuk generasi muda: beranilah karena benar dan berjuanglah untuk kebenaran yang kalian yakini. Inilah pintu masuk untuk perubahan Indonesia yang bersih, sejahtera, adil, dan makmur.

Bahasa Gaul Ternyata Merusak Remaja dan Menutup Kesempatan Berkarir

Ternyata 75 persen siswa Sekolah Menengak Kejuruan (SMK) gagal dalam memasuki lapangan kerja dunia usaha, karena hasil wawancara yang buruk, demikian hasil penelitian Forum Peduli Pendidikan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia (FP3MKI).

“Saat dirinci lebih jauh, 40 persennya tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa gaul lebih banyak merusak siswa dalam berbahasa Indonesia,” kata Ketua Musyawarah Guru Mata  Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia Jakarta Timur Sudarwati SPd, Kamis.

Berpijak dari itulah, MGMP Bahasa Indonesia tingkat nasional, di antaranya menyelenggarakan Lomba Gelar Prestasi dan Bela Negara. “Kami di tingkat wilayah juga ikut menggelar kegiatan tersebut, khususnya lomba menulis dan bercerita,” ujar Sudarwati.

Lomba yang dibuka Kasi SMK Sudin Pendidikan Menengah (Dikmen) Jakarta Timur, Hadi Waulat, di SMK 10 Jalan Jenderal Sutoyo, Cililitan kemarin diikuti siswa dari 22 SMK.

“Tiap sekolah mengirim dua siswanya. Pemenangan nanti akan mengikuti perlombaan sejenis di tingkat provinsi sampai ke tingkat nasional,” jelas Sudarwati

Jelajah Musi Menjadi Buku Acuan Riset

Buku Jelajah Musi dapat dijadikan acuan pertama untuk penelitian lebih mendalam mengenai Sumatera Selatan. Buku tersebut disusun dengan bahasa yang sederhana dan ringkas sehingga dapat dipahami oleh semua kalangan.

Demikian kesimpulan dalam diskusi peluncuran buku Jelajah Musi di arena pameran Kompas Gramedia Fair di Aryaduta Convention Centre, Palembang, Rabu (28/4).

Diskusi dipandu moderator pakar lingkungan dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Momon Sodik Imanudin, dengan pembicara Gubernur Sumsel Alex Noerdin, pakar ekonomi Unsri Didiek Susetyo, dan pakar lingkungan Unsri Fachrurrozi Syarkowie.

Menurut Didiek, buku Jelajah Musi adalah sebuah inspirasi bagi peminat ilmu antropologi dan sosiologi. Tulisan-tulisan dalam buku itu dapat dijadikan pijakan awal untuk melakukan riset yang mendalam. Buku Jelajah Musi juga merupakan dokumentasi lengkap tentang wilayah Sumsel.

Didiek mengatakan, buku Jelajah Musi mengungkapkan kondisi perekonomian masyarakat Sumsel yang tinggal di sepanjang Sungai Musi. Ternyata kondisi perekonomian masyarakat di sepanjang Sungai Musi yang bermata pencarian petani belum banyak mengalami kemajuan. Sebagai jalan keluarnya, masyarakat kemudian berlomba menanam tanaman yang lebih menguntungkan.

”Penduduk di hulu Sungai Musi bermata pencarian petani. Sekarang mereka terjebak menanam sawit yang katanya lebih mudah dijual,” kata Didiek.

Akibatnya, tanaman seperti kopi yang sebelumnya merupakan komoditas andalan kawasan hulu Sungai Musi menghilang dan tergeser oleh sawit.

”Masalah yang dihadapi masyarakat di sepanjang aliran Sungai Musi adalah degradasi lingkungan. Kehidupan masyarakat di aliran Sungai Musi akan semakin sulit ketika degradasi lingkungan terjadi,” ujar Didiek.

Membelakangi sungai

Fachrurrozi Syarkowie menuturkan, kondisi lingkungan di sepanjang Sungai Musi masih serabutan. Hal itu ditandai dengan rumah-rumah penduduk yang membelakangi Sungai Musi.

Menurut Fachrurrozi, penduduk harus dibiasakan agar membangun rumah menghadap Sungai Musi, bukan membelakangi Sungai Musi.

”Rumah penduduk yang menghadap sungai menyebabkan sungai menjadi bersih, sebaliknya rumah yang membelakangi sungai menyebabkan sungai jadi kotor,” ujarnya.

Fachrurrozi mengungkapkan, buku Jelajah Musi telah membangun optimisme masyarakat Sumsel karena menampilkan sumber daya alam yang melimpah. Masyarakat Sumsel di sepanjang Sungai Musi juga digambarkan hidup rukun.

Gubernur Sumsel Alex Noerdin sependapat bahwa Sungai Musi harus dijaga dengan mengubah perilaku masyarakat di sekitar Sungai Musi. Selain itu, industri di sekitar Sungai Musi juga harus menjaga kondisi sungai. Selama ini industri masih membuang limbah ke Sungai Musi. Wilayah tangkapan air juga penting untuk dijaga

Tema Buku Jelajah Musi Adalah Kesejahteraan Masyarakat Sumsel

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memfokuskan pembenahan tiga bidang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumsel, yaitu bidang pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja. Ketiga bidang itu yang menjadi akar masalah yang melilit masyarakat sebagaimana menjadi tema ekspedisi Jelajah Musi 2010.

Hal itu dikatakan Gubernur Sumsel Alex Noerdin saat membuka Kompas Gramedia Fair dan peluncuran buku Jelajah Musi di Aryaduta Convention Centre, Palembang, Rabu (28/4). Hadir saat itu Redaktur Pelaksana Kompas Budiman Tanuredjo dan Christanto dari Bank Central Asia.

Alex mengatakan, hasil liputan wartawan Kompas dalam Jelajah Musi 2010 telah membuka berbagai masalah sosial dan pembangunan di sepanjang aliran Sungai Musi. Ekspedisi menunjukkan adanya kesulitan masyarakat di sekitar Sungai Musi dalam mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.

Ekspedisi Jelajah Musi 2010 juga menunjukkan keuletan masyarakat di sepanjang Sungai Musi dalam menghadapi berbagai kesulitan dan keterbatasan. Tanpa disadari, ekspedisi Jelajah Musi 2010 adalah promosi besar-besaran bagi Sumsel secara gratis.

”Saya memesan buku Jelajah Musi untuk dibagikan ke perpustakaan dan kepada jajaran pemerintah sampai ke tingkat desa. Buku ini akan mengubah pola pikir pejabat. Saya minta jajaran pemerintah di Sumatera Selatan membaca dan meresapi isi buku ini,” kata Alex.

Acara pembukaan Kompas Gramedia Fair Palembang juga diisi dengan penyerahan hadiah kepada juara lomba menulis tentang Sungai Musi tingkat SMA dan mahasiswa se-Sumsel. Kepada para pemenang yang berjumlah enam orang, Alex Noerdin memberikan hadiah tambahan masing-masing satu laptop

Jumlah Murid Yang Mengambil Jurusan Kelautan Sangat Kurang

endidikan di bidang kelautan di Indonesia masih sangat lemah. Selain pengetahuan kelautan masih sangat minim dalam kurikulum sekolah, lembaga-lembaga pendidikan bidang kelautan belum banyak dilirik masyarakat. Kondisi ini membuat pembangunan kelautan Indonesia sulit berkembang.

Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Yogyakarta Kolonel Laut Antar Setiabudi mengatakan, setiap tahun, sebagian besar lembaga pendidikan bidang kelautan berbagai jenjang kekurangan peserta didik.

“Jumlah murid sekolah bidang kelautan biasanya tak lebih dari 70 persen dari fasilitas yang disediakan,” ujar Antar di sela-sela Seminar Nasional “Membangun Kejayaan Maritim Bangsa Indonesia” yang digelar Pangkalan TNI Angkatan Laut Yogyakarta dan Paguyuban Tri Sekar di Yogyakarta, Senin (26/4).

Menurut Antar, minimnya peminat dipicu pola pikir masyarakat yang tidak melihat kelautan sebagai pekerjaan menguntungkan. Selain itu, pola pembangunan pemerintah juga belum berorientasi untuk mengembangkan bidang kelautan.

Kondisi diperparah minimnya pengetahuan kelautan yang dimasukkan kurikulum nasional. Hal ini sangat berbeda dengan berbagai negara kelautan besar di dunia. Negara-negara seperti China, Jepang, maupun Norwegia telah mengenalkan sejumlah pengetahuan dasar mengenai kelautan sejak pendidikan dasar.

Kepala Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo mengatakan, kualitas lembaga pendidikan bidang kelautan di Indonesia juga masih jauh dari standar internasional. Akibatnya, lulusan sulit bersaing dengan tenaga kelautan asing. “Di Filipina, pelajaran kelautan sudah disampaikan dalam bahasa Inggris. Di sini belum bisa,” ujarnya.

Dalam sambutannya, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Agus Suhartono menyatakan, masih banyak potensi laut Indonesia yang belum tergarap. Padahal, dengan luas perairan mencapai 70 persen dari total wilayah Indonesia, bidang kelautan mempunyai potensi ekonomi dan ekologis yang sangat besar. Salah satunya adalah potensi perikanan yang mencapai 6,4 juta ton setahun.

Jumlah Siswa Yang Gagal UN Terus Bertambah Naik

Tingginya angka ketidaklulusan ujian nasional tingkat sekolah menengah atas di Sumatera Utara merupakan buntut dari ketatnya pengawasan saat ujian. Meski demikian, kualitas hasil UN tetap maksimal. Untuk siswa yang tidak lulus, sekolah diharapkan membantu mereka dengan konseling.

Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara Bahrumsyah mengatakan hal itu di kantornya, Senin (26/4). ”Yang penting kualitas, jumlah kelulusan bukan yang utama,” ujarnya.

Di Sumut, 9.844 siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat tidak lulus ujian nasional (UN). Jumlah tersebut setara dengan 5,26 persen dari semua siswa yang wajib ikut UN tahun 2010, yakni 186.845 orang. Artinya, tingkat kelulusan mencapai 94,84 persen. Tahun lalu tingkat kelulusan UN Sumut mencapai 98 persen.

Bahrumsyah menjelaskan, sebagian besar siswa yang tidak lulus UN itu berada di daerah terpencil, seperti Nias Barat, Nias Selatan, dan beberapa sekolah di Tapanuli Selatan. Kesenjangan fasilitas pendidikan menjadi salah satu faktornya.

Faktor lainnya adalah profesionalitas para penyelenggara UN, seperti pengawas independen dan pengawas UN. Dengan demikian, semua proses UN berjalan tetap waktu. Meskipun ada dugaan kebocoran, penyelenggara UN mencoba menyelesaikannya secara tuntas.

Kepada siswa yang tidak lulus UN, Bahrumsyah meminta kepada kepala sekolah agar ikut membantu para sisa menyiapkan diri.

Salah satu sekolah yang terdapat banyak siswa tak lulus UN adalah Sekolah Menengah Kejuruan SMKN 7 Medan. Dari 655 siswa, 162 orang tak lulus UN.

Kepala Sekolah SMKN 7 Amirudin mengatakan, ketidaklulusan mereka itu karena ada kesenjangan pengetahuan, terutama saat mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Dari 162 siswa tersebut, 145 siswa tak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia.

”Soalnya panjang-panjang sehingga siswa kesulitan,” ujarnya.

Dia mengatakan, setelah pengumuman kelulusan UN pada 26 April ini, pihak sekolah kesulitan bertemu lagi dengan para siswa. Artinya, konseling psikologi yang harus sekolah laksanakan sulit terealisasi.

Konseling psikologi tersebut sangat perlu untuk membantu para siswa mengatasi guncangan jiwa karena tidak lulus UN. Menteri Pendidikan Mohammad Nuh telah menginstruksikan hal itu.

Itu seperti yang dialami Tiara, siswi SMKN 7. Dia pingsan berkali-kali dan takut menghadapi ibunya karena tidak lulus UN.

Di ujung lorong sekolah, seorang siswa bersedu sedan. Nasibnya sama dengan Tiara, tidak lulus UN. Kakaknya mencoba menenangkan hati adiknya itu agar tabah dan tetap ceria. ”Bukan salah Adik kalau tidak lulus. Ayo, pulang saja. Jangan nangis terus,” hibur sang kakak.

”Tanggal 7 Mei nanti kami meminta para siswa yang tidak lulus UN untuk berkumpul di sekolah. Itu untuk mempersiapkan UN ulangan pada 10 Mei,” kata Amirudin.

Lain halnya dengan Rika. Dia menangis bukan karena lulus atau tidak, tetapi karena deg-degan. Amplop yang dia terima dari gurunya masih utuh, belum dibukanya. Ayah-ibunya yang saat itu mengantarnya ke sekolah tak berani memaksa siswa SMKN 7 itu untuk membuka amplop.

”Rika belum kuat melihat hasilnya. Ayo pulang saja, nanti dibuka di rumah,” ujar Rika kepada kedua orangtuanya.

SMKN 7 merupakan salah satu sekolah dengan tingkat ketidaklulusan paling tinggi di Medan. Dari 655 siswa, 162 siswa tak lulus. Di SMKN 2 hanya 27 yang tak lulus UN dari 464 siswa, sementara di SMAN 1 hanya tiga siswa yang tak lulus. Bahkan, di SMAN 2 yang sempat terjerat kasus kebocoran soal hanya seorang siswa yang tak lulus UN. Di seluruh Sumut, 9.844 siswa tidak lulus.

Saat ada yang sedih, ada juga yang begitu gembira. Salah satunya adalah Fera, siswa SMAN 2 Medan.

Dia merasa sangat bahagia sehingga kasus memalukan berupa bocornya soal UN di SMAN 2 seolah terlupakan.

Dia bahkan sudah bersiap mengikuti tes untuk masuk perguruan tinggi. Jika tak lolos masuk seleksi di Universitas Indonesia, di akan kuliah di Universitas Sumatera Utara.

Gara Gara Menulis Blog Jadi Tersangka Pencemaran Nama Baik

Gara-gara menulis di blog, sebuah situs pertemanan, Khoe Seng Seng kembali menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Henry S Candra, karyawan PT Sinar Mas yang menjadi kuasa PT Duta Pertiwi (pengembang ITC Mangga Dua). Berkait persoalan itu, Khoe yang menjadi pedagang di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, Senin (26/4), kembali diperiksa penyidik Satuan Keamanan Negara Polda Metro Jaya.

Peristiwa yang menyeret Khoe terjadi ketika ia menulis komentar di blog http://www.mycityblogging.com tentang Henry pada Februari 2009. ”Henry menjadi calon anggota DPRD, saya menulis, ia tidak pantas dicalonkan (jadi anggota DPRD) karena tidak transparan dan mengintimidasi karyawan lain,” ujarnya.

Henry saat itu menjadi Sekretaris Ketua Perhimpunan Penghuni Rumah Susun ITC Mangga Dua.

Seusai pemeriksaan, Khoe menyatakan hanya diminta memperbaiki keterangan yang salah dalam berita acara pemeriksaan saat ia diperiksa menjadi saksi.

”Sekarang status saya tersangka, tadi mengoreksi keterangan yang salah,” tutur Khoe. Polisi akan memanggil ahli bidang komunikasi dan hukum pidana.

Sebelumnya, Juni 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Khoe enam bulan penjara dengan masa percobaan setahun karena mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi lewat tulisannya.

Khoe menuliskan keluhannya karena merasa dibohongi pengembang. Ternyata kiosnya di lantai 2 ITC Mangga Dua tidak bisa dimiliki sepenuhnya karena bangunan ITC itu berdiri di atas tanah pemda. Keluhannya di muat dalam kolom Surat Pembaca harian Kompas dan Suara Pembaruan.

Buku Jelajah Musi Merupakan Sebuah Dokumentasi Sungai Musi yang Lengkap

Sekitar sebulan lalu sejumlah teman melalui situs jejaring sosial Facebook Jelajah Musi dan pesan singkat telepon seluler menanyakan rencana penerbitan buku Jelajah Musi 2010. Mereka mengaku ingin segera memiliki buku itu karena tidak sempat mengkliping tulisan dan berita laporan perjalanan jurnalistik Kompas tentang Sungai Musi yang diterbitkan Kompas selama 6-17 Maret 2010 secara lengkap.

”Laporan jurnalistik Kompas dalam Jelajah Musi 2010 memberikan gambaran yang cukup lengkap tentang peran strategis Sungai Musi itu. Adanya buku Jelajah Musi memudahkan masyarakat mengetahui kondisi dan peran Sungai Musi tersebut, sebab penyajian dalam buku biasanya selalu terstruktur. Senang sekali buku Jelajah Musi segera diluncurkan,” kata Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun yang mengaku mengklipingkan laporan Jelajah Musi 2010 di Kompas dalam satu bundelan khusus.

Ekspedisi Kompas dengan nama Jelajah Musi 2010 sungguh menarik. Sebelum memulai perjalanan resmi pada 8-15 Maret 2010 dari Tanjungraya, Kecamatan Pendopo Lintang, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, tim Kompas terlebih dahulu menjelajahi kawasan hulu Sungai Musi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Tujuannya agar laporan yang disajikan Kompas dalam Jelajah Musi lebih lengkap mulai dari hulu hingga hilir. Pembaca dapat memahami lebih lengkap kondisi Sungai Musi saat ini.

Hasil peliputan telah menggambarkan betapa pesona dan eksotika Sungai Musi masih tinggi meski sudah terancam oleh daya dukung lingkungan yang cenderung merosot. ”Sungai Musi tidak hanya penting di masa lalu, tetapi jauh lebih penting lagi perannya di masa depan. Sulit dibayangkan pula Sumatera dan Indonesia tanpa Sungai Musi, atau Sungai Musi tanpa Indonesia. Sungai Musi tidak hanya penting bagi Sumatera Selatan, tapi juga penting bagi Indonesia, bahkan dunia,” ujar Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun dalam kata pengantar buku Jelajah Musi.

Buku Jelajah Musi akan diluncurkan pada Rabu (28/4) pukul 09.00 WIB di Aryaduta Convention Center Palembang. Buku setebal 400 halaman ini dilengkapi sambutan Gubernur Sumsel Alex Noerdin.

Alex Noerdin menyatakan, Sungai Musi dengan delapan anak sungainya, atau dikenal dengan istilah Batanghari Sembilan, merupakan anugerah Tuhan yang telah lama menjadi urat nadi dan sumber kehidupan masyarakat Sumsel. Hingga saat ini sungai yang panjang keseluruhannya sekitar 720 kilometer itu tetap memiliki peran besar dalam pergerakan penduduk, perdagangan, dan pengiriman barang kebutuhan pokok, meskipun tidak sebesar pada masa lalu.

”Saya berterima kasih kepada seluruh jajaran Kompas, khususnya tim Jelajah Musi 2010, yang telah menunjukkan kepeduliannya dalam menjelajahi dan memotret Sungai Musi sebagai mosaik kekayaan alam Indonesia. Apa yang telah dilakukan ini sungguh dapat menjadi referensi, sekaligus telah menyadarkan kita semua, betapa kompleks masalah yang menyertai keberadaan Sungai Musi kini. Ini tentu jadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah (pusat dan daerah), serta berbagai komponen masyarakat lainnya,” kata Alex Noerdin.

Buku ini akan dipasarkan sejak Rabu (28/4) dengan harga Rp 89.000 per eksemplar. (Jannes Eudes Wawa)