Mahasiswa Milenial Penerima Beasiswa Dari APBN Merasa Tidak Berhutang Pada Bangsa Indonesia

Dessy Rosalina, penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengaku tak merasa berutang kepada negara, menanggapi viral kabar banyaknya alumni yang ogah pulang selesainya menempuh pendidikan di luar negeri. Alasan Dessy sederhana, uang negara yang digadang-gadang digunakan untuk membiayai anak bangsa sekolah di luar negeri itu, juga berasal dari pembayaran pajaknya selama ini. “Maaf-maaf saja, uang negara kan dari kita juga. Saya pribadi tidak merasa berutang. Kita juga bayar pajak,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/8). Meskipun tidak menyebutkan berapa besar pajak yang dia sudah bayarkan.

Pun demikian, Dessy yang menempuh pendidikan pascasarjana di Macquarie University, Sydney, Australia tersebut tetap kembali ke Tanah Air. Tak seperti 138 rekan-rekannya yang disebut LPDP enggan kembali pulang setelah menyelesaikan pendidikan. Perempuan berdarah Batak ini pulang untuk mengabdi ke tanah kelahirannya, Indonesia, dan kembali berkumpul bersama keluarga. Saat ini, dia bekerja sebagai karyawan swasta bidang komunikasi.

Namun, ia memahami alasan rekan-rekannya yang ogah pulang. Bahkan, ia menyebut praktik siswa/i menetap di negara mereka menempuh pendidikan pun ramai beberapa tahun terakhir. Singkatnya, kehidupan dan pekerjaan di luar negeri lebih menjanjikan ketimbang di Tanah Air. “Kita tahu secara income (pendapatan), kita lebih dihargai,” jelasnya.

Menurut dia, akan lebih bijak jika LPDP juga introspeksi. Tidak semata-mata menyalahkan alumni. Misalnya, ia menyarankan membangun sistem terintegrasi yang bisa mewadahi para alumni untuk mengabdi, baik di instansi pemerintahan maupun BUMN. Toh, tidak sedikit alumni yang kembali akhirnya luntang-lantung memperbaiki nasib. Lebih ironis, banyak dari mereka yang akhirnya kembali ke pekerjaan sebelumnya.

“Jadi, LPDP harus berubah cara berpikirnya (jangan hanya) mengharapkan kesadaran alumni untuk mengabdi. Kesadaran itu bisa dibentuk oleh sistem yang mumpuni,” kata Dessy. Sementara itu, beberapa alumni LPDP yang diketahui menetap di luar negeri menolak wawancara saat dihubungi.

Sebelumnya, pemilik akun Twitter @VeritasArdentur mengunggah percakapan terkait banyaknya alumni yang enggan pulang ke Indonesia untuk menikmati beragam fasilitas di luar negeri. Salah satunya, menyekolahkan anak secara gratis. “Jadi, biasanya nih mereka laki-bini. Pertama, lakinya sekolah Phd, minimal empat tahun kan. Jadi, mereka ada kesempatan sekolahin anak gratis empat tahun. Lakinya lulus, bininya lanjut sekolah. Sehingga, ada alasan tidak balik, menemani istri sekolah. At least (setidaknya) mereka dapat 10 tahun tinggal di sini (Inggris),” tulis percakapan yang diunggah di sosial media.

Percakapan itu juga menyinggung soal penerima beasiswa LPDP sebagai parasit. Sebab, mereka dibiayai oleh uang negara dari rakyat, tetapi tak mau kembali dan berkontribusi di Indonesia. “Di Indonesia parasit, di Inggris juga parasit,” imbuh percakapan itu. “Karena mereka tidak bayar pajak, tetapi menikmati semua fasilitas Pemerintah Inggris yang gratis untuk rakyat-rakyat tidak mampu. Tidak tahu malu. Ini sudah seperti sindikat,” lanjutnya.

Faktanya, LPDP mencatat jumlah siswa yang tidak mau pulang, namun sudah menyelesaikan studi mereka, tidak lah sedikit. Yakni, 138 orang. Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto mengaku sudah menyurati alumni yang masih bertahan di luar negeri dan memberikan peringatan. “Saat ini, masih ada sekitar 138 orang yang masih dalam proses peringatan, pendekatan, agar mereka segera kembali ke Indonesia,” terang dia seperti dikutip CNN Indonesia TV, Senin (1/8). Andi sendiri mengaku mendapatkan data alumni yang tak patuh itu dari data monitoring LPDP dan laporan masyarakat. Data itu ditindaklanjuti dengan kerja sama Ditjen Imigrasi untuk mengetahui lokasi yang bersangkutan

Beasiswa yang dikucurkan lewat Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sedang menjadi isu hangat dan viral di jagat maya.
Pemilik akun Twitter @VeritasArdentur mengunggah sebuah percakapan yang membahas penerima LPDP enggan pulang ke Indonesia demi menghindari pajak dan menikmati beragam fasilitas dari Inggris. Salah satu fasilitas yang dimaksud adalah menyekolahkan anak secara gratis. Hal itu kerap dilakukan oleh sepasang suami istri.

“Jadi biasanya nih mereka laki bini. Pertama, lakinya sekolah phd, minimal empat tahun kan. Jadi mereka ada kesempatan sekolahin anak gratis empat tahun. Lakinya lulus bininya lanjut tuh sekolah. Jadi lakinya ada alasan tidak balik bilangnya, menemani istri sekolah. Jadi, at least mereka dapat 10 tahun tinggal di sini (Inggris),” tulis percakapan yang diunggah di akun Twitter milik @VeritasArdentur, dikutip Jumat (29/7).

Dalam percakapan itu juga menyatakan bahwa penerima LPDP sebagai parasit. Pasalnya, mereka dibiayai dengan uang rakyat, tetapi tak mau kembali dan berkontribusi di Indonesia. “Itu di Indonesia parasit, di Inggris juga parasit, karena mereka di sini tidak bayar pajak. Tapi menikmati semua fasilitas pemerintah Inggris yang gratis untuk rakyat-rakyat tidak mampu. Tidak tahu malu. Ini tuh sudah seperti sindikat,” tulis percakapan itu. Pemilik akun @VeritasArdentur itu pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengejar penerima beasiswa LPDP dan memerintahkan untuk pulang ke Indonesia. Masalahnya, dana yang dikucurkan untuk beasiswa LPDP mencapai Rp2 miliar untuk satu orang.

“Pak @jokowi apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengejar pengkhianat bangsa, penghisap darah rakyat, yang menerima LPDP tapi kabur? Coba mulai dari me-ranking penyeleksinya pak, siapa yang performanya paling buruk. Minimal rakyat diperas Rp2 miliar untuk mengirim satu orang lho,” katanya. Cuitan itu langsung dibalas oleh akun Twitter resmi @LPDP_RI. Admin LPDP mengatakan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menelusuri keberadaan penerima LPDP.

“Alumni wajib berada di Indonesia selambat-lambatnya 90 hari kalender setelah tanggal kelulusan penerima beasiswa berdasarkan dokumen kelulusan resmi dari perguruan tinggi tujuan,” tulis LPDP.

Binus Satu Satunya Universitas Yang Berani Cabut Gelar Alumni Yang Korupsi

Pihak kampus Universitas Bina Nusantara (BINUS) akan tegas kepada alumnus yang terlibat korupsi atau kriminal. Sanksi berupa pencabutan ijazah bisa dilakukan jika alumnus terbukti kriminal. Hal itu diungkapkan Rektor BINUS, Harjanto Prabowo saat memperkenalkan kampus Binus @Semarang di kawasan POJCity Semarang. Ia mengatakan mahasiswa BINUS diajari integritas. Bahkan jika dalam perkuliahan ketahuan melakukan kecurangan maka akan dikeluarkan.

“Di BINUS itu jaga integritas, kalau ada cheating akan di-drop. Kalau lulusannya korupsi, terbukti di KPK atau pengadilan ditetapkan, ijazahnya dicabut. Kalau wisuda selalu saya umumkan itu,” kata Harjanto, Senin (16/5/2022).

Oleh sebab itu sampai ini tidak ada lulusan BINUS yang dicabut ijazahnya. Ia menjelaskan kini BINUS memiliki 12 kampus yang tersebar di berbagai kota di Indonesia serta memiliki lebih dari 130.000 alumni dan lebih dari 45.000 mahasiswa aktif. Universitas BINUS kini punya kampus di Semarang. Hal serupa juga tentu diterapkan. Harjanto mengatakan target ada 300 mahasiswa di kampus Semarang.

“Target 300-an, itu yang kampus base. Kalau online bisa 500-an mahasiswa. Kuliah akan mulai September. Sudah ada 120-an daftar,” jelasnya. Selain universitas, dalam kompleks di POJcity Semarang tersebut juga ada BINUS SCHOOL Semarang dengan berbagai jenjang pendidikan. Sekolah itu mengangkat kurikulum Cambridge.

“BINUS SCHOOL Semarang mengangkat kurikulum Cambridge yang memberikan pendidikan bertaraf global. Ditunjang oleh fasilitas yang lengkap serta lingkungan yang prestisius namun tetap menonjolkan kearifan lokal,” kata Michael Wijaya Hadipoespito selaku President of BINUS SCHOOL Education.

Universitas Bina Nusantara (BINUS) sudah 7 tahun menerima mahasiswa dari Jawa Tengah khususnya Kota Semarang namun belum memiliki gedung kampus. Kini mahasiswa di Semarang bisa merasakan kuliah dengan sistem campus base. BINUS SCHOOL Semarang dan BINUS @Semarang mendirikan kawasan pendidikan POJCity Semarang yang terletak di pinggir pantai. Dengan lahan kurang lebih 300 hektar BINUS membuka kawasan pendidikan dari Pra TK hingga Universitas.

Rektor BINUS, Harjanto Prabowo mengatakan perkuliahan dari Semarang sudah ada sejak 7 tahun lalu dengan sistem campus non base atau daring. “Di Kota tertentu salah atunya Semarang jadi learning center, 7 tahun di Semarang. Alumninya sangat banyak,” kata Harjanto di kampus Binus @Semarang, Senin (16/5/2022). Di Semarang, untuk program sarjana tersedia Computer Science, Information Systems, Industrial Engineering, dan Visual Communication Design. Tersedia juga program online untuk Akuntansi, Teknik Industri, Sistem Informasi, Teknik Informatika, dan Business Management.

Putusan MK Gelar Honoris Causa Harus Diikuti Dengan Nama Universitas Pemberi Gelar

Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan sejumlah catatan kepada Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim agar memperbaiki penilaian dan pemberian gelar profesor. Hal itu tertuang dalam putusan yang dimohonkan dosen Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati.

“Perihal syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi, Mahkamah berpendapat jika syarat ini tetap akan dipertahankan, tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau Kementerian sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh Kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara reguler,” demikian pertimbangan putusan MK yang dibacakan hakim MK secara bergiliran dan disiarkan dalam kanal YouTube MK, Selasa (29/3/2022).

Syarat Jurnal Internasional

Perihal syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi, Mahkamah berpendapat jika syarat ini tetap akan dipertahankan, tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau kementerian sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh Kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara reguler, sehingga hal tersebut menjadi persyaratan yang sangat menentukan yang akan dinilai dengan cermat dan dituangkan dalam bentuk angka-angka kredit (KUM).

Cantumkan (HC) di Belakang Profesor Kehormatan

Selain itu, jika jabatan akademik profesor kehormatan akan dicantumkan atau digunakan, maka untuk membedakannya dengan profesor yang diraih oleh dosen tetap, kepada yang bersangkutan dalam mencantumkan jabatan akademik profesor kehormatan harus diikuti dengan nama perguruan tinggi yang memberikan jabatan akademik profesor kehormatan tersebut. Selain harus diikuti dengan nama perguruan tinggi, kata ‘kehormatan’ atau ‘honoris causa (HC)’ perlu juga ditambahkan pada gelar profesor kehormatan, sebagaimana layaknya pemakaian gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa yang ditulis sebagai Dr (HC). Dengan demikian, terdapat kesamaan pencantuman gelar doktor kehormatan dengan profesor kehormatan. Terkait dengan hal tersebut, penulisan gelar profesor kehormatan harus pula ditulis Prof (HC) diikuti nama institusi perguruan tinggi pemberi gelar dimaksud.

Prinsip Kepastian dan Keadilan
Persyaratan paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah doktor di atas dapat dikecualikan jika calon yang akan diusulkan tersebut memiliki tambahan karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi setelah memperoleh ijazah doktor. Terkait dengan persyaratan dan mekanisme pengangkatan dosen tetap dalam jenjang akademik profesor tersebut diatur dengan standar yang sama dan berlaku bagi seluruh dosen tetap di seluruh perguruan tinggi agar dapat diwujudkan prinsip kepastian dan keadilan dalam seluruh proses, sehingga mutu dosen dalam jabatan akademik dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).

Terlebih lagi dalam jabatan profesor diemban fungsi sebagai penjaga akademik dan nilai-nilai ilmiah (the guardian of academic and scientific values).

Dalam hal ini, pimpinan perguruan tinggi dengan persetujuan senat perguruan tinggi mengusulkan penetapan angka kredit ke dalam jabatan profesor atau pangkat dalam lingkup jabatan-jabatan tersebut kepada direktur jenderal. Proses ini dilakukan oleh perguruan tinggi secara berjenjang melalui program studi, fakultas, perguruan tinggi dan selanjutnya diajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi. Untuk menghindari kemungkinan adanya perbedaan penilaian antara perguruan tinggi dan kementerian, perlu diintegrasikan tim penilai antara tim penilai perguruan tinggi dan tim penilai kementerian.

Di samping untuk tetap mempertahankan kualitas dosen yang dapat diangkat sebagai guru besar atau profesor, pengintegrasian demikian juga dimaksudkan untuk menyederhanakan tahapan atau proses pengusulan. Seluruh mekanisme dan proses tersebut harus dilakukan secara transparan dan mudah diakses oleh setiap calon yang diusulkan kenaikan jenjang jabatannya. Lalu bagaimana dengan perkara Sri sendiri? MK memutuskan menolak mengadilinya karena tidak terkait konstitusionalitas, tapi sudah penerapan norma.

“Dalam kaitan ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, merujuk pada fakta-fakta tersebut maka persoalan tidak diperolehnya rekomendasi jabatan akademik profesor Pemohon tersebut merupakan persoalan implementasi atas berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditentukan dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma,” ucap majelis dengan suara bulat.

Nama Nusantara Ternyata Dicontek Dari Kalimantan Oleh Kerajaan Majapahit

Pilihan kata ‘nusantara’ sebagai nama ibu kota negara di Kalimantan Timur (Kaltim) sempat dinilai Jawa-sentris. Belakangan, ahli sejarah menjelaskan ‘nusantara’ justru merupakan istilah asli Kutai di Kaltim. Jadi istilah ‘nusantara’ itu berasal dari Jawa atau dari Kutai? Dari Majapahit (Jawa)

Selama ini jamak dipahami, nama ‘Nusantara’ berasal dari era Majapahit. Nusantara termaktub dalam catatan ini:

  1. Kakawin Nagarakertagama karya Mpu Prapanca
    Tahun: 1365 Masehi, zaman Majapahit.
    Ditemukan: 1894 Masehi di Lombok, zaman Hindia-Belanda
  2. Kitab Pararaton
    Tahun: 1481 (naskah Pararaton paling tua)
    Dalam kitab itu pula, termaktub Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada yang bertekad mengalahkan Nusantara.

Secara umum, Majapahit memang punya pusat pemerintahan di Pulau Jawa bagian timur (tentu saja saat itu belum ada Provinsi Jawa Timur). Saat itu, Nusantara dipahami sebagai daerah di luar pengaruh budaya Majapahit (Jawa). Daerah Nusantara berada lebih luar dari Nagargung (pusat pemerintahan) dan mancanegara (luar pusat pemerintahan namun masih terpengaruh budaya Majapahit). Karena Nusantara dipahami sebagai nama dari perspektif Jawa, maka nama Nusantara sebagai ibu kota negara di Kaltim dinilai sebagai Jawa-sentris oleh sejarawan JJ Rizal. “Sebab itu sejak zaman pergerakan, istilah Nusantara tersingkir karena dianggap Jawa-sentris,” kata Rizal kepada Perspektif.

Namun pandangan alternatif mendapat sorotan publik sejurus kemudian. Nama ‘Nusantara’ bukan berasal dari Jawa, melainkan justru berasal dari Kaltim sendiri. Nusantara adalah nama asli dari Kutai sebelum daerah itu bernama Kutai, yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara, berdiri pada abad 14. Pandangan ini dikemukakan oleh sejarawan Samarinda, Muhammad Sarip.

Muhammad Sarip menjelaskan, nama ‘Nusantara’ sendiri secara kata memang terpengaruh dari bahasa Sanskerta (bahasa dari India). Namun kata ‘nusantara’ sudah menjadi nama tempat (toponimi) untuk daerah di timur Kalimantan yang di kemudian hari bernama Kutai, yakni sebelum Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada 1300-1325 Masehi dan berlangsung sampai berabad-abad setelahnya (bandingkan dengan masa eksistensi Majapahit 1293-1527 Masehi).

Setelah itu, barulah nama Nusantara menjadi populer di luar Pulau Kalimantan dan sampai ke telinga Jawa, sampai ke telinga Kerajaan Majapahit. “Interaksi lintas pulau tentu saja bisa mempopulerkan sebutan Nusantara. Istilah Nusantara berkembang menjadi sebutan lampau dari pulau luas Kalimantan,” kata Sarip kepada Perspektif detikcom, Rabu (19/1/2022).

Orang Majapahit kemudian menyebut Nusantara tidak cuma sebatas daerah bagian timur Kalimantan, namun diperluas menjadi Pulau Kalimantan secara keseluruhan, dan ‘pulau-pulau di luar Majapahit’. “Lantas, terjadi dinamika lagi pada era jaya Majapahit sehingga Gajah Mada perlu mengidentifikasi wilayah vasalnya dari gugusan pulau di barat sampai timur dengan istilah ringkas ‘Nusantara’,” kata Sarip.

“Hipotesisnya, Nusantara berawal dari timur Kalimantan,” tandasnya. Muhammad Sarip adalah sejarawan yang diakui kompetensinya oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Dia mendasarkan pendapatnya pada dua catatan berikut.

Dua catatan bukti ‘Nusantara nama asli Kutai’:

  1. Penulis: S.W. Tromp (Solco Walle Tromp)
    Judul: Uit de Salasila van Koetei (Salasila Kutai)
    Jurnal: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Volume 37: Issue 1
    Penerbit: Brill
    Tahun: 1 Januari 1888
  2. Penulis: S.C. Knappert
    Judul: Beschrijving van De Onderafdeeling Koetei (Deskripsi Onderafdeeling/Subdivisi Kutai)
    Jurnal: ijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Volume 58: Issue 1
    Penerbit: Brill
    Tahun: 1 Januari 1905

Bila dibandingkan angka tahunnya, tentu Nagarakertagama dan Pararaton lebih tua ketimbang referensi Sarip di atas. Namun menurut Sarip, Kitab Nagarakertagama baru ditemukan oleh Belanda pada enam tahun setelah penelitian SW Tromp terbit di Jurnal tahun 1888. “Kitab Nagarakertagama saja baru ditemukan KNIL (tentara kerajaan Belanda) tahun 1894 di Lombok. Itu juga nggak langsung diteliti,” kata Sarip.

Dia sendiri bersikap skeptis terhadap Kitab Pararaton yang bagian tertuanya ditulis dua abad setelah Nagarakertagama. “Secara umum, Pararaton nggak terlalu kuat buat dijadikan referensi sejarah,” ujarnya.

Kartel Gelar Profesor Di Indonesia

Sidang judicial review UU Guru dan Dosen yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) membuka kotak pandora Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Ristek Dikti). Pemohon yang juga dosen senior UI, Dr Sri Mardiyati menduga ada ‘kartel’ profesor di Dikti.
Sidang judicial review masih berlangsung di MK. Berikut ringkasan judicial review tersebut yang dirangkum:

Siapakah Pemohon Judicial Review?
Sri Mardiyati adalah dosen tetap Fakultas MIPA UI dan mengajar sejak 1991. Beberapa tulisannya yang dimuat di jurnal internasional. Di antaranya Numerical Analysis of the Electrical Potential Calculation in a Transversely Isotropic Media, Polinomial Permutasi di Gelanggang Zn, Relasi antara perbedaan potensial pada permukaan media dan perbedaan konduktiviti di media, Transversely Isotropic Media with Layers Having Exponentially Varying Conductivity, hingga Prediksi Resiko Morbiditas Pasca Operasi Bedah.

Apa yang Dialami Sri Mardiyati?
Nama Sri sudah diusulkan menjadi profesor oleh Dekan Fakultas MIPA pada 14 Mei 2019. Disusul pengesahan hasil validasi oleh Rektor UI pada Oktober 2019 dan diteruskan ke Kemendikbud. Sri kaget sat mendapat Nota Dinas dari Direktur SDM UI yang menyebutkan berdasarkan hasil keputusan rapat panitia penilai pusat, usulan Sri menjadi Guru Besar belum dapat dipertimbangkan. Salah satu alasannya karena salah satu karya ilmiah Sri tidak memenuhi syarat.

Selidik punya selidik, penentu akhir di Kemendikbud adalah di Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Iptek dan Dikti yang menolak pemberian gelar itu. Karena karya ilmiah Sri di-review oleh profesor yang tidak sesuai rumpun bidangnya. Sebagai karya tulis rumpun matematika, karya tulisnya dinilai oleh guru besar di bidang elektro, guru besar di bidang fisiologi/genetika molekuler tanaman dan guru besar di bidang fisika.

Apa Kerugian Konstitusional Sri?
Sri memberikan kuasa kepada Maqdir Ismail mengajukan judicial review ke MK. Apa yang dialami Sri di atas dinilai akibat Pasal 50 ayat 4 UU Guru dan Dosen yang berbunyi:

Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Menyatakan Pasal 50 ayat 4 UU Guru dan Dosen tidak konstitusional bersyarat secara khusus di Universitas Indonesia sepanjang tidak dimaknai bahwa pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia,” pinta Maqdir mewakili kliennya.

Dugaan ‘Kartel’ Gelar Profesor
Sri lewat Maqdir Ismail menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbudristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan.

“Permohonan ini tidak bertujuan untuk ‘mengutuk’ para profesor ataupun pejabat tinggi Kemendikbud karena mereka telah melakukan ‘censorship’ atau ‘cartel’ dalam memberikan persetujuan atas penilaian angka kredit jabatan fungsional dosen. Tidak juga untuk menghalangi bimbingan yang marak dilakukan oleh pihak-pihak dalam melakukan penulisan karya ilmiah untuk membantu menulis karya ilmiah yang ‘terindeks dalam Scopus dan dipublikasikan jurnal ilmiah internasional bereputasi’,” kata Maqdir.

Sri Diajak Damai Asal Cabut Gugatan
Atas apa yang dialaminya, Sri kemudian menggugat ke PTUN Jakarta. Namun, di tengah proses gugatan itu, ia diajak berdamai. “Pertanyaan saya juga yang ingin saya tanya kepada Pak Sofwan, sebelum perkara ini bergulir ke PTUN, apakah Saudara mendengar ada pembicaraan atau pesan yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian melalui Dekan FMIPA UI agar supaya klien kami ini tidak meneruskan perkara ini ke PTUN, akan tetapi dia akan diberikan gelar melalui NITK (Nomor Induk Tenaga Kependidikan)?” tanya Maqdir.

Atas apa yang dia alami, Sri menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek sehingga peraturan yang ‘menjegalnya’ harus dihapuskan. “Kemudian, apakah Saudara juga mengetahui bahwa pada tanggal 31 Januari, juga kepada klien kami ini ditawarkan kembali untuk menjadi guru besar, sepanjang tidak mempersoalkan persoalan ini melalui proses hukum dan harus melalui NITK?” tanya Maqdir tegas.

MK Singgung ‘Obral’ Gelar Profesor Kehormatan
Saat sidang, MK menyinggung Kemendikbud mudah memberikan profesor kehormatan.

“Saya kalau pulang ke Padang masih main-main ke kampus, Prof Arief juga begitu. Itu salah satu yang dikeluhkan oleh teman-teman itu, kok kami, kita yang di kampus ini sulit sekali jadi guru besar, ya. Sementara di tempat lain profesor kehormatan, profesor kehormatan itu seperti apa saja, sekilat sekelebat pedang saja begitu, tiba-tiba sudah jadi profesor kehormatan,” ujar hakim MK Saldi Isra. Oleh sebab itu, Saldi meminta Kemendikbud lebih serius dalam mengkaji masalah di atas.

“Nah, tentu ini sesuatu yang harus dipikirkan oleh kementerian dan concern saya sebetulnya apa yang membedakan profesor kehormatan itu dengan profesor biasa? Karena semuanya saya lihat itu memakai gelar profesor, enggak ada bedanya. Prof Arief pakai profesor karena dulu dari dosen. Ada orang yang karena profesor kehormatan, tapi enggak ada bedanya. Kalau doktor kehormatan kan dipakai, doktor hon begitu. Ini perlu enggak? Ada penambahan profesor hon juga begitu? Profesor honoris atau kehormatan begitu? Nah itu, supaya ada sesuatu yang membedakan orang yang memang berjuang dari awal untuk sampai karena itu dianggap sebagai prestasi akademik paling tinggi. Ini tolong bisa jadi perhatian di Kementerian,” kata Saldi menegaskan.

MK Pertanyakan Dikti Gagalkan Calon Profesor yang Sudah Lulus di Kampus
Hakim MK menanyakan soal standar penilaian kelayakan menjadi profesor. Sebab, ada kandidat yang lolos di tingkat universitas, tapi dimentahkan oleh Dikti dengan penilaian sebaliknya. Kemendikbud diminta membuat sistem yang tidak mempersulit kandidat profesor karier.

“Jadi, dia naik ke Jakarta itu, itu hanya formalitas untuk kemudian diterbitkan ketetapan begitu, keputusan untuk yang bersangkutan bisa diangkat sebagai guru besar. Jadi, agar apa? Agar setiap level itu tidak melahirkan, maaf, ‘raja-raja kecil’ lagi. Ada punya otoritas bisa menghitam, memutihkan begitu. Nah, kalau di internal perguruan tinggi biarkan sajalah. Mulai dari jurusan sampai ke fakultas sampai ke universitas, tapi begitu seseorang lolos dari fakultas, dia masuk universitas, di situlah masuk diintegrasikan reviewer dari kementerian itu. Jadi, kalau ini misalnya sudah menyatakan oke, maka dia dikirim ke Jakarta itu minta tanda tangannya Pak Menteri saja atau Bu Menteri nanti kalau Menteri Pendidikannya ibu-ibu. Bisa enggak, seperti itu Bu Chatarina? Yang bisa dipikirkan?” kata Saldi di sidang.

Jurnal Internasional Tidak ‘Welcome’ ke Pancasila
Salah satu syarat menjadi profesor adalah pernah menulis di jurnal internasional. Namu hakim konstitusi Arief Hidayat menilai jurnal internasional itu tidak ‘welcome’ terhadap ideologi yang berbeda dengan jurnal itu. Bila jurnal itu di Australia, maka tidak ‘welcome’ dengan Pancasila.

Arief meminta Kemendikbud melobi jurnal internasional untuk lebih terbuka terhadap hukum Indonesia, yaitu hukum Pancasila. Sebab, jurnal internasional cenderung menerbitkan riset hukum yang sesuai ‘selera’ hukum barat, yaitu hukum liberal. Padahal Indonesia memiliki kiblat hukum sendiri, yaitu hukum Pancasila.

“Saya juga merasakan begini, teman-teman di bidang hukum itu kalau menulis ke jurnal internasional itu banyak mentoknya, banyak yang kemudian ditolak. Karena apa? Hukum itu kan harus mengandung atau berisi kosmologi hukum Indonesia. Sehingga tulisan-tulisan doktor, tulisan-tulisan makalah yang akan diekspose ke jurnal internasional itu harus berkosmologi Indonesia, mengembangkan hukum Pancasila. Tapi, dengan mengembangkan hukum Pancasila, jurnal internasional itu enggak mau terima karena dia jurnal dari luar negeri, inginnya sesuai dengan kosmologinya, liberalisme. Itu susah diterima,” kata Arief Hidayat.

Arief mencontohkan peneliti MK lulusan Australia yang mendapatkan doktor Australia. Berkali-kali menulis bidang hukum tentang hukum Pancasila, tapi berkali-kali ditolak dalam jurnal internasional yang terindeks Scopus. Karena jurnal itu yang punya authority untuk menerima atau tidak menerima.

“Nah, tulisannya itu tidak sesuai dengan kosmologi hukum mereka, dia menulis bagaimana Indonesia. Nah, apakah tidak ada pandangan supaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membina jurnal-jurnal Indonesia? Sehingga bermutu yang bisa menjadi media untuk orang Indonesia. Mengembangkan ilmu berdasarkan kosmologi Indonesia,” papar Arief.

Arief juga menyoroti soal syarat menulis di jurnal internasional bagi dosen Indonesia agar bisa naik pangkat atau mendapat gelar profesor. Akhirnya muncul jurnal internasional abal-abal. “Nah, di lapangan karena banyak menjadi pasar jurnal internasional karena semua harus terekspos di jurnal internasional, padahal banyak jurnal-jurnal internasional yang kemudian abal-abal yang masuk di pasar Indonesia. Nah, ini bagaimana pengawasan mengenai jurnal internasional yang dilakukan oleh pihak pendidikan tinggi?” kata Arif menegaskan.

MK Minta Kemendikbud Jangan Ada Dusta
MK meminta Kemendikbud memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya dan jangan ada dusta. Hal itu disampaikan hakim konstitusi Aswanto soal syarat penulisan di jurnal internasional penuh kejanggalan.

“Kita harus ada konsistensi, tidak ada raung yang bisa ditafsirkan macam-macam. Jadi tidak perlu tidak ada diskresi. Mohon maaf saya agak vulgar, soalnya saya juga mengalami. Banyak hal seperti ini saat saya menjadi dekan. Bahkan ada kawan saya, sudah kurang lebih 8 tahun, sampai sekarang tidak pernah keluar,” kata Aswanto yang juga guru besar Universitan Hasanuddin (Unhas) Makassar itu.

Aswanto juga kecewa karena Kemenristek Dikti tidak membawa data berapa jumlah jurnal Indonesia yang masuk indeks internasional. Begitu juga berapa jumlah indeks internasional yang diakui sebagai syarat menjadi profesor. Aswanto juga berharap harusnya di sidang itu Kemendikbud bisa membeberkan negara mana saja yang menggunakan syarat penulisan jurnal internasional untuk menjadi profesor.

“Saya masih ingat, saya mendampingi rektor saya menghadap Pak Dirjen, katanya jurnalnya ada masalah. Padahal jurnal itu banyak yang dipakai dan menjadi guru besar. Hal-hal seperti ini yang bisa menjadikan kecurigaan-kecurigaan, yang kemudian bisa menjadi suudzon atau lain-lain dan kemudian berpengaruh kepada kualitas departemen,” beber Aswanto. Di sisi lain jurnal internasional untuk ilmu non-eksakta sangat sedikit sehingga persaingan sangat ketat. “Jadi ini mohon diclearkan, agar jangan ada dusta di antara kita,” pungkas Aswanto.

UI Minta Kemendikbud Jangan Turut Campur Tentukan Gelar Profesor
Universitas Indonesia (UI) meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) tidak lagi terlibat dalam menentukan gelar profesor. Sebab, UI sudah otonom sesuai PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Hal itu disampaikan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Rektor UI Ari Kuncoro lewat kuasa hukumnya, Ima Mayasari. Dalam sidang itu, UI meminta menjadi pihak terkait atas judicial review yang diajukan oleh dosennya, Sri Mardiyati, yang gagal jadi profesor karena Mendikbud tidak mengeluarkan surat keputusan.

“Menyatakan ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa seleksi, penetapan, dan pengangkatan jenjang jabatan akademik, termasuk guru besar, merupakan kewenangan sepenuhnya dari rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi tanpa ada campur tangan menteri,” demikian bunyi pendapat hukum Ari Kuncoro yang dikutip dari website MK, Kamis (11/11/2021).

Tangkisan Kemendikbud di Sidang
Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Muhammad Sofwan Effendi memberikan tangkisan sebagai berikut:

Kami punya norma layanan SLA (Service Level Agreement) di dalam SOP kami untuk penilaian lektor kepala itu maksimal 45 hari, hari kerja untuk di Dikti. Sedangkan untuk layanan penilaian profesor selama 55 hari kerja sampai sejak usulan kami terima, sampai ditetapkan angka kreditnya.

Kami merujuk pada Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Nomor 1142 Tahun 2016, tanggal 9 Mei 2016. Bahwa menyampaikan imbauan agar pengusulan kenaikan jabatan akademik minimal 2 tahun sebelum batas usia pensiun. Sedangkan edaran yang terbaru dari Dirjen Dikti Nomor 166 Tahun 2020 bahwa usulan kenaikan jabatan akademik ke lektor kepala dan profesor maksimal 1 tahun sebelum batas usia pensiun dan itu berlaku sejak Januari 2021.

Pengajuan usulan kenaikan jabatan akademik atas nama Pemohon diusulkan oleh Universitas Indonesia melalui laman pak.ristekdikti.go.id dengan Surat Rektor Universitas Indonesia Nomor S817/UN2.R/SDM.00.02/2019, tanggal 4 Oktober 2019 dengan melampirkan Berita Acara Surat Dewan Guru Besar dan Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen atas nama Pemohon.

Yang kedua, usulan kenaikan pangkat menjadi profesor yang bersangkutan diterima melalui laman PAK Kemdikbud, tanggal 4 Oktober 2019. Sedangkan beliau lahir tanggal 25 Oktober tahun 1954, sehingga akan masuk di batas usia pensiun pada tanggal 25 Oktober 2019.

Artinya, usulan masuk hanya 21 hari sebelum yang bersangkutan memasuki batas usia pensiun, yaitu pada tanggal 1 November 2019. Kalau kita merujuk pada Surat Edaran Dirjen SDID yang pertama yang berlaku di sejak 2016, maka ini tidak memenuhi imbauan Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti yang disarankan atau diimbau agar pengajuan guru besar maksimal 2 tahun sebelum batas usia pensiun karena adanya proses review dan seterusnya.

Namun demikian, kami tetap melakukan penilaian usulan atas nama Pemohon pada periode penilaian yaitu pada tanggal 22 Oktober, pada tanggal 25 Februari 2020, dan pada tanggal 26 sampai 27 Februari 2020. Dan ketiga‐tiganya tadi sudah dijelaskan, menyatakan belum menerima atau belum merekomendasikan usulan atas nama Pemohon selaku diajukan sebagai profesor.

Hubungan Agama dan Kekerasan Seksual

Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama dan ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest pernah mempopulerkan “when religion becomes evil” yang akhir-akhir ini semakin menjadi nyata. Melalui bukunya Kimball menjelaskan, agama menjadi penyebab masalah yang kerap muncul di tengah umat manusia. Sosiolog Prancis Auguste Comte juga mengatakan bahwa di era modern agama akan luntur eksistensinya. Ini terjadi ketika agama hanya menjadi agama, bukanlah “bingkisan” yang hadir di ruang hampa dan bebas dari segala bentuk dinamika di dalamnya.

“When religion becomes evil” secara tidak langsung meramalkan apa yang terjadi di era sekarang. Sebagian orang mengatakan, kini manusia kembali memasuki era-kegelapan (dark age) sebagaimana yang pernah terjadi pada era sebelum adanya nabi, ketika manusia doyan pada konflik, peperangan, penindasan, perbudakan, perusakan, dan mengesampingkan etika-moralnya sendiri.

Manifestasi dari apa yang disampaikan Kimball adalah fenomena yang baru-baru ini terjadi. Berita mengenai kasus pemerkosaan belasan santriwati pesantren di Bandung menggemparkan publik. Tindakan ini membuat masyarakat geram. Pasalnya hal ini dilakukan di lembaga pendidikan pondok pesantren dan dilakukan oleh ustaz. Akibat tindakan yang dilakukannya, para santri hamil dan mengalami trauma berat hingga gangguan mental.

Dalam kasus tersebut sebenarnya dipertanyakan bagaimana pemaknaan agamanya. Padahal pelaku adalah ustaz dan lebih tidak pantas lagi terjadi di lembaga pendidikan yang tidak seharusnya terjadi. Di manakah yang salah? Agamanya atau manusianya? Benarkah agama berperan sebagai sumber masalah, atau sumber jalan keluar? Mungkinkah terjadi pertentangan dan tindakan koruptif di tubuh agama?

Terjadi dua pemaknaan agama dalam masyarakat. Agama sendiri dinilai oleh masyarakat yang digadang-gadang memberikan solusi berbagai masalah. Namun, anggapan bahwa agama sebagai bencana bagi umat manusia ternyata sudah melabeli di abad ke-21. Menurut Kimball, agama menjadi bencana ketika para pelaku kejahatan mengatasnamakan agama. Tindakan kejahatan tergantung dari nilai sosial budaya, sistem kepercayaan agama dari suatu masyarakat.

Dalam kejahatan ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan sosial atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok dari warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan rusaknya ikatan sosial. Sosiolog Talcott Parsons percaya bahwa sistem sosial terdiri dari tindakan individu. Ia memandang kejahatan sebagai faktor disintegrasi yang dapat mempengaruhi homeostatis masyarakat.

Ini sejalan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ustaz pesantren di Bandung. Jelas pemerkosaan di Indonesia adalah bentuk Kejahatan yang melanggar hukum dan ketertiban masyarakat. Hal ini mempengaruhi secara negatif struktur sosial dan sistem dasar masyarakat dan nilai-nilai moral yang dianuti.

Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Maka tindakan pemerkosaan jelas menyalahi aturan moral dalam masyarakat.

Maraknya fenomena agama dijadikan kedok tentu menjadi hal yang patut kita teliti. Pasalnya simbol agama hingga lembaga agama tertentu menjadi kambing hitam atas tindakan bejat ini. Sebagaimana apa yang disampaikan oleh Johan Effendi bahwa bukan pada agamanya, tetapi melihat penganutnya. Karena masyarakatlah yang menjalankan dan memaknai agama. Agama seharusnya dapat mengajarkan pada manusia modern untuk mengenal batas-batas kemanusiaannya.

Fenomenologi

Kasus pemerkosaan yang marak terjadi baru-baru ini adalah sebuah bentuk fenomenologi. Artinya, manusia adalah subjek yang aktif dalam membentuk dan menafsirkan realitas dan dari individu akan memproduksi apa yang disebut realitas sosial. Jika Durkheim berbicara fakta sosial, maka fenomenologi menjelaskan bahwa individu tidak serta merta dikenai fakta sosial. Justru sebaliknya bahwa individulah yang membentuk fakta sosial.

Peter L Berger mengatakan bahwa realitas tercipta dalam pengalaman dan pemahaman inter-subjektif antarindividu secara terus menerus dalam sebuah interaksi sosial. Misalnya pada tindakan pemerkosaan akan diawali ketika pelaku berupaya mendekati korban dengan motif tertentu.

Mengingat kasus pemerkosaan yang terus meningkat, bisa dikatakan bahwa kasus ini menurut realitas objektif sudah menjadi tradisi. Komnas Perempuan mencatat ada 17.088 kasus kekerasan seksual yang terjadi selama 2016-2018. Di antara kasus kekerasan seksual itu, terdapat 8.797 kasus perkosaan atau 52 persen dari total kasus kekerasan seksual. Data ini dihimpun Komnas Perempuan dari sejumlah lembaga layanan korban kekerasan terhadap perempuan –data tersebut adalah yang tercatat. Lalu, bagaimanakah yang tidak tercatat? Artinya, secara realitas objektif pemerkosaan sudah menjadi kebiasaan umum hingga aturan dan tradisi sudah tidak dipertanyakan lagi.

Melalui trilogi realitas tindakan, pemerkosaan terbentuk dari proses internalisasi yaitu proses memasukkan suatu nilai di dalam kehidupan masyarakat yang terjadi dari komunikasi sosial. Misalkan dalam kasus di atas internalisasi terjadi ketika pelaku mengalami internalisasi melalui sosialisasi dengan pemahaman yang sekuler. Kemudian output-nya adalah pelaku melakukan pemerkosaan tersebut akibat dari internalisasi yang keliru. Setelah itu terjadi legitimasi atau pengabsahan dari tindakan yang sudah dikeluarkan yaitu tindakan pemerkosaan. Hingga dapat disimpulkan bahwa adanya realitas sosial yang terjadi adalah adanya perubahan dari trilogi realitas ini.

Pesan Moral

Analisis melalui fenomenologi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ustaz kepada santriwatinya mengindikasikan adanya beberapa faktor. Faktor terbesar adalah moralitas agama dan memahami agama yang tidak utuh. Hal ini sangat berbahaya jika masyarakat tidak waspada.

Memahami agama secara tidak utuh kerap kali menimbulkan banyak persoalan bagi kemanusiaan. Hal ini dikarenakan seseorang akan memahami agama sebagai sesuatu yang radikal dan ada pemaksaan pandangan keagamaan tertentu. Ketika cara pandang agama yang sudah dari awal keliru, maka manusia melakukan tindaknya sesuai dengan kehendak individualistik.

Masyarakat cenderung mengkaji agama dari referensi teks. Jika kita melihat Islam yang doktrin teologisnya dari pemikiran para sarjana (ulama)-nya, maka harus jelas sumber keilmuannya. Bagi masyarakat umum juga harus melihat keragaman praktik yang terjadi di kalangan umat beragama.

Agama mestinya kemudian berfungsi untuk mengontrol ambisi kekuasaan manusia dengan mengenalkan batas-batas pada manusia, bukannya justru diperalat oleh manusia demi ambisi berkuasa yang tak mengenal batas

Memang tidak dapat dipungkiri di era modern kemajuan teknologi juga berpengaruh dalam membentuk realitas sosial. Manusia modern akan terus mencari bentuk spiritual yang dianggap lebih menarik kemasannya dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Hingga terciptalah istilah “agama praktis” atau “agama instan” yang memahami keilmuan agama dengan adanya unsur kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan unsur nilai agama. Sehingga susuai dengan pendapat Berger, agama sebagai legitimasi yang mulai ke arah sekularisme.

Masyarakat juga harus teliti dalam memilih lembaga pendidikan keagamaan. Dari kasus di atas harus jelas apa pondoknya. Harus cek dulu kredibilitas lembaga pendidikan agamanya. Mulai dari pendirinya, guru, masyaikh, dan lulusan-lulusannya hingga penguatan ikatan silaturahmi antarlembaga pendidikan keagamaan. Sehingga baik lembaga pendidikan keagamaan yang sudah besar dan kecil saling bersinergi saling membantu dalam membangun umat yang lebih baik.

Yusup Nurohman mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Gunung Es Tersembunyi Kekerasan Seksual Pada Wanita di Indonesia

Kasus kekerasan seksual di Indonesia dipandang bak gunung es. Kekerasan seksual yang diketahui dan dilaporkan nampak sedikit, padahal ada banyak kasus yang tak tampak dan menguap. Terbaru, kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang menyita perhatian adalah kasus dugaan perkosaan di Pesantren Bandung. Bergulir di Pengadilan Kelas 1A Khusus Bandung sejak 11 November 2021. Sidang selanjutnya digelar pada 21 Desember mendatang.

Korbannya merupakan sejumlah santriwati, bahkan ada yang sampai melahirkan. Perkara dugaan pelecehan seksual ini sedang bergulir di Pengadilan Kelas 1A Khusus Bandung sejak 11 November 2021. Sidang selanjutnya digelar pada 21 Desember mendatang.

Publik sebelumnya juga dibuat meradang dengan kasus pemaksaan aborsi yang dilakukan Bripda Randy Bagus Hari Sasongko pada almarhumah Novia Widyasari. Ada pula kasus pemerkosaan oleh Ayah kepada balitanya di Lampung.

Kemudian kasus-kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan yang mulai terkuak seperti di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Selatan, hingga pengakuan perempuan yang ditiduri Kapolsek Parigi, Sulawesi Tengah, dengan iming-iming kebebasan sang ayah dari bui.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Khotimun Sutanti menilai fenomena gunung es kasus kekerasan seksual di Indonesia terbagi menjadi dua faktor.

Yang pertama karena para korban takut berbicara atau speak up lantaran trauma dan kekhawatiran akan pandangan alias stigma sosial, dan yang kedua mandeknya proses hukum setelah korban rampung melapor. “Menjadi culture of silence. Masyarakat yang tidak abai tapi tidak memberikan ruang nyaman untuk korban untuk berbicara. Ditambah penegakan hukum kita yang lemah,” kata Khotimun.

Masyarakat, menurutnya, masih banyak yang belum memahami dengan baik terkait definisi kekerasan seksual. Akibatnya, sejumlah orang memiliki stigma buruk terhadap korban keekrasan seksual yang kemudian mengakibatkan korban memilih diam.

Sementara berbicara terkait aspek hukum, Khotimun kemudian menjelaskan, bahwa negara wajib memberikan tiga hal seperti melindungi, memenuhi, dan menghormati sebagai bentuk penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia.Namun yang terjadi saat ini, Indonesia tidak memiliki payung hukum yang jelas perihal bagaimana penyelesaian kasus kekerasan seksual beserta aksi pasca penanganan kasus seperti pemulihan kondisi fisik maupun psikis korban.

Ia mencontohkan dalam beberapa kasus yang terjadi, aparat penegak hukum tidak mengakomodir pengalaman korban. Dalam kasus ini, marak terjadi aparat kepolisian tidak melanjutkan laporan kasus kekerasan seksual sebagai tindak pidana. Temuan itu terjadi lantaran korban tidak memiliki cukup bukti, atau bahkan tindak kekerasan seksual verbal yang tidak memiliki payung hukum pasti dan spesifik. Seperti kekerasan verbal yang bisa masuk dalam kategori penghinaan sesuai KUHP, namun jarang sekali digunakan.

“Ada juga laporan kasus kekerasan seksual secara verbal, tetapi penegak hukum menganggap tidak ada sentuhan fisik sehingga tidak dianggap pelecehan,” kata dia. Ada pula kasus kekerasan seksual siber atau online seperti pelecehan lewat video call namun aparat penegak hukum masih membutuhkan saksi. Sementara menurut Khotimatun, bukti seperti layar tangkap (screenshoot) sudah cukup sebagai tuntutan kasus yang bisa diproses hukum.

Belum lagi kemudian sejumlah aparat penegak hukum yang sampai saat ini masih belum memiliki persektif korban. Ia menilai masih terdapat aparatur penegak hukum yang mengadopsi cara pandang sebagian masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual.

Padahal wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan.

Khotimun juga menyadari, dalam hukum formal yang tertuang di KUHP, pengaturan hak perempuan sebagai korban kekerasan dan hak perempuan sebagai ‘pelaku’ atau perempuan yang berkonflik dengan hukum belum cukup memadai. Hal ini juga dijelaskan dengan tidak adanya ruangan untuk aparatur penegak hukum membicarakan permasalahan kepentingan masyarakat yang mencari keadilan. Kesulitan yang dialami aparatur penegak hukum dan lembaga penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual disebabkan oleh penafsiran terhadap substansi hukum acara pidana.

“Jadi dalam waktu dekat Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) merupakan sebuah urgensi yang harus dibahas dan disahkan dengan mengakomodir suara banyak orang ya,” ujar Khotimatun.

Terpisah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin menyebutkan kasus kekerasan seksual yang dilapokan ke Komnas Perempuan meningkat tiga kali lipat sepanjang 2021 ini. Data pengaduan ke Komnas Perempuan sebelumnya juga mengalami peningkatan drastis setiap tahunnya. Peningkatan 60 persen dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020, dan tahun ini meningkat 2-3 kali lipat atau setara dengan 5.000-an kasus.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI juga mencatat adanya kenaikan dalam laporan kasus kekerasan pada perempuan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.

Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.

Melihat temuan itu, Mariana menilai bahwa kekerasan seksual khususnya pada perempuan memang masih menjadi hal yang tak terelakkan dari dulu hingga kini. Ia menilai, sejumlah orang menganggap perbuatan kekerasan seksual menjadi hal yang wajar.Bahkan pelaku seperti suami dalam sebuah rumah tangga tidak menyadari bahwa perbuatannya tergolong sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apalagi kemudian korban yang merasa tidak memiliki kuasa akhirnya memilih bungkam.

“Kekerasan seksual itu tidak ditanggapi secara serius karena budaya kita kan menganggap masalah pribadi itu masalah sendiri dan bukan masalah hukum. Kekerasan seksual, pemerkosaan, KDRT itu kan dianggap pribadi dan seperti bukan konsumsi publik,” kata Mariana. Mariana kemudian mengungkapkan sejumlah perspektif korban selama ini yang mengadu kepada Komnas Perempuan. Mereka kebanyakan baru berani speak up setelah bertahun-tahun pulih dari traumatik yang dideritanya.

Salah satu korban yang mengadu bahkan baru mengingat kejadian perkosaan yang dialaminya setelah dua tahun. Ia mampu kembali mengingat setelah mendapat stimulus dari aktivitas hipnoterapi yang diikutinya dalam sebuah perkumpulan. “Dan ada pula memang korban kalau sudah trauma ada yang sudah melupakan peristiwa itu tanpa dia sadari. Itu adalah mekanisme pertahanan hidup seseorang begitu itu yang dia lakukan,” kata dia.

Hal-hal seperti itu menurut Mariana menjadikan kasus kekerasan seksual di Indonesia bak fenomena gunung es. Masih banyak kasus yang tidak terungkap lantaran korban merasa tidak akan mendapat dukungan. Tak sedikit, korban juga merasa kebingungan untuk mulai melapor dan mendapat panduan serta perlindungan.

Sementara Komnas Perempuan menurut Mariana masih sangat terbatas kapasitasnya untuk ikut membantu menyelesaikan seluruh aduan kasus kekerasan seksual. Mulai dari relawan yang kurang hingga pendamping psikolog, khususnya di daerah-daerah rural. “Kita harus berbenah, harus disadari bahwa kasus ini korban semakin banyak dan tanggung jawab negara selain Komnas Perempuan juga dari KemenPPPA yang terlihat disepelekan kalau di struktur negara paling belakang,” kata Mariana.”Harus ada koordinasi lintas kemeterian atau lembaga seperti Kemensos untuk pemulihan korban, pendampingan, konseling. Atau dengan Kemenkes juga yang memberikan penanganan terkait kekerasan seksual yang berakibat pada fisik,” imbuhnya. Sementara dari proses penegakan hukum, Mariana tak bisa berbohong bahwa peran dan alur hukum Indonesia terhadap kasus kekerasan seksual masih belum tegak. Padahal korban memiliki HAM yang harus dipenuhi.

Hak korban tersebut adalah meliputi hak penanganan, perlindungan dan pemulihan yang bertujuan mencegah ketidak berulangan kekerasan seksual dan dampak yang berkelanjutan terhadap korban. Negara wajib memenuhi hak-hak korban dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Mariana mendorong agar pengesahan RUU TPKS mampu mengakomodir segala ‘kecacatan’ proses hukum pada korban kekerasan seksual saat ini. Ia juga meminta agar masyarakat mulai melanggengkan budaya dalam memahami perspektif korban.

Namun demikian, Mariana juga menyoroti perubahan cara pandang masyarakat akhir-akhir ini terhadap kasus kekerasan seksual di Indonesia. Melalui sosial media, nyatanya masyarakat mulai menggaungkan dukungan untuk para korban kekerasan seksual. Dengan fenomena itu, ia berharap agar pemahaman masyarakat tentang definisi kekerasan seksual juga semakin luas. Sementara para korban yang awalnya masih memilih bungkam karena takut akan ‘penghakiman sosial’ didorong untuk mulai berani speak up.

“Mungkin ini semacam evolusi informasi dan pemahaman publik, dan juga termasuk media ya. Dan juga bahkan saya lihat dalam sidang Panja Baleg DPR RI soal draf RUU TPKS, saya melihat perspektif banyak anggota itu juga lumayan, beberapa dari pandangan lelaki juga sudah lumayan memahami, akhirnya,” ujar Mariana.

Gaji PNS Rp 3 Jutaan Per Bulan Yang Diincar Jutaan Orang

Masyarakat masih banyak yang menginginkan untuk bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik di lingkungan pemerintah kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Data Badan Kepegawaian Nasional pada 2021 ini, masih ada 3 juta orang lebih yang melamar jadi PNS. Padahal jumlah formasi untuk CPNS yang dibuka hanya untuk 1,27 juta orang.

Masyarakat masih berminat bekerja sebagai PNS karena besaran gaji dan tunjangan yang diterima.

Lantas, berapa gaji pokok PNS?
Gaji pokok PNS secara umum telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Peraturan yang telah diubah 18 kali sejak 1977 ini, memuat besaran gaji pokok setiap golongan dan masa kerja golongan (MKG).

PNS golongan 1A dengan masa kerja di bawah satu tahun akan mendapat gaji pokok sebesar Rp1,56 juta. Ini merupakan gaji pokok terendah untuk PNS.

Sementara gaji tertinggi di golongan 1D dengan masa kerja di atas 26 tahun diberikan upah sebesar Rp2,68 juta. Kemudian, golongan 2A dengan masa kerja di bawah satu tahun akan mendapat gaji pokok sebesar Rp2,02 juta.

Sementara gaji tertinggi pada golongan 2D dengan masa kerja di atas 33 tahun diberikan upah sebesar Rp3,82 juta per bulan. Selanjutnya, golongan 3A dengan masa kerja di bawah satu tahun dapat menerima upah bulanan sebesar Rp2,57 juta.

Golongan 3D sebagai golongan tertinggi dengan masa kerja di atas 32 tahun diberikan upah sebesar Rp4,79 juta per bulan. Terakhir, golongan 4A dengan masa kerja di bawah satu tahun dapat mengantongi upah bulanan sebesar Rp3,04 juta.

Sementara untuk golongan tertinggi 4D dengan masa kerja di atas 32 tahun diberikan upah sebesar Rp5,90 juta. Ini merupakan gaji pokok tertinggi yang dapat diterima PNS.

Besaran gaji pokok PNS tersebut belum termasuk dengan tunjangan yang didapat selama menjadi abdi negara. Tunjangan yang didapatkan PNS tergantung dengan kinerja, dan instansi pegawai bekerja.

Sebagai contoh, tunjangan pegawai Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 118 Tahun 2017 dan dibagi atas 17 kelas. Kelas terendah akan mendapat tunjangan kinerja sebesar Rp2,53 juta, sementara kelas tertinggi akan menerima tunjangan kinerja hingga Rp33,2 juta.

Sementara, tunjangan pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 19 Tahun 2020 menuliskan tunjangan tertinggi dipegang oleh Sekretaris Daerah dengan nilai Rp127,7 juta. Sementara CPNS mendapat tunjangan sebesar Rp3,5 juta-Rp4,8 juta.

Untuk tingkat Kabupaten/Kota, seperti Kabupaten Wonosobo mengatur tunjangan pegawai negeri sipilnya melalui Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2021. Tunjangan kinerja tertinggi didapatkan oleh Sekretaris Daerah dengan nilai Rp21,9 juta. Sementara CPNS kelas 6 mendapat tunjangan sebesar Rp2,15 juta.

Tidak sampai di situ, pemerintah memberikan sejumlah tambahan lainnya. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2021 mengatur tambahan PNS seperti paket data dan komunikasi, biaya rapat/pertemuan di luar kantor, hingga uang harian perjalanan dinas luar negeri.

Untuk pejabat eselon I dan II berhak menerima paket data dan komunikasi sebesar Rp400 ribu. Sementara eselon III dapat menerima Rp200 ribu untuk paket data. Sementara biaya rapat/pertemuan di luar kantor fullboard berkisar antara Rp1 juta-Rp2 juta rupiah tergantung provinsi masing-masing.

Untuk perjalanan dinas luar negeri ke Amerika saja, PNS golongan A dapat menerima US$659 atau setara Rp9,37 juta (kurs Rp14,226 per dolar).

Manajer Loyal Holywings Tavern Kemang Jadi Tersangka Kasus Kerumunan

Nasib Holywings Kemang, Jakarta Selatan bak jatuh tertimpa tangga seusai kasus kerumunan yang bikin heboh publik. Setelah operasional kafe dibekukan, kini Manajer Outlet Holywings Kemang menjadi tersangka. Sang manajer berinisial JAS dijerat dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dia juga dijerat Pasal 216 dan 218 KUHP karena dinilai melawan petugas.

Simak rangkuman perjalanan Holywings Kemang ditutup hingga manajer jadi tersangka sebagai berikut:

Dirazia Polisi
Kerumunan Holywings Kemang ini terungkap setelah dirazia tim gabungan Polda Metro Jaya jelang Minggu (5/9) dini hari. Holywings Kemang kedapatan penuh sesak pengunjung malam itu. “Kita cuma imbauan aja supaya merek pulang. Namanya PPKM level 3 kalau ada kerumunan kita imbau untuk pulang,” kata Kabagops Ditlantas Polda Metro Jaya, Dermawan Karosekali kepada wartawan, Minggu (5/9).

Ditutup Selama 3 Hari
Keesokan harinya, Senin (6/9), Satpol PP DKI Jakarta turun ke lokasi. Saat itu, Satpol PP hanya menjauhkan sanksi penutupan sementara selama 3 hari. “Tempat Usaha Holywings Kemang, dikenakan sanksi Penutupan Sementara 3×24 jam oleh Petugas Satpol PP DKI Jakarta Minggu (5/9) setelah ditemukan terjadi pelanggaran ketentuan PPKM level 3 pada Sabtu Malam (4/9),” demikian keterangan dari Instagram resmi Satpol PP DKI Jakarta.

Namun rupanya kerumunan Holywings ini cukup membuat gaduh. Sampai-sampai Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ikut menyoroti kerumunan di kafe Jakarta. Belum genap 1 hari, Satpol PP DKI Jakarta kembali turun ke lokasi, tepatnya pada Senin (6/9) malam. Kasatpol PP DKI Arifin yang memimpin ke lokasi menyatakan Holywings ditutup selama PPKM dan dikenai sanksi Rp 50 juta.

“Mengacu pada Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2020, maka dari itu sanksi yang dikenakan kepada Holywings ialah pembekuan sementara izin beraktivitas secara operasional, izinnya kita bekukan,” ujar Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin di lokasi, Jakarta Selatan, Senin (6/9) malam. “Kemudian dikenakan sanksi denda administratif sebesar Rp 50 juta,” imbuhnya.

Holywings 3 Kali Melanggar
Arifin mengatakan pembekuan izin operasional itu diberikan lantaran Holywings bukan sekali ini melanggar kapasitas di masa PPKM. Satpol PP DKI Jakarta mencatat Holywings Kemang setidaknya sudah 3 kali melanggar peraturan di masa PPKM Jakarta. “Kita menemukan pelanggaran terhadap aktivitas kegiatannya, di mana tempat ini ada pelanggaran terkait kapasitas, kemudian juga terkait jam operasional,” kata Arifin.

“Dan berdasarkan data yang kami miliki, tempat ini sudah yang ke-3 kali melakukan pelanggaran. Yang pertama pada bulan Februari 2021, Maret 2021, kemudian kemarin tanggal 4 September,” tambahnya. Pihak kepolisian juga turun melakukan penyelidikan. Tidak lebih dari 2 minggu, polisi kemudian menetapkan Manajer Outlet Holywings Kemang, JAS sebagai tersangka di kasus kerumunan tersebut.

“Dari hasil gelar perkara ditetapkan satu orang tersangka JAS, ini adalah Manajer Outlet Kafe Holywings Tavern Kemang, Jakarta Selatan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (17/9/2021). JA dijerat Pasal 14 UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 216 dan/atau Pasal 218 KUHP atas kasus tersebut.

“Ancamannya tertinggi satu tahun penjara,” kata Yusri di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (17/9/2021).

Meski begitu, JAS tidak ditahan polisi. Selanjutnya polisi akan memeriksa JAS pada Rabu (22/9) mendatang. “Rencananya akan dipanggil atau akan dimintai keterangan pada hari Rabu (22/9) besok. Surat panggilan kepada tersangka sudah dikirimkan,” kata Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (17/9).

Manajer Outlet Holywings Tavern Kemang, Joseph Ado, ditetapkan sebagai tersangka di kasus kerumunan. Polisi mengungkap Joseph Ado melakukan sejumlah pelanggaran terkait kerumunan tersebut. “Tersangka selaku manajer outlet Holywings telah diberikan sanksi oleh Satpol PP saat itu sebanyak 3 kali mulai bulan Januari, Maret dan September 2021,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (17/9/2021).

Yusri menambahkan Joseph Ado selaku manajemen Holywings tidak menerapkan scan barcode PeduliLindungi bagi pengunjung yang masuk ke kafe. “Kewajibannya harusnya disiapkan masing-masing kafe atau mal. Jadi setiap ada kegiatan tersebut harus tetap ada barcode QR PeduliLindungi untuk memastikan yang masuk ke dalam itu adalah orang-orang yang sudah tervaksin,” jelas Yusri.

Selanjutnya, Yusri mengungkapkan Joseph Ado tidak mematuhi peraturan dari internal manajemen PT Holywings. “Di mana pernah sudah dikeluarkan oleh PT Holywings ini memberikan imbauan kepada seluruh outlet melalui surat internal tertanggal 4 Agustus 2021. Ini yang kemudian dijadikan persangkaan,” katanya.

Selain itu, tersangka juga tidak menerapkan maksimal kapasitas pengunjung di masa PPKM Level 3 ini. “Termasuk persentase berapa yang harus datang ke sana itu melebihi,” katanya. Joseph Adi ditetapkan sebagai tersangka terkait tindak pidana Pasal 216 juncto 218 KUHP dan Pasal 14 UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dengan ancaman maksimal 1 tahun penjara.

Amerika Kembalikan 3 Artefak Candi Yang Diselundupkan dari Indonesia

Amerika Serikat mengembalikan tiga artefak yang menjadi Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) kepada pemerintah Indonesia. Serah terima benda tersebut digelar di KJRI New York pada 21 Juli 2021 yang dihadiri oleh District Attorney, Homeland Security AS serta delegasi dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tiga artefak tersebut di antaranya adalah Seated Shiva, Seated Pavarti, dan Seated Ganesha. Estimasi ketiga cagar budaya tersebut ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.

Harga taksiran paling mahal adalah Seated Ganesha berukuran 3 x 2,5 x 3,5 inci dengan harga US$ 41.176 atau sekitar Rp 597 juta. Untuk artefak Seated Pavarti ditaksir dengan harga US$32.273 atau sekitar Rp 468 juta. Sedangkan Seated Shiva seharga US$ 12.857 atau Rp 186 juta.

Laporan mengenai tiga artefak yang dikembalikan ke Indonesia oleh Amerika Serikat diterima detikcom dari siaran pers KJRI New York. Tiga obyek tersebut diberikan oleh pihak New York County District Attorney, Mr. Cyrus Vance, Jr. kepada pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Konsul Jenderal RI New York, Dr. Arifi Saiman.

3 Artefak Obyek Cagar Budaya yang Diselundupkan ke Amerika Dikembalikan ke Indonesia pada 21 Juli 2021 melalui KJRI New York. Dalam acara serah terima tersebut, Konjen RI menyampaikan terima kasih dan apresiasinya terhadap jasa New York County District Attorney Cyrus Vance, Jr, Deputy Special Agent in Charge Erik Rosenblatt, dan Homeland Security Investigations.

“Kami akan selalu mendukung upaya penyelidikan artefak-artefak lainnya yang diduga diselundupkan dari Indonesia sehingga akhirnya dapat dikembalikan kepada pemerintah Indonesia,” ungkap Dr. Arifi Saiman, dalam keterangannya.

Pengembalian ini bermula dari hasil penyelidikan dan penyidikan dari Antiquities Trafficking Unit, New York County District Attorney’s Office bersama dengan Homeland Security Amerika Serikat. Dari situ, diperoleh hasil adanya 3 artefak hasil jarahan candi yang dilakukan oleh warga negara Amerika keturunan India bernama Subhash Kapoor.

Pria yang disebut sebagai dealer seni itu juga terlibat dalam jaringan perdagangan benda antik secara ilegal. Kasus itu pun menemukan fakta lainnya yakni lebih dari 2.500 artefak diperdagangkan secara ilegal, termasuk yang berasal dari Indonesia. Nilai total benda-benda cagar budaya yang diperjualbelikan secara ilegal itu senilai US$ 143 juta.

Sejak Agustus 2020, New York County District Attorney’s Office berhasil mengembalikan 393 benda cagar budaya ke 11 negara. Di antaranya 3 artefak ke Indonesia, 12 artefak ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT), 13 artefak ke Thailand, dan 33 artefak ke Afghanistan.

Tiga artefak yang diduga cagar budaya Indonesia dikembalikan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui KJRI New York pada 21 Juli 2021. Ketiga Obyek Diduga Cagar Budaya atau ODCB diserahkan oleh New York County District Attorney yang diwakili oleh Cyrus Vance, Jr. kepada Pemerintah Indonesia. Cagar budaya yang berukuran mini itu terdiri dari Seated Shiva yang menampilkan Dewa Siwa yang dikenal sebagai dewa pelebur dan penghancur. Patungnya berukuran sebesar 6 x 4 x 8.25 inci.

Artefak kedua yakni Seated Pavati menampilkan Dewi Parwati dalam mitologi Hindu dan berukuran 5.5 x 4.5 x 7.5 inci. Parwati merupakan puteri dari raja gunung dari Himalaya bernama Himawan, dan seorang apsari bernama Mena. Parwati juga dianggap sebagai pasangan kedua dari Siwa. Artefak ketiga adalah Seated Ganesha dan dewa yang paling banyak dipuja umat Hindu. Ia memiliki gelar sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa penolak bala, serta penuh kebijaksanaan. Ukurannya 3 x 2.5 x 4.5 inci.

Tiga artefak diselundupkan oleh seorang warga negara Amerika keturunan India bernama Subhash Kapoor. Ia mendapatkannya dari jarahan candi dan didakwa terlibat dalam jaringan perdagangan ilegal benda antik. Lebih dari 2.500 artefak sejak tahun 2011 yang diperdagangkan secara ilegal didapatkan oleh Kapoor.

Benda-benda tersebut berasal dari Indonesia, Sri Lanka, India, Pakistan, Afghanistan, Kamboja, Thailand, Nepal, Myanmar, dan negara-negara lain. Nilai total benda-benda cagar budaya itu senilai US$ 143 juta. Pada 2012, surat penangkapan atas aksi Kapoor pun dikeluarkan. Pada Juli 2020, New York County District Attorney’s Office mengajukan dokumen ekstradisi untuk Kapoor. Saat ini, ia berada di penjara India dan menunggu persidangan.

Setelah ketiga artefak diterima oleh Indonesia, pihak District Attorney berharap agar bendanya dipajang di museum dan diperlihatkan kepada publik Tanah Air.