Monthly Archives: December 2010

Kuliah SBY: Inovasi Teknologi Penggerak Pembangunan Ekonomi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap inovasi teknologi mampu menjadi nakhoda dan mesin penggerak kesuksesan pembangunan ekonomi Indonesia. Inovasi teknologi, antara lain, diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia, termasuk industri kreatif, infrastruktur, serta industri strategis dan pertahanan.

Hal ini disampaikan Presiden Yudhoyono dalam kuliah tamu di Grha Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Jawa Timur, Selasa (14/12).

Kendati berjudul kuliah tamu, pesertanya lebih banyak pejabat dan politisi dari partai pendukung Presiden. Mahasiswa hanya menempati sepertiga tribune Grha ITS atau sekitar 100 orang.

Dalam kuliahnya, Yudhoyono mengajak para akademisi berinovasi untuk menaikkan daya saing Indonesia. Presiden menggunakan istilah better, faster, cheaper untuk produk yang lebih kompetitif yang perlu diciptakan dengan inovasi teknologi.

Demikian pula teknopreneurship perlu dikembangkan sedini mungkin. Yudhoyono menyebutkan 13 sektor yang akan dipacu pertumbuhannya sepanjang tahun 2011. Sektor pertanian, kelautan, dan perikanan menjadi yang pertama karena terkait ketahanan pangan. Industri dan manufaktur juga akan terus dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja dan produk yang kompetitif. Ketiga, perdagangan juga akan ditingkatkan, baik perdagangan luar negeri maupun perdagangan antarpulau.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, perguruan tinggi negeri, terutama dua institut teknologi negeri, perlu menjadi pusat-pusat keunggulan dan menjawab tantangan serta persoalan bangsa. ”Seluruh sivitas akademika perlu terus membangun budaya keilmuan, terus membangun inovasi dan teknopreneur, terus membangun kepekaan dan kepedulian, serta menjaga hubungan dengan semua pemangku,” tutur Nuh.

Kuliah umum ini disiarkan pula ke Institut Teknologi Bandung, tempat diselenggarakannya Forum Inovasi Indonesia 2010. Selain memberi kuliah umum, Yudhoyono juga membuka acara itu dan meresmikan penggunaan dua gedung di ITS, yakni GedungRobotika serta Gedung Pusat Energi dan Rekayasa.

Rasio Dosen dan Mahasiswa Di Indonesia Tak Memadai

Perguruan tinggi di Bandung berupaya menambah dosen karena rasio jumlah dosen dengan jumlah mahasiswa dinilai belum memadai. Kondisi itu disebabkan oleh persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan minat mahasiswa lebih tinggi untuk menjadi wirausaha.

Ketua Program Studi D-3 Manajemen Fakultas Bisnis dan Manajemen (FBM) Universitas Widayatama Iwan Ridwansyah di Bandung, Selasa (14/12), mengatakan, jumlah dosen di FBM 59 orang dan mahasiswa sekitar 2.000 orang, dengan rasio satu dosen untuk 34 mahasiswa.

Rasio yang dianggap ideal adalah satu dosen untuk 30 mahasiswa. Penambahan dosen memerlukan standar mutu yang tinggi. ”Rekrutmen dosen tidak bisa sembarangan. Minimal harus S-2 supaya proses belajar-mengajar bisa berkualitas,” kata Iwan.

Keharusan dosen untuk memiliki tingkat pendidikan S-2 dijelaskan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Sebagai upaya mencapai rasio dosen dan mahasiswa yang ideal, Universitas Widyatama merekrut dosen setiap semester.

”Sekitar tiga hingga enam dosen kami rekrut setiap semester, tentu dengan seleksi. Di mana pun umumnya seperti itu. Ada krisis tenaga pengajar,” katanya.

Penyebab lain adalah semakin banyak mahasiswa ingin menjadi wirausaha. ”Kalau dulu, sarjana jadi wirausaha kepepet karena tidak diterima bekerja. Sekarang, justru jadi tren,” kata Iwan.

Perguruan tinggi berangsur-angsur kekurangan tenaga pengajar seiring dengan maraknya keinginan sarjana menjadi wirusaha sejak lima tahun lalu.

Ketua Program Studi S-1 Manajemen Universitas Widyatama Wien Dyahrini mengatakan, setiap tahun, sekitar 10 persen lulusan Widyatama menjadi wirausaha. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan lima tahun lalu yang sekitar 6 persen. ”Angkanya kami upayakan terus naik. Sebelum tahun 2013, jumlahnya diharapkan sudah lebih dari 12 persen,” katanya.

Direktur Politeknik Telkom Budi Sulistyo mengatakan, perguruan tinggi bidang teknologi informasi (TI) sulit mencari dosen dengan jenjang pendidikan S-2. Hal itu disebabkan jumlah tenaga kerja bidang TI yang tersedia jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhannya.

Perguruan tinggi harus berebut sumber daya manusia bidang TI dengan dunia kerja. Belum lagi antarperguruan tinggi bersaing merekrut dosen. Lulusan S-1, bahkan masih mahasiswa tetapi punya kemampuan TI yang tinggi, sebenarnya banyak.

”Akan tetapi, tingkat pendidikan dosen harus S-2 dan itu susah dicari. Kami punya 81 dosen tetap dan sekitar 3.000 mahasiswa,” katanya. Rasio satu dosen berbanding hampir 40 mahasiswa itu dinilai belum ideal. Angka yang baik ialah satu dosen untuk 20 mahasiswa.

”Karena itu, kami terus menambah dosen. Tahun 2011, jumlah dosen akan diusahakan menjadi 90 orang,” katanya.

Kualitas Pendidikan Indonesia Masih Menjadi Masalah Utama

Akses terhadap pendidikan yang kian luas tidak serta-merta disertai dengan mutu pendidikan yang baik. Dari segi akses, menurut Indeks Pembangunan Manusia 2010, Indonesia masuk dalam peringkat 10 besar negara yang mengalami kemajuan pesat selama 40 tahun dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Ke-10 negara itu adalah Oman, China, Nepal, Indonesia, Arab Saudi, Laos, Tunisia, Korea Selatan, Aljazair, dan Maroko.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Sabtu (11/12), mengingatkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hanya menggunakan akses sebagai indikator utama keberhasilan. Dalam data IPM, rata-rata lama bersekolah di Indonesia 5,7 tahun, sementara lama bersekolah yang diharapkan 12,7 tahun.

”Kalau dilihat lama sekolah tentu pendidikan Indonesia maju. Apalagi banyak daerah yang tidak lagi hanya mematok wajib belajar sembilan tahun, tetapi sudah 12-15 tahun, seperti di Pangkal Pinang,” kata Fasli.

Namun, jika dilihat dari mutu pendidikan, Indonesia kalah jauh dibandingkan negara lain. Jika indikator mutu ikut dihitung dalam IPM, menurut Fasli, hasilnya akan variatif karena tak ada satu patokan yang pasti. Apalagi mengingat kesenjangan mutu pendidikan antardaerah.

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Country Director Beate Trankmann mengakui, data IPM tidak bisa spesifik melihat setiap indikator hingga dapat diketahui adanya kesenjangan pada akses atau mutu pendidikan dan kesehatan setiap daerah.

Yang terpenting, menurut dia, adalah bagaimana mengolah data IPM agar bisa menjadi dasar penyusunan kebijakan dan perencanaan anggaran pemerintah pusat dan daerah. ”Tantangannya, bagaimana membawa semua daerah pada tingkatan yang sama. Sama seperti pendekatan kita pada Tujuan Pembangunan Milenium,” ujarnya.

Meski hanya melihat rata-rata nasional, penulis laporan IPM, Jeni Klugman, mengingatkan, pada IPM kali ada penemuan penting bahwa beberapa tahun belakangan ini pertumbuhan ekonomi ternyata tidak otomatis meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Afganistan, Banglades, India, Iran, Nepal, dan Pakistan.

Secercah Harapan bagi Pendidikan Suku Bunggu

Fajar baru saja menyingsing ketika Ibrahim (30) dan Naomi (28) meninggalkan rumah mereka di Dusun Saluira, Desa Tampaure, Kecamatan Bambaira, Kabupaten Mamuju Utara, sekitar 300 kilometer arah timur Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat. Mereka berjalan membelah hutan, sungai, dan kebun-kebun kakao milik suku Bunggu di pegunungan Tasirana, Batu Putih, dan Pagar Mawu.

Pagi itu, akhir Oktober 2010, keduanya ditemani Rusdiana dan Dian Rachmawaty dari Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal/Informal (BPPNFI) Regional V Makassar. Sembari berjalan, sesekali Ibrahim dan Naomi berseru ala tarzan di film komedi, ”Aaaauuuuuu…., uuuuuuu…!” Teriakan ini menggema dan langsung disahuti teriakan serupa dari belahan hutan yang lain.

Ini adalah semacam kode untuk memanggil anak-anak suku Bunggu, salah satu suku terasing yang berdiam di pegunungan di sekitar Mamuju Utara.

”Sebenarnya mereka sudah tahu kalau hari ini ada jadwal belajar. Tapi, kami tetap mengingatkan, kalau-kalau ada yang lupa,” papar Ibrahim.

Pagi itu, Ibrahim dan Naomi akan menunaikan tugas mengajar anak-anak suku Bunggu di sekitar Kecamatan Bambaira. Jadwal mengajar yang sudah ditetapkan adalah hari Senin, Rabu, dan Jumat. Proses belajar yang disepakati pukul 08.00-10.00. Namun, kerap baru bubar pada pukul 11.00. Program ini diselenggarakan BPPNFI Regional V Makassar yang mewilayahi seluruh provinsi di Sulawesi. Sasarannya adalah anak usia dini atau usia prasekolah.

Suku Bunggu yang berdiam di pegunungan sekitar Kecamatan Bambaira dan pegunungan lain di Mamuju Utara adalah bagian dari suku Kaili Da’a yang ada di Sulawesi Tengah. Mereka berdiam di pegunungan Kamalisi dan Gawalise. Selama ratusan tahun, komunitas suku itu hidup di pegunungan.

Kata ”Bunggu” berarti gunung. Suku ini hidup berpindah-pindah secara berkelompok. Satu kelompok bisa terdiri dari 5-10 keluarga. Diperkirakan, masih ada sekitar 1.000 kelompok yang tersebar di wilayah pegunungan sekitar Mamuju Utara. Lokasi berdiam antara satu kelompok dan kelompok lain yang berjauhan membuat pemerintah selama ini sulit mencari model pembelajaran yang tepat untuk mereka.

Tak tersentuh

Setelah sekitar satu jam berjalan kaki, Ibrahim dan rombongan akhirnya tiba di sebuah bangunan kayu sederhana yang merupakan tempat belajar. Bangunannya berbentuk rumah panggung yang keempat sisinya separuh terbuka. Strukturnya berlantai papan. Jarak lantai dengan tanah sekitar satu meter. Tempat ini disebut Panti Belajar Sao Madamba Pura, yang berarti tempat untuk bergembira.

Saat tiba, sekitar 30 anak berusia 3-6 tahun sudah hadir ditemani orangtua masing-masing. Sebagian anak memakai baju dan celana, sebagian hanya bercelana, dan lainnya lagi hanya mengenakan baju. Satu yang sama, semua tanpa alas kaki.

Saat melihat kehadiran orang asing bersama Ibrahim dan Naomi, sebagian anak langsung menunduk. Cukup lama untuk berani mendongakkan kepala lagi. Seorang anak bahkan terusmenerus menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ada pula yang menangis ketakutan.

Harap maklum, dalam kehidupan sehari-hari, mereka hampir tidak pernah bertemu orang lain selain orangtua dan kerabat yang berada dalam kelompoknya.

Proses belajar pun dimulai. Didahului dengan bernyanyi sembari menggerakkan tubuh. Permulaan ini bukan asal dilakukan karena sembari menggerakkan anggota tubuh, anak- anak ini diajari mengenal bagian-bagian tubuh dalam bahasa Indonesia. Ini bukan perkara mudah, mengingat setiap kata atau kalimat harus diterjemahkan dalam bahasa ibu mereka, yakni bahasa Kaili.

Sebelum mengikuti pelajaran di kelompok belajar Madamba Pura, hampir semua anak ini sama sekali belum mengenal bahasa Indonesia. Banyak hal yang seharusnya sudah diketahui anak-anak seumur mereka, tetapi sama sekali masih baru bagi anak suku ini, misalnya berjabat tangan, mengucap salam, menyapa, memperkenalkan diri, dan membedakakan warna.

Tentu bukan urusan mudah mengajar anak-anak ini yang sehari-hari tumbuh dan berkembang hanya bersama orangtua, saudara, dan orang-orang yang ada dalam kelompok kecil dalam suku mereka. Setiap hari anak-anak ini hanya mengenal rumah, hutan, dan kebun. Ke mana saja orangtua mereka pergi, mereka dibawa serta. Tak heran, semua hal yang diajarkan sebisa mungkin diartikan pula dalam bahasa Kaili untuk memudahkan mereka memahami pelajaran.

Suasana belajar menampakkan situasi yang menggelikan dan menggemaskan. Kerap pula mengejutkan, misalnya ketika Naomi meminta anak yang berbaju hijau masuk ke dalam ruang belajar atau mengacungkan tangan, mereka diam. Namun, ketika Naomi menyebut Nanggamata, seluruh anak yang berbaju hijau maupun biru mengacungkan tangan atau masuk ke ruangan. Rupanya, warna biru dan warna hijau sagi Suku Bunggu punya penyebutan sama, Nanggamata.

Contoh lain ketika mereka ditanya, bagaimana rasa garam, sebagian besar masih menjawab ”paga” yang berarti asin. Pun ketika ditanya warna kopi, mereka menjawab, ”vuri” yang berarti hitam. Ketika ditunjukkan cabai, sontak mereka menjawab ”marisa”.

Soal bersalaman misalnya, banyak yang perlu diajar berulang-ulang untuk bisa melakukannya. Hari itu, seorang anak yang langsung turun tangga tanpa bersalaman, diingatkan oleh rekannya untuk menyalami Naomi dan Ibrahim. Apa yang dilakukan? Dari tempatnya berdiri, anak itu berteriak, ”Guruuuuu,” sembari mengangkat tangannya dan berharap Naomi dan Ibrahim yang menghampirinya untuk bersalaman.

Menurut Rusdiana, penanggung jawab lapangan program belajar untuk anak-anak suku Bunggu dari BPPFNI Regional V, program belajar ini lebih untuk mempersiapkan anak-anak suku terasing ini secara mental jika kelak melanjutkan pendidikan di sekolah formal. Dalam program ini, mereka diajari bahasa Indonesia dan aspek motorik, kognitif, moral, etika, sosial, dan emosional.

Terpancar semangat dan kegembiraan dari wajah mereka. Tak kalah gembira adalah oragtua mereka. Memang, saat menunggui anak-anak belajar, orangtuanya juga belajar keaksaraan. Tak hanya orangtua, nenek, paman, dan siapa pun ikut belajar.

Yatunama Simbarlangi (70), tokoh adat suku Bunggu, mengakui, selama hidupnya, ia menyaksikan sebagian besar orang suku Bunggu tak mengenal pendidikan. ”Sebenarnya jauh di lubuk hati, kami ingin seperti orang lain yang sudah maju. Hanya saja selama ini selain butuh biaya, letak sekolah sangat jauh. Makanya ketika ada kelompok belajar seperti ini, kami sangat senang,” katanya.

Bagi suku tersebut, tidak ada lagi alasan untuk bilang tidak karena sekarang tempat belajar dan guru yang mendatangi mereka.

Kepala Balai Penyelenggara Pendidikan Non Formal/Informal Regional V Makassar M Hasbi mengatakan, dengan membangun tempat pembelajaran di sekitar kediaman mereka, anak-anak suku terpencil, terutama anak usia dini, bisa memiliki rasa percaya diri untuk menapak jenjang selanjutnya.

Buku Baru: Kumpulan Cerpen Guru Kita

Judul: Jujur dan Sahabatku (Kumpulan Cerpen Karya Guru)

Penerbit: PT Penerbitan Sarana Bobo

Cetakan: Pertama, Juni 2010

Buku ”Kumpulan Cerpen” ini berisi karya-karya pemenang dalam Lomba Pengarang Cerita Anak oleh Guru tahun 2010 yang diselenggarakan oleh majalah Bobo setiap tahun. Juara pertama berjudul Jujur dan Sahabatku adalah karya Bapak Navy Nalalugina, guru SD YPS Singkole, Soroako, Sulawesi Selatan.

Ada 13 cerita pendek (cerpen) dalam buku ini, yaitu Ayub Abon, Janji Lala, Kami Rindu pada Ceritamu, Ketika Bunda adalah Guru Kelasku, Ketulusan Franklin, Kotak Kado di Hari Valentine, Laba-laba Ibal, Rahasia Bahagia adalah Memberi, Rumah di Pinggir Rel, Sekolah Pinggiran, Tahu Goreng Bang Karim, Thank You, Teteh, serta cerita pamungkas Jujur dan Sahabatku.

Tak hanya menyenangkan dan seru untuk dibaca, kumpulan cerpen ini juga mengajarkan berbagai hal positif, antara lain pantang menyerah (cerpen Ayub Abon), tanggung jawab dan kerja sama (cerpen Janji Lala), rajin belajar (Ketika Bunda adalah Guru Kelasku), serta nilai kejujuran (cerpen Jujur dan Sahabatku).

Jadi, jangan lupa membaca buku ini. Siapa tahu salah satu cerpen dalam buku ini adalah karya Bapak atau Ibu Guru di sekolahmu.

Airin Sunandar, Jakarta

Buku Baru: Al-Azhar dan Moderasi Islam

Al-Azhar merupakan salah satu perguruan tinggi tertua di dunia setelah Universitas Oxford di Inggris. Namanya menjulang tinggi di dunia karena membawa bendera moderasi Islam. Di usianya yang lebih dari satu milenium ini, pengaruhnya semakin terasa hingga di Tanah Air.

Buku Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi dan Kiblat Keulamaan karya Zuhairi Misrawi merupakan salah satu buku terlengkap tentang al-Azhar karena menyuguhkan profil keilmuan, sejarah dan jejak reformasi Islam, sejarah mahasiswa Indonesia di al-Azhar, dan perannya dalam mengembangkan moderasi Islam di dunia.

Sejak didirikan pertama kali oleh Dinasti Fatimiah pada 973 M, al-Azhar mampu menarik minat pelajar-pelajar dunia yang ingin mengenyam pendidikan di al-Azhar. Rintisan sekolah ini dimulai dari pendidikan yang berlangsung di Masjid al-Azhar. Masjid tidak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, melainkan juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Langkah pertama dimulai dengan menggelar pengajian dalam bentuk sorogan (halaqah) pada tahun 976 M. Materi utamanya tafsir Al Quran dan diskusi keagamaan.

Kemudian, pada masa Al-Aziz, pendidikan keagamaan di al-Azhar kian berkembang pesat dengan membuka beberapa materi kuliah baru. Ia adalah pemimpin yang mengubah al-Azhar dari sistem informal menjadi pendidikan formal pada 988 M. Sejak awal abad 10 M, jumlah pelajar sudah mencapai 750 orang yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Dalam perjalanannya, sistem pendidikan al-Azhar yang dikembangkan Dinasti Fatimiah ini tidak bisa menghindari masuknya para pelajar dengan berbagai latar belakang aliran. Meskipun Dinasti Fatimiah berlatar paham Syiah Ismailiah, mayoritas pelajar menganut paham Sunni. Dinasti Fatimiah tidak menerapkan sikap fanatisme mazhab, sebaliknya bersikap toleran dalam upaya mengakomodasi realitas paham Sunni.

Peradaban Sunni

Perjalanan al-Azhar pasca-Dinasti Fatimiah, mulai dari Dinasti Ayyubiyah, Dinasti Mamluk, hingga akhir Dinasti Ottoman merupakan perjalanan yang berliku-liku dan penuh intrik politik. Namun, ada catatan penting di sini; sekalipun kekuasaan silih berganti, dominasi Sunni tidak pernah pudar dan tergantikan sehingga menjadi peradaban Sunni yang kokoh.

Memasuki era modern, al-Azhar mengalami modernisasi. Menurut Kafagi (1988), ada beberapa sosok penting yang sangat berjasa dalam usaha modernisasi, reformasi, dan politik kemerdekaan. Pertama, Rifa’ah Tahtawi. Sosok ulama modern yang berjasa besar dalam modernisasi al-Azhar. Sepulang dari menempuh pendidikan di Perancis, Tahtawi mengarang buku Talkhis al-Ibriz fi Talkhis al-Bariz yang mengisahkan akan kebesaran Eropa serta nilai-nilai modernitas yang membuat ia terkesan dan menginspirasi pencerahan bagi Mesir dan al-Azhar. Kedua, nasionalis Abdullah Nadim dan revolusioner Ahmad Urabi. Selanjutnya, Muhammad Abduh, ulama reformis yang berhasil melakukan reformasi menuju al-Azhar modern.

Pengaruh al-Azhar sampai ke Nusantara satu abad sebelum kemerdekaan. Hingga sekarang masih ada Ruwaq Jawi, tempat tinggal pelajar yang datang dari penjuru Nusantara. Dalam catatan Martin Van Bruninessen (1922), orang Nusantara pertama yang datang untuk menimba ilmu di al-Azhar bernama Abdul Manan Dipomenggolono, pendiri Pondok Pesantren Tremas, kakek ulama besar Syaikh Mahfudz Termas.

Pada tahun 1925, mahasiswa Asia Tenggara menerbitkan majalah Seruan Al-Azhar. Salah satu misinya adalah turut berperan aktif membangkitkan nasionalisme dan mempersiapkan kemerdekaan RI. Di antara mahasiswa yang menonjol pada masa itu adalah Iljas Jacub, Mahmud Junus, Abdul Kahar Mudzakkir, M Rasjidi, dan Harun Nasution.

Dengan segala cara mereka melakukan usaha untuk mendukung kemerdekaan, baik lewat jalur media massa maupun diplomasi dengan negara Mesir. Tak heran ketika mencapai kemerdekaan, Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI di dunia internasional. Ini berkat andil mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di al-Azhar.

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Soekarno, Presiden RI, memiliki hubungan batin yang kuat dengan Mesir, khususnya al-Azhar. Dalam kunjungan ke Mesir pada 1960, Soekarno menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Perguruan Tinggi Al-Azhar. Di depan ulama sekolah ini, Soekarno berpidato tentang Pancasila sebagai common platform yang menyatukan perbedaan agama, suku, dan bahasa.

Moderatisme

Dalam konteks ideologi global yang saat ini dipertontonkan kubu gerakan Islam kontemporer dan gerakan Islam radikal, al-Azhar mampu menghadirkan wajahnya sebagai poros gerakan Islam moderat. Salah satu agenda utamanya adalah memperbaiki citra Islam di dunia internasional sembari membuktikan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ’alamin).

Garis-garis moderatisme yang dimaksud adalah: pertama, memastikan bahwa paham Islam moderat tak akan melanggar atau melampaui garis-garis primer (al-tsawabit). Kedua, membumikan toleransi. Ketiga, membangun dialog antar-agama.

Sayangnya, buku ini kurang mengelaborasi secara lebih detail tentang peran alumni al-Azhar dalam mengembangkan moderasi Islam di Tanah Air, khususnya peran mereka dalam dua organisasi besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selama ini, alumni Timur Tengah dianggap sebagai pihak yang mengembangkan puritanisme dan gerakan politik Islam yang mengusung formalisasi agama. Mestinya penulis buku ini dapat mengelaborasi sejauh mana peran alumni al-Azhar dalam proliferasi moderasi Islam atau adakah keterlibatan mereka dalam gerakan-gerakan radikal di Tanah Air?

Meskipun demikian, buku setebal 353 halaman ini merupakan genre buku ilmiah-sejarah yang ditulis dengan bahasa renyah dan lugas. Penulis berhasil memotret Mesir dan al-Azhar secara utuh, di samping penyuguhan alam visual foto-foto nan indah yang mengajak imajinasi pembaca serasa berwisata religi-intelektual ke Mesir dan al-Azhar.

Faiq Ihsan AnshoriPengurus The World Association for al-Azhar Graduates (WAAG) Indonesia

Jejak Perjuangan Pendidikan Pengarang Laskar Pelangi

Tokoh utama di balik Laskar Pelangi adalah Andrea Hirata. Lelaki asli Desa Linggang, Kecamatan Gantong, Belitong, ini menerbitkan novel pertamanya pada 2005. Karyanya langsung mendapat sambutan hangat dan mencatat penjualan hingga 5 juta eksemplar. ”Tapi, ada yang pernah menghitung, buku bajakannya mencapai 12 juta eksemplar,” kata Andrea.

Karya ini mengisahkan 10 anak kampung miskin yang bersekolah di SD Muhammadiyah Gantong. Mereka berjuang mengatasi keterbatasan ekonomi keluarga dan minimnya fasilitas pendidikan sekolah.

Dengan menamakan diri Laskar Pelangi, mereka bahu-membahu untuk saling menyemangati agar tetap bisa bersekolah. Meski tak semua berhasil, beberapa di antara mereka kemudian melanjutkan kuliah. Termasuk Andrea Hirata, yang dalam novel itu bernama Ikal.

Dari Belitong, Andrea hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ekonomi di Universitas Indonesia (UI). Dia kemudian mendapat beasiswa untuk studi Master of Science di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis. Perjalanannya menempuh pendidikan dari pulau kecil di Sumatera merambah Jakarta dan Eropa itu yang kemudian diceritakan dalam novel-novelnya.

Selain Laskar Pelangi, dia juga menulis Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), serta Maryamah Karpov (2008). Semua buku itu tercatat sebagai best seller. ”Bagi saya, yang penting adalah bagaimana menularkan dan mempertahankan nilai-nilai edukatif bagi masyarakat,” katanya.

Komitmen itu pula yang mendorong Andrea mau pulang kampung untuk menyelenggarakan Festival Laskar Pelangi. Dengan mengambil sebagian dari royalti penjualan bukunya, dia membangun Rumah Puisi. Rencananya, bangunan itu dijadikan tempat residensi bagi seniman untuk tinggal secara gratis sambil menulis.

Semangat itu juga dicatat pada papan nama Jalan Laskar Pelangi yang melewati rumahnya.

”Laskar Pelangi menandai jejak-jejak perjuangan pendidikan anak-anak Indonesia. Jejak itu dimulai di jalan ini. Jalan yang menjadi saksi bahwa anak-anak Indonesia bukanlah anak-anak yang mudah menyerah. ’Laskar Pelangi’ merupakan karya fenomenal yang telah merambah dunia. Penulis ’Laskar Pelangi’, Andrea Hirata, tinggal di jalan ini.”

Cerpen : Bunga Malam Kudus

Teman-teman, menjelang hari Natal hiasan berbentuk Sinterklas, pohon natal, karangan bunga, dan permen sudah terlihat di mana-mana. Ah, indahnya…, semua berwarna merah dan hijau.

Selain pohon cemara yang diberi hiasan bola-bola atau lonceng merah, ada juga pohon yang selalu dihubungkan dengan suasana Natal. Namanya pohon kastuba yang berdaun merah dan hijau.

Kastuba, tumbuhan yang paling disukai pada perayaan Natal, berasal dari Meksiko.

Kastuba di daerah aslinya punya legenda. Alkisah, ada seorang gadis Meksiko yang miskin bernama Pepita. Ia bersedih tak mempunyai apa pun untuk dipersembahkan pada misa malam Natal.

Untunglah, Pepita memiliki saudara sepupu yang baik hati, bernama Pedro. Pedro selalu

mengatakan, ”Bahkan hadiah yang paling sederhana sekali pun jika diberikan dengan cinta, akan berharga di mata-Nya.”

Pepita dan Pedro melangkah menuju kapel. Tiba-tiba Pepita berhenti di tepi jalan. Ia berlutut mengumpulkan rumput-rumput liar. Ia pun menatanya menjadi sebuah karangan rumput yang kecil.

Ia pandangi karangan rumput liar buatannya. Hati Pepita bertambah sedih karena merasa malu. ”Oh…, hadiah ini sungguh tidak berarti,” gumamnya.

Akan tetapi, kata-kata Pedro tadi selalu terngiang di telinganya.

Ketika tanaman yang ternyata adalah kastuba itu dibawa masuk ke dalam gereja, tiba-tiba saja dari karangan rumput Pepita bermekaran bunga-bunga berwarna merah menyala. Indah sekali.

Begitulah ceritanya. Semenjak saat itu, tanaman indah warna merah menyala itu dinamai Flores de noche buena. Dalam bahasa Indonesia artinya bunga-bunga Malam Kudus. Bunga ini hanya mekar sekali setahun, yaitu pada masa Natal.

Kastuba selalu menjadi hiasan Natal di setiap rumah di Meksiko. Kadang ditanam di dalam pot dan diletakkan dekat pohon terang. Akan tetapi, ada juga yang merangkai menjadi sebuah karangan bunga membentuk lingkaran, dipercantik pita berwarna emas atau perak.

Selain warna hijau dan merah, ada kastuba berwarna merah jambu, putih, krem, oranye, serta warna campuran warna krem dan merah menyala.

Tanaman ini tidak suka dengan sinar matahari terik dan tidak suka dengan cuaca yang sangat dingin.

Selain sebagai hiasan Natal yang cantik, kastuba bisa digunakan sebagai obat. Tanaman ini biasa digunakan sebagai obat infeksi kulit. Caranya, dengan melumatkan daun-daun katsuba, lalu dioleskan pada bagian kulit yang terkena infeksi.

Getah batang tanaman ini dapat digunakan pula untuk menyembuhkan luka baru.

Di Amerika, kastuba dikenal dengan nama poinsettia. Tahun 1825 kastuba diperkenalkan pertama kali oleh Joel Roberts Poinsett. Ia seorang duta besar Amerika di Meksiko.

Tradisi merah-hijau yang awalnya ada di Meksiko, menular ke seluruh Amerika Utara. Tanaman ini akhirnya diberi nama poinsettia, sesuai nama orang yang pertama kali membawanya.

Nama latinnya Euphorbia pulcherrima atau poinsettia. Ada banyak nama lain untuk tanaman ini.

– Bunga denok (Jakarta)

– Godong racun, wit racun, racunan (Jawa)

– Pohon merah, puring bengala (Sumatera)

– Kastuba, ki geulis (Jawa Barat)

– Kedapa, racunan (Bali)

– Kerstster, poinsettia (Belanda)

– Weihnachtsstern, christstern, poinsettie (Jerman)

– Poinsettia, stella di natale (Italia)

– Julestjerne (Denmark)

– Paskwa/bulaklak (Tagalog)

– Cardeal flor-do-natal, Estrela-do-natal (Portugis)

Membuat Hiasan Natal Sendiri, Yuk!

Selain kastuba, pernak-pernik natal yang selalu ada pada perayaan Natal adalah pohon natal yang biasa dari pohon cemara. Pohon cemara pun ada yang pohon asli, bisa juga pohon cemara plastik. Pohon natal dihias dengan rangkaian bunga berbentuk lingkaran.

Kalau bosan dengan hiasan natal yang ada di toko, kita bisa membuat hiasan natal sendiri. Selain mengajari kita kreatif, membuat hiasan natal juga mendapat kepuasan tersendiri. Hiasan natal kita akan lain dari yang lain dan yang pasti lebih indah.

Bahan-bahan:

• Karton (warna hijau)

• Pensil

• Gunting

• Selotip

• Stapler

• Kertas merah dan hijau

• Lem

• Piring kertas

Cara Membuat:

1. Untuk membuat pohon natal, ambillah karton. Buat garis melengkung dengan pensil secara diagonal, hingga membentuk seperempat lingkaran. Lalu gunting, seperti contoh.

2. Gulung dan pertemukan kedua ujungnya, hingga membentuk kerucut. Rekatkan dengan stapler dan selotip agar tidak mudah lepas.

3. Gunting kecil-kecil kertas emas merah dan hijau kira-kira 3-4 sentimeter. Lalu remas-remas dan gumpal-gumpalkan. Setelah itu rekatkan gumpalan kertas tadi pada kerucut, seperti contoh. Sisakan sisi kosong untuk ditempelkan pada karton tebal.

4. Untuk membuat rangkaian bunga natal, guntinglah bagian tengah piring kertas. Rekatkan sisi bekas guntingan tadi dengan selotip dan stapler. Ayo buat dekorasi dari gumpalan kertas tadi.

5. Sudah selesai belum? Kita masih harus merekatkan keduanya pada karton tebal. Kita bisa memberi bingkai untuk mempercantik hiasan natal ini. Lalu… tempelkan di pintu kamarmu atau tempat yang kau suka. Seru, kan!

Puisi Marhalim Zaini

mitos satu:

indrapura, melayu champa

yang tumbang, saat ia menyerang

dari arah laut

adalah betismu, puteri dai viet

yang tengah rekah meminum embun

dari langit champa

adalah bibirmu, mengucap-ucap

daulat rajaku, daulat tuhanku

bahwa pedang pipih (yang kelak menancap)

pada rahim pantaimu

pada ruas arus di dadamu

darahnya akan jadi sejarah

yang terus berlayar

mengaji sungai merah

mengurai marwah

maka sebagai penunggu laut

aku kenali dikau

lewat isyarat warna langit

seperti warna punggungmu

yang keperakan

berkejaran bagai kaki hujan

di permukaan gelombang

tapi di kedalaman sempadan

pada rahang panjang

ikan-ikan berkulit licin

kutemukan sebutir pasir

berwarna lumut

seperti warna matamu

yang kerap sembab

di lembab batu

didekap rindu

tapi bukankah hanya karena sisik

maka kita dapat saling bertemu

dalam sangkar emas

di kota-kota mati

dari majapahit ke vietnam

(ketakutan itu, katamu

dapat membunuh ingatan

tentang rasa cemburu

melukai keyakinan

iman para pemburu)

lalu apa yang kau tulis

di atas ranjang raja jaya

saat aku kini nakhoda buta

hendak jadi jatnaka

atau hang tuah yang setia

apakah syair cinta itu

yang menggoda malaka

untuk mencium indrapura

tapi aku orang cham

orang cham yang pelupa

bahwa di tahun seribu itu

kau menyerang dari laut

sambil berteriak

todak, todak, todak

(apa yang kau rampas

adalah bendera putih

dari sobekan kelambu

ranjang kayu masa lalu

adalah sakit hati

atas kekuasaan waktu

yang hendak kau pinang

yang hendak kau timang)

tapi bukankah berkali-kali

kita menjauh dari remang

berkali-kali pula jatuh

sebelum terbang

mitos dua:

kampung gelam, melayu singapura

telur itik di singgora

pandan terletak dilangkahi

darahnya titik di singapura

badannya terhantar di langkawi

lihatlah telapak tanganku, puan

dari pasai, garis-garis itu bersilangan

tak ada ujung yang patah, pada pangkal

ia tersadai

mungkin pinang terbelah itu,

bukan sihir di matamu, bukan pada dendam

mestinya dikutuk, tapi sebagai tun,

merantau adalah janji, seperti pantun

sampiran adalah juga isi

aku pernah datang pada maghrib,

saat suamimu raib, di hujung pasar

sebuah kampung pernah gusar, padahal

tak sampai ke ceruk aku bertamu, tak pula

ke lubuk sampaiku di hatimu

apakah ini cinta, atau gelap mata,

kadang orang tumbang di tengah dendang,

saat orang bilang maling pada pendatang,

kadang, aku bimbang pada tumbang,

saat kau telanjang sambil melenggang

alahmak, aduhai, alangkah,

bahwa murka, adakah ia lupa pada tuhan,

sebab wahai, kezaliman ini milik siapa,

jika tertangkap kita, mari selingkuh,

atau dibunuh

maka aku mati, kerismu menusuk

di hatiku, kelak kau luka jika tak berduka,

tapi suamimu raja singapura, tegak berdoa

bagai tak rela, entah kau si penabur bunga,

entah menangis entah menahan tawa

todak, todak, todak, suara siapakah

yang bergelombang itu, nelayan tak melaut

seribu tahun lalu, maka takutlah sejarah,

pada dayung patah, pada sampan terbang,

ikan-ikan yang tak pandai berenang

tapi si gladius menombak,

menyibak air birahimu, ini jantan atau betina,

pada puncak arus ikan-ikan kecil berdansa,

si tuna atau brakuda, tak penting pada siapa

ia memangsa, makan, makan, makan

lalu itukah hening, yang kau ceritakan

pada anak sungai, sehabis badai, setelah kematian

merebak di mana-mana, padahal itulah asin,

anyir darah dari nyeri, rasa sakit pulau-pulau,

itulah sepi, detak jam yang mati

hang nadim, hang nadim, hang nadim,

lalu anak-anak bangkit, orang tua yang pandai

membunuh, yang tumbuh tak mesti api, tapi sirih

merambat di tiang langit, memanjat bagai semut,

dan tengoklah, tangan tuhan siap menyambut

maka jadilah kami batang pisang,

berbaris di sepanjang tanjung, sepanjang tahun,

atau jadilah kami cumi-cumi, yang menanti janji

di akhir hari, sebilah keris akan kami warisi,

setelah jantung dan lambung kami, terburai

di paruh hiu bertulang sejati

mitos tiga:

pulau halimun, pulau laut

yang menyerang, saat tubuh datu’ semedi,

dari arah laut,

adalah ribuan ikan bergigi tajam

kau bertanya, apakah sejarah ikan

adalah sejarah perang,

laut tak pernah bertanya

kenapa tubuhnya bergelombang

beginilah ia, mereka,

percakapan dimulai dari rasa haru

memandang biru sebagai gemuruh

dari dasar hitam matamu

apakah kau berdusta,

pada raja todak, atau pada segala

yang bernama air, bahwa samudra

telah pecah,

dan berkawin dengan tanah

maka terpelantinglah aku,

ke lubuk, mungkin rawa yang dulu

kau cintai, bukan teluk yang buruk

oleh musim abu,

jerebu dari api gambut

dan tengoklah,

yang melompat dari dasar laut,

melepas hama di sekujur tubuhmu,

ini anak-anak kandungku, katamu,

tapi siapa yang mengutuk batu

hingga pulau ini tenggelam,

dan kau tangisi saban malam

padahal wahai,

yang seketika timbul ke bumi,

tumbuh dari kesetiaan adalah

sebuah daratan,

inikah harapan itu,

hujan yang seketika jatuh dari

mata langit, juga matamu,

inikah mitos

pengkhianatan itu

Pekanbaru-Yogyakarta, 2010

Marhalim Zaini lahir di Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Buku puisinya adalah Segantang Bintang Sepasang Bulan (2003) dan Langgam Negeri Puisi (2004). Kini ia tengah mengupayakan penerbitan buku puisinya yang ketiga, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu

Cerpen: Kata Hati Si Dara Manis

Dara!” langkah- langkah bergegas mengejar Dara yang berjalan menuju kelas.

Dara tersenyum melihat Penny, Manda, dan Bunga yang seakan berlomba untuk sampai lebih dulu ke tempatnya berdiri.

”Wah, kalian sedang lomba lari ya?” Dara menggoda ketiga temannya.

Akan tetapi, ketiga temannya tidak menghiraukan gurauan Dara. Mereka menarik tangan Dara agar mendekat. ”Lihat,” ujar Bunga.

”Wow….” Mulut mungil Dara membentuk bulatan. ”Keren!” Dara mengagumi cincin perak yang dipakai Penny.

”Selepas pulang sekolah aku akan beli cincin seperti punya Penny,” kata Manda.

”Aku juga,” Bunga menyahut cepat. ”Yuk, kita beli sama-sama,” ajaknya kepada Dara.

”Beli di mana?” Dara menoleh pada Penny.

”Stroberi.”

DARA terdiam mendengar jawaban Penny.

Stroberi tempat Penny membeli cincin memang toko yang menjual aneka aksesori. Pasti harganya tidak murah, Dara bergumam dalam hati.

”Gimana?” Bunga masih menunggu jawaban Dara.

”Aku tidak membawa uang,” Dara menggeleng.

”Pakai uangku saja dulu,” Manda memberi tawaran.

Dara sempat ragu.

”Ayolah,” Bunga mendesak. ”Kamu bisa mengganti besok.”

Dara belum juga memberi kepastian ketika bel masuk terdengar. ”Cepat! Upacara bendera.” Dara mencoba mengalihkan desakan teman-temannya. Ia berlari ke lapangan upacara.

Sepanjang pelajaran hari itu Dara terganggu oleh rencana pulang sekolah nanti.

Tentu saja ia ingin mempunyai cincin perak seperti milik Penny. Selama ini Dara, Penny, Bunga, dan Manda selalu mempunyai barang- barang yang sama.

Tanpa sebuah ikrar, mereka membuat geng dengan ciri menggunakan aksesori yang sama.

SUDAH memasuki bulan ketiga Dara berada satu geng dengan Penny, Bunga, dan Manda. Selama itu pula mereka mempunyai barang-barang yang sama. Tas, sepatu, kaus kaki, alat-alat tulis, diary, gelang, bando, ikat rambut, bandana, dan T-shirt.

Bagi Penny, Bunga, dan Manda mungkin tidak bermasalah membeli barang-barang seperti kepunyaan teman agar bisa tampil kompak. Akan tetapi, bagi Dara, ia mulai keteter mengikuti gaya teman-temannya.

Dara tidak mungkin terus-menerus meminta uang kepada Ibu. Ibu sudah bekerja keras sepanjang hari menjahit baju-baju pelanggan agar Dara dan adiknya bisa tetap sekolah setelah Ayah tiada.

Memakai uang tabungan? Itu sudah dilakukan Dara berkali-kali. Tanpa sepengetahuan Ibu, uang tabungan Dara sudah mulai berkurang.

Padahal, uang tabungan itu untuk keperluan sekolah Dara dan adiknya jika Ibu sedang tidak ada uang.

Akan tetapi, yang lebih mengganggu pikiran Dara, terkadang ia tidak menyukai barang-barang yang telah dibelinya. Dara harus membelinya agar bisa kompak dengan anggota geng-nya.

Sebenarnya ada barang lain yang lebih Dara sukai dibanding membeli berbagai macam aksesori. Dara lebih menyukai buku.

SELAMA ini ada beberapa buku yang ingin ia beli, tetapi tidak pernah terbeli karena Dara lebih mengedepankan kepentingan geng.

Jika tidak kompak dengan gengnya, mungkin Penny, Bunga, dan Manda tidak lagi mau berteman dengannya. Namun, jika ia mengikuti aturan gengnya, itu menyiksa dirinya.

Aku harus jujur, kata hati Dara. Aku tidak bisa berpura-pura terus. Aku harus siap menerima kemungkinan apa pun. Sekalipun itu sangat pahit, mungkin Penny, Bunga, dan Manda akan menjauhiku. Akan tetapi, aku harus jujur, kata hati Dara kembali.

Kali ini Dara senyum, ada perasaan lega dalam dirinya.

”BAIKLAH anak-anak, latihan tadi kalian selesaikan di rumah.” Suara bariton Pak Saman menggema mengusik ketenangan kelas.

”Horeee….” Kelas menjadi ribut.

Pelajaran Pak Saman adalah pelajaran terakhir pada hari itu, jadi semua anak sibuk memasukkan buku dan peralatan tulis ke dalam tas.

Dara membereskan buku-bukunya. Saat itu pandangan Dara beradu dengan Penny yang duduk di sebelah mejanya.

”Jadi?” tanyanya.

Dara hanya tersenyum. Akan tetapi, sesungguhnya ia sudah mempunyai jawaban.

Begitu Pak Saman meninggalkan kelas Penny, Bunga dan Manda mengerubunginya.

”Ayo!” ajak Bunga.

”Biar kita punya cincin yang sama,” Penny berkata.

Dara menggeleng.

Ketiga temannya heran. ”Kenapa?” tanya Manda.

”Maaf, aku tidak bisa.” Dara memandang ketiga temannya.

”Aku tidak bisa mengikuti apa yang kalian beli. Andai pun aku punya banyak uang, aku tidak ingin menjadi pengekor karena kadang aku tidak suka dengan barang- barang geng kita.”

Angin seperti berhenti bertiup.

”Maaf.” Dara melangkah meninggalkan Penny, Bunga, dan Manda yang masih berdiri mematung memandang kepergian Dara.

”DARAAA….” Tiba-tiba panggilan beramai-ramai menghentikan langkahnya yang sudah sampai di pintu gerbang sekolah.

Penny, Bunga, dan Manda berlari mengejar Dara.

”Tetapi kita tetap berteman, kan?” kata ketiga temannya sambil memandang Dara.

Dara tidak menduga akan pertanyaan itu. Dengan tersenyum lebar Dara mengangguk. ”Ya! Tentu saja.”

Angin bertiup sepoi-sepoi. Keempat sahabat itu bergandengan tangan penuh persahabatan menuju ke halte sekolah.

Pupuy Hurriyah Penulis Cerita Anak, Tinggal di Jakarta