Putusan MK Gelar Honoris Causa Harus Diikuti Dengan Nama Universitas Pemberi Gelar

Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan sejumlah catatan kepada Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim agar memperbaiki penilaian dan pemberian gelar profesor. Hal itu tertuang dalam putusan yang dimohonkan dosen Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati.

“Perihal syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi, Mahkamah berpendapat jika syarat ini tetap akan dipertahankan, tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau Kementerian sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh Kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara reguler,” demikian pertimbangan putusan MK yang dibacakan hakim MK secara bergiliran dan disiarkan dalam kanal YouTube MK, Selasa (29/3/2022).

Syarat Jurnal Internasional

Perihal syarat publikasi dalam jurnal internasional bereputasi, Mahkamah berpendapat jika syarat ini tetap akan dipertahankan, tulisan yang telah dimuat tidak perlu dilakukan review ulang oleh reviewer perguruan tinggi dan/atau kementerian sepanjang tulisan tersebut dimuat dalam jurnal bereputasi yang telah ditentukan daftarnya oleh Kementerian dan daftar tersebut diperbarui secara reguler, sehingga hal tersebut menjadi persyaratan yang sangat menentukan yang akan dinilai dengan cermat dan dituangkan dalam bentuk angka-angka kredit (KUM).

Cantumkan (HC) di Belakang Profesor Kehormatan

Selain itu, jika jabatan akademik profesor kehormatan akan dicantumkan atau digunakan, maka untuk membedakannya dengan profesor yang diraih oleh dosen tetap, kepada yang bersangkutan dalam mencantumkan jabatan akademik profesor kehormatan harus diikuti dengan nama perguruan tinggi yang memberikan jabatan akademik profesor kehormatan tersebut. Selain harus diikuti dengan nama perguruan tinggi, kata ‘kehormatan’ atau ‘honoris causa (HC)’ perlu juga ditambahkan pada gelar profesor kehormatan, sebagaimana layaknya pemakaian gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa yang ditulis sebagai Dr (HC). Dengan demikian, terdapat kesamaan pencantuman gelar doktor kehormatan dengan profesor kehormatan. Terkait dengan hal tersebut, penulisan gelar profesor kehormatan harus pula ditulis Prof (HC) diikuti nama institusi perguruan tinggi pemberi gelar dimaksud.

Prinsip Kepastian dan Keadilan
Persyaratan paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah doktor di atas dapat dikecualikan jika calon yang akan diusulkan tersebut memiliki tambahan karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi setelah memperoleh ijazah doktor. Terkait dengan persyaratan dan mekanisme pengangkatan dosen tetap dalam jenjang akademik profesor tersebut diatur dengan standar yang sama dan berlaku bagi seluruh dosen tetap di seluruh perguruan tinggi agar dapat diwujudkan prinsip kepastian dan keadilan dalam seluruh proses, sehingga mutu dosen dalam jabatan akademik dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).

Terlebih lagi dalam jabatan profesor diemban fungsi sebagai penjaga akademik dan nilai-nilai ilmiah (the guardian of academic and scientific values).

Dalam hal ini, pimpinan perguruan tinggi dengan persetujuan senat perguruan tinggi mengusulkan penetapan angka kredit ke dalam jabatan profesor atau pangkat dalam lingkup jabatan-jabatan tersebut kepada direktur jenderal. Proses ini dilakukan oleh perguruan tinggi secara berjenjang melalui program studi, fakultas, perguruan tinggi dan selanjutnya diajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi. Untuk menghindari kemungkinan adanya perbedaan penilaian antara perguruan tinggi dan kementerian, perlu diintegrasikan tim penilai antara tim penilai perguruan tinggi dan tim penilai kementerian.

Di samping untuk tetap mempertahankan kualitas dosen yang dapat diangkat sebagai guru besar atau profesor, pengintegrasian demikian juga dimaksudkan untuk menyederhanakan tahapan atau proses pengusulan. Seluruh mekanisme dan proses tersebut harus dilakukan secara transparan dan mudah diakses oleh setiap calon yang diusulkan kenaikan jenjang jabatannya. Lalu bagaimana dengan perkara Sri sendiri? MK memutuskan menolak mengadilinya karena tidak terkait konstitusionalitas, tapi sudah penerapan norma.

“Dalam kaitan ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, merujuk pada fakta-fakta tersebut maka persoalan tidak diperolehnya rekomendasi jabatan akademik profesor Pemohon tersebut merupakan persoalan implementasi atas berbagai peraturan dan kebijakan yang telah ditentukan dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma,” ucap majelis dengan suara bulat.

Leave a comment