Badruddin Emce
: Dewi Nawang Wulan
Seluruh yang engkau tulis, tengadah.
Seluruh yang tengadah, rekah.
Seluruh yang rekah, menggugah.
Perkenankan kami menjadi lebah!
Bagaimana terbang lepas
seperti makhluk paling bebas.
Berputar-putar seperti kerumunan gila belajar.
Lalu meluncur
seperti hanya akan ambil manis sarinya
menolak sepah kosongnya.
Sebelum sentuh membangkitkan,
tak perlu kiranya dituliskan.
Menyusuri jalan yang ditentukan angin
kami akan datang melupakan
rimbun pohon-pohon jauh tinggi!
Sepanjang engkau bebas dari napsu,
dengan seluruh urat daya,
pertahankan itu tengadah rekah.
Sentuhan demi sentuhan!
Nanti, yang berlagak
tak kehilangan miliknya direbut,
setelah kembali dalam sarang
bakal menemukan tubuhnya masih utuh kering.
Begitulah, setelah engkau pergi,
desa yang dulu memuja-muja kembang impianmu
Menjaga matamu dari tatapan berawan puncak Slamet,
terpaksa menyembunyikan kangennya
dalam relung-relung debur air terjun musim hujan.
Tepatnya, lelaki itu tak tega mengatakan
yang mesti dikatakan,
meski engkau tenang dalam dekapannya.
Tak leluasa melakukan yang mesti dilakukan,
meski engkau terseok di depannya.
Jika ia putra seorang pejuang.
Atau setidaknya pernah membuaimu dengan kisah
yang melingkari monumen-monumen di kotanya,
sepanjang musim ia hanya mendengung ingin.
Berputar-putar tak hinggap-hinggap.
Adakah lalu engkau rebut itu kuncup dirimu?
Kelopak-kelopak itu tak nuntut tahu,
yang terjadi barusan sebenarnya apa.
Tetapi tetap membuka,
menjaring dengung panjang
yang telah membangkitbesarkan para pejuang.
Di musim engkau kehilangan gairah,
patung-patung itu telah berdiri
dengan bambu runcing di kaki depan dan kaki belakang.
Di mata dan mulut. Di punggung dan perut.
Di sayap dan udara.
Di kata-kata dan bukan kata-kata.
Kroya, 2010
Badruddin Emce
: Ganjar Wisnu Murti
Laut mencoba menirunya!
Pagi itu, dengan ombak terjulur lunglai.
Tumpukan busa leleh.
Dengan gulung sedikit pincang
seperti habis dibrengkolang,
mengikuti ke mana engkau membawa kail.
Mengayuh sepeda di jalan pasir.
Lalu dari balik tanaman kacang
atau rimbun pisang,
mengawasi pikiranmu
tengah mencabuti akar bukit Selok
puluhan tahun mencengkeram muara Adireja.
Setelah lingsir, dengan debur yang sama,
menyusur ke barat
lubang-lubang pasir besi terus digali,
dikuras hingga tak berarti.
Terkadang di suatu Minggu sore
simpuh di teras rumah bapakmu,
seperti menunggu seseorang
yang balik dari Semarang,
kota istri dan anak-anakmu
selalu ingin menikmati rob bersamamu.
Tetapi di bawah langit selatan,
laut tak bisa sesempurna anjing itu.
Anjing yang keturunannya
dimasukkan karung dengan moncong terikat.
Lalu jika malam menuntut kegembiraan lebih,
di belakang sebuah warung
kepalanya dipukul dengan sekali pukulan.
Bukankah jika magrib terdengar,
laut segera menyisih ke tengah
yang sulit digapai,
dan hanya sedetik buih tertinggal di pantai?
Kemudian agar bisa paham,
engkau mencipta waktu.
Mengajak teman-teman berendam
di bawah purnama.
Di air yang katamu,
tiap butirnya menampung beribu peristiwa.
Lalu di sebutir yang tersisa di sebuah gelas
tergambar
betapa laut mulai mencumbu pasangannya.
Beberapa bulan kemudian
menjilati bulu anak-anaknya
yang mungil.
Mengajari berburu tikus sawah
atau kucing yang tersesat semak semangka.
Sayang sekali,
jika magrib kembali berkumandang,
laut segera menyisih.
Menjauhi dunia kata yang gemagus.
Lalu seperti para pencari anjing
kita tak jadi membaca
bagaimana laut meringkuk dalam karung
setelah berjam-jam kehausan dan tertipu.
Kroya, 2008
S Yoga
barongsai
cahaya keperakan, merah, kuning
hijau giok adalah pernak-pernik kesunyian
terbang ke atas, ke puncak cahaya
meledakkan malam yang buta
malam lampion yang bercahaya
karnaval perayaan musim tanam
malam menjulang bertabur bintang
kembang api menyembur
di kegelapan malam yang memanjang
mercon meledak di udara
tambur dimainkan, gemerencing genta
dan keras genderang yang menggema
di persimpangan jalan kau ragu
arah mana yang dituju
menari-nari di malam gemerlap
warna-warni merah api
bergantungan di udara
di sisimu seekor naga raksasa
meliukkan ekor hitamnya
dengan sisik kuning emas
penuh kenangan
dan derita yang memanjang
dari sejarah gelap yang terlupa
berlengak-lengok dalam tarian liong
dengan tubuh telanjang
ekor masa lalumu yang melumut
melingkar-lingkar di dasar angan
meliuk dan menyemburkan api
membelit tubuhmu yang mulai bersisik
Ngawi, 2010
S Yoga
obor-obor menyala berarak ke kampung
hutan, pantai, sawah, lembah dan gunung
ember, panci, sendok, piring seng
wajan, cutil, kompor, garpu, dandang
diseret berdencing dan dipukul bertalu-talu
bising dan memercikkan api masa lalu
blek blek ting tong, blek blek ting tong
berirama tak genah hingga memusingkan
membangunkan para penguasa malam
yang sembunyi di pohon-pohon waktu
bertahta di kursi megah kegelapan
yang telah mencuri malam-malamku
kelak kusumpah tujuh turunan
akan kupanggil raja kegelapan dari istana
untuk menghukummu dan membakarmu
dengan sembilan puluh sembilan cahaya
semua kegelapan telah kuterangi
dari sudut sempit, lebar, tinggi
rendah, pendek dan yang maha luas
dengan nyala obor dan doa-doa
namun tak kujumpai kau
yang menyita seluruh hidupku
Purworejo, 2010
Badruddin Emce lahir di Kroya, Cilacap, 5 Juli 1962. Di samping aktif di Tjlatjapan Poetry Forum, ia juga anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Tengah.
S Yoga lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Buku puisinya berjudul Patung Matahari (2006). Kini ia tinggal dan bekerja di Ngawi, Jawa Timur.