Kumpulan Puisi Fitra, Fitri dan Zelfina Wimra

Zelfeni Wimra

sirih dan pinang

sirih:

apa yang tidak ada pada diriku ada pada dirimu

aku punya gagang, kau punya batang

bolehkanlah gagangku memanjat batangmu

banyak cita yang ingin kujalarkan

pinang:

tanyakan dulu pada carano,

ujung jari siapa yang sudah dipacari

ujung lidah siapa yang rindu perundingan

semusim lagi, araiku sempurna jadi buah

juluklah aku

2011

Zelfeni Wimra

hulu dan hilir

orang merantau kita katakan berangkut ke hilir

perantau pulang kita sebut balik ke hulu

pengantin kawin, bayi lahir, dan orang mati

kita anggap melingkari putaran

yang berakhir di pelabuhan matahari

kita sendiri sedang apa?

berjuntai-juntai diguyur arus

beruntung ada ikan yang suka, lalu memakan kita

atau ada peternak sapi datang membawa sabit dan karung

baru boleh dikatakan nasib kita sempurna sebagai rumput

melumatkan diri ke dalam usus dan anus ternak

kalau tidak demikian,

selamanya kita di tepi sungai ini

menggigit lidah, berputih mata

orang-orang terus merantau

orang-orang terus pulang

dan anak pinus yang dulu berlindung di balik rimbun daun kita

telah besar menjulang

2011

FITRA YANTI

euthanasia

1)

ke sinilah

duduk di dekat jantungku

kita habiskan malam anggur ini dengan secawan lagu

menjelang pagi sebelum pintu ini mengutukiku

sebelum ia yang bernama waktu

menyeret dan membasuh jejakku di depan pintumu

ke sinilah

sebelum tali kepergian menjerat jantungku

tentu kau akan menancapkan sebuah paku pada kayu bendul pintumu

menggantungnya di sana

mematut-matutnya hingga kering

tiap ada kesempatan

atau malah tak pernah memperhatikannya lagi

sama sekali

ke sinilah

dengarkan cerita jantungku

mari kita hitung detak-detak lamat yang tersisa.

tekan dadaku lalu masukkan nama-nama

nama-nama yang hendak kutinggalkan

nama-nama yang menyudahi denyutku sebentar lagi

ya sebentar lagi semua pintu akan tertutup untuk suara jantungku

ke batas nisbi

ke puncak dari seluruh puisi

sekalipun berarti diam

2)

malam ini tuhan duduk di tepi gaunku dan berfirman:

“takkan sakit, hanya seperti gigitan semut rangrang,

setelah itu kau akan sampai”

2010-2011

FITRA YANTI
sesaji

perasan ini belum kering juga.

bejana abu-abu yang kugunakan sebagai penampung penuh lagi

di perasan keberapa ia akan kering? tanyaku padamu

tampung saja, jawabmu

baiklah jika begitu

terimalah isi bejana ini sebagai sajian magribku kekasih

tanpa asap kemenyan

atau pun semerbak dupa

hanya beberapa kembang rosella yang kubenamkan ke dasar bejana

terimalah sesaji cair ini kekasih

sesaji berwarna merah yang kutampung dari robekan sepi

sesaji yang menetes dari koyakan lapisan terdalam dari selaput rinduku yang tipis

2011

FITRA YANTI
untuk penjaga anggur

bisik-bisik malam menyulap orang-orang

menjelma iblis berhati lunak

di kebun-kebun anggur yang gelap

mengunyah segala yang lunak

meminum segala yang keras

ia yang kukira berhati lindap

menyimpan bau anggur di matanya yang merupa pepohonan

lalu mengerling ke kanan:

“aku tak sedang mabuk

aku tengah menjaga kebun anggur!”

bau anggur menyemaki hidungnya

matanya menghijau

bukan karena teduh dalam lindap pokok-pokok anggur

ia mabuk dengan sesuatu yang jahat

sesuatu yang datang dalam kecepatan cahaya yang hilang

2010-2011

FITRI YANI
Teluk Betung

dari pusaran kota tanjungkarang

dan keringat subuh

para perempuan di selasar pasar

kubentangkan untukmu

sebuah jalan dengan seribu tiang lampu

jalan yang mengarah ke ujung pulau

tempat kehidupan lain

mengigaukan nafas masa lampau

kutampakkan pula kepadamu

patung-patung pemikul air mata purba

gedung-gedung yang memandang lautan

serta seorang tua di ujung dermaga

yang setiap sore datang bernyanyi

nyanyiannya adalah suara samar

penduduk bandar yang menua

“kau tak perlu lagi bertanya

di mana para lelaki menyimpan tombaknya

dan mengapa anak dara

mengurung diri di balik nyala api”

sunyi membubung setinggi awan

lembab tanah makam di atas bebukitan

cahaya kuning

remang

di pintu-pintu pertokoan:

menyapamu.

(2011)

FITRI YANI
Lingkaran Drupadi

“mengapa warna merah selalu mendahului timbul dan tenggelamnya matahari…”

pada sebuah subuh aku menjadi wanita yang tak merasa yakin pada apa yang tengah kuperjuangkan. seperti tiba-tiba tersesat di sebuah lembah yang semula kuduga sebagai lembah asmara. hingga pagi itu, engkau membuatku ada sekaligus tiada.

demi anak-anak yang kelak kulahirkan, kujaga sebutir permata yang senantiasa bercahaya di dalam dada. tuanku, takdir memang tak dapat kuelakkan. namun izinkan aku sejenak saja melihat rautmu, agar karam segala dendam di meja dadu yang kauciptakan itu.

(2010-2011)

Fitra Yanti lahir di Alahanpanjang, 17 Februari 1987. Ia mahasiswi pascasarjana Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang.

Fitri Yani lahir 28 Februari 1986. Buku kumpulan puisinya adalah Dermaga Tak Bernama (2010). Ia tinggal di Bandar Lampung.

Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Limopuluah Koto, Minangkabau, Sumatera Barat. Ia bergiat di Magistra Indonesia, Padang, dan sedang merampungkan buku puisi Air Tulang Ibu.

Leave a comment