Monthly Archives: July 2008

Siswa Lab School Diliburkan Karena Sekolah Terbakar

Ledakan sepeda motor yang akan digunakan untuk uji coba produk pencegahan ledakan dalam acara presentasi peluang bisnis di gedung Teater Besar Universitas Negeri Jakarta atau UNJ, Rabu (30/7) siang, diduga sebagai penyebab kebakaran bangunan SD Negeri Percontohan serta SMP dan SMA Labschool yang berada di kawasan itu. Siswa diliburkan.

Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi sekitar pukul 11.30 itu. Namun, gedung teater besar serta 13 ruangan kelas SD Negeri Percontohan (dulu SD Labschool) dipastikan terbakar. Sementara ruang kelas SMP dan SMA yang terbakar belum dapat dipastikan jumlahnya. Api baru dapat dipadamkan sekitar pukul 14.00.

”Penyebab munculnya api sudah bisa dipastikan dari uji coba produk explo protect sepeda motor. Namun, kami masih menyelidiki kasus kebakaran ini,” kata Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Timur Komisaris Besar Hasanuddin yang dihubungi, Rabu malam.

PT K-Link Indonesia, penyelenggara acara itu, menyatakan bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. ”Secepatnya pihak perusahaan akan datang ke sini dan bertanggung jawab,” kata Deden Sudrajat, pegawai PT K-Link Indonesia, di lokasi kejadian.

Menurut Deden, sepeda motor yang meledak itu rencananya akan digunakan sebagai alat peraga pada acara presentasi peluang bisnis dari perusahaan tempat dia bekerja. Acara tersebut terbuka untuk umum.

”Produk ini (explo protect) sebenarnya berguna untuk mencegah terjadinya ledakan tangki bahan bakar,” kata Deden.

Produk tersebut sudah dimasukkan ke dalam tangki sepeda motor untuk diperagakan kepada peserta. Namun, sebelum acara peragaan dimulai, sepeda motor tersebut sudah meledak.

Ia menduga ada dua penyebab ledakan, yaitu bahan bakar dari tangki motor bocor atau volume produk explo protect yang dimasukkan ke dalam tangki sepeda motor untuk diuji coba kurang banyak.

Mantan kepala sekolah yang masih berstatus pendidik di Labschool, Arief Rachman, mengatakan, pihak pengelola gedung UNJ (mengelola SMP dan SMA) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pengelola SD Negeri Percontohan belum bisa menaksir kerugian akibat kebakaran.

Hingga pukul 16.00 masih ada 10 armada pemadam kebakaran di lokasi untuk memadamkan sisa bara. Sementara itu, hingga menjelang magrib masih banyak orangtua murid yang berdatangan ke lokasi.

Akibat kebakaran tersebut, untuk sementara waktu aktivitas belajar mengajar di sekolah itu dihentikan. Seluruh siswa SD, SMP, dan SMA diliburkan selama dua hari, Kamis dan Jumat (1/8). Aktivitas belajar mengajar akan dimulai kembali pada Senin (4/8) di lokasi yang berbeda-beda.

Sejauh ini, data yang dihimpun menunjukkan, jumlah siswa SD Negeri Percontohan mencapai 878 orang yang dibina oleh 89 guru. Data siswa dan guru SMP dan SMA belum diperoleh.

Dipindahkan sementara

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Sukesti Martono seusai rapat bersama pimpinan, guru, dan komite SDN Percontohan UNJ mengatakan, kegiatan murid SD akan dipindahkan. Rencananya, mereka dipindahkan ke SD Negeri 13, 14, 15, dan SMP Negeri 74 Rawamangun (dalam satu kawasan) dengan jarak 100- 200 meter dari gedung terbakar.

”Mereka akan belajar di tempat baru sampai batas yang tidak ditentukan. Pokoknya, sampai bangunan sekolah yang terbakar dibangun kembali,” kata Sukesti.

Sementara itu, menurut Arief Rachman, aktivitas belajar untuk SMP dan SMA akan dipindahkan sementara di Gedung UNJ. ”Selama dua bulan ini tidak ada kegiatan mahasiswa di kampus. Akiivitas belajar siswa SMP dan SMA akan dipindahkan ke Kampus UNJ. Kami akan kebut pembangunan gedung dalam waktu dua bulan ini,” kata Arief.

Saksi mata, Haryanto (33), mengatakan, saat kejadian ia bersama dua temannya, Sahroni (40) dan Asep Jaja (50), berada di lantai II Gedung Teater untuk menjaga sistem tata suara.

”Api itu terlihat dari ledakan sepeda motor. Itu terjadi sekitar pukul 11.30,” kata Haryanto.

Arief sendiri mengaku, saat itu dirinya berada tak jauh dari UNJ. Arief hanya mendengar ledakan, tetapi sesampai di lokasi api sudah membesar dan menjalar

Kebijakan Pendidikan Yang Jangka Pendek

Mengusulkan kebijakan pendidikan tanpa mendasarkan diri pada kenyataan di lapangan hanya akan menghasilkan reformasi tambal sulam. Miopi kebijakan pendidikan itulah virus yang sedang menyerang dunia pendidikan kita.

Miopi kebijakan pendidikan merupakan keadaan di mana perubahan dalam pendidikan (educational change) dilakukan hanya demi kepentingan sesaat, memenuhi keinginan jangka pendek, mengejar hasil yang bisa langsung dilihat, tetapi mengorbankan kinerja dunia pendidikan dalam jangka panjang. Kekacauan proses sertifikasi, terkatung-katungnya nasib guru yang lolos portofolio, gelegak membalikkan perbandingan SMA dan SMK menjadi 30:70, dan terakhir, buku elektronik kian menunjukkan bahwa pembuat kebijakan pendidikan tidak mampu melihat realitas pendidikan di lapangan.

Tiga miopi

Miopi pertama adalah sertifikasi guru. Tertunda-tundanya pembayaran uang pendapatan guru yang telah lolos sertifikasi menunjukkan mental kebijakan otoritarian dalam meningkatkan kinerja dan martabat guru. Otoritarianisme pendidikan terjadi saat pemerintah mempersyaratkan kesediaan guru untuk melengkapi sertifikasi secara cepat, sesuai syarat, namun ketika guru menagih hak-haknya pemerintah tidak sigap. Sebelum membayar utangnya kepada guru, pemerintah tidak memiliki klaim telah melaksanakan peningkatan kualitas pendidikan.

Miopi kedua adalah kepentingan sesaat untuk membalik rasio SMA dan SMK. ”Kebijakan pendidikan menengah diarahkan pada meningkatnya proporsi SMK dibanding SMA,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam pembukaan Lomba Keterampilan Siswa SMK Tingkat Nasional XVI di Makassar (24/6). Miopi kedua ini memiliki empat kesalahan berpikir secara fatal.

Pertama, sebuah keyakinan keliru bahwa Indonesia akan dapat bersaing di dunia global jika dapat mengubah SMA menjadi SMK. Mengubah proporsi sekolah menengah menjadi sekolah kejuruan hanya akan memosisikan daya-daya manusiawi (human resources) Indonesia pada hierarki paling bawah dalam dunia industri global. Padahal, agar dapat bersaing, yang dibutuhkan adalah akses setiap siswa pada pendidikan tinggi dan akademi teknik/politeknik yang murah dan terjangkau.

Kedua, mengubah rasio SMK menjadi lebih besar dibanding SMA kian menegaskan self-fulfilling prophecy bagi anak-anak orang miskin bahwa mobilitas sosial tidak akan dapat mereka miliki. Kebijakan ini hanya akan menunjukkan, anak-anak orang miskin dilarang mengenyam pendidikan lebih tinggi, cukup sekolah sampai SMK, lalu bekerja. Pendekatan seperti ini melanggar keadilan sosial sebab membiarkan orang miskin agar tetap miskin dan tidak pernah dapat mengubah nasib mereka.

Ketiga, hubungan antara keterampilan yang diperoleh melalui sekolah kejuruan dan terpenuhinya kebutuhan kerja yang diandaikan begitu saja merupakan pandangan naif yang tidak mendasarkan diri pada realitas lapangan. Terserapnya tenaga kerja itu tergantung ketersediaan kesempatan kerja. Yang dibutuhkan pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, bukan mengubah SMA menjadi SMK.

Keempat, UN SMK yang sebagian besar disamakan dengan SMA menunjukkan, pengambil kebijakan pendidikan tidak bisa membedakan SMA dan SMK dan apa yang menjadi kekhususan keduanya.

Miopi ketiga adalah buku elektronik. Buku elektronik itu ada di internet ketika pembuat kebijakan memasangnya di sana. Tentu, fakta ini benar. Namun, miopi terjadi ketika mereka berpikir, apa yang mereka lihat juga dilihat para guru, siswa, dan orangtua. Ide bahwa buku elektronik mudah diunduh juga perlu dipertanyakan. Apalagi, argumentasi bahwa harga buku menjadi lebih murah jika pemerintah membeli hak cipta dan menentukan harga eceran tertinggi. Semua itu retorika kosong yang tidak ada faktanya di lapangan. Buku tetap akan mahal, hanya sekolah bermutu dengan fasilitas lengkap dapat mengakses buku elektronik. Ironisnya, sekolah yang bisa mengakses buku elektronik justru tidak memakainya sebagai buku teks. Semakin lengkaplah absurditas kebijakan buku elektronik ini.

Membuka mata dan hati

Yang dibutuhkan pendidikan kita bukan program pendidikan bombastis yang menawarkan harapan semu, seperti sertifikasi, peningkatan rasio SMK-SMA, atau buku elektronik. Pemerintah perlu membuka mata atas realitas lapangan di mana siswa dan orangtua sering masih menjadi langganan pemerasan pihak-pihak sekolah dengan bermacam-macam dalih.

Pemerintah seharusnya melindungi dan membantu orang miskin yang anak-anaknya kesulitan bersekolah agar tidak terpinggirkan karena biaya pendidikan yang kian tak terjangkau. Menyediakan buku pelajaran gratis bagi sekolah yang membutuhkan akan lebih efektif dibanding pemborosan uang negara dengan membeli hak cipta yang justru tidak berguna.

Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka hati yang bervisi keadilan sosial, di mana kebijakan pendidikan seharusnya melindungi hak-hak mereka yang kurang beruntung di masyarakat, bukan membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok mapan, yang tidak menggunakan layanan pendidikan. Membuat kebijakan pendidikan bervisi keadilan sosial merupakan salah satu cara menyembuhkan miopi yang menjangkiti pendidikan nasional.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Buku Otobiografi Robert Odjahan Tambunan – Membela Demokrasi

Tepat peringatan 12 tahun tragedi penyerbuan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia atau DPP PDI, Minggu (27/7), mantan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia atau TPDI, Robert Odjahan Tambunan, meluncurkan buku otobiografi politik. Buku itu sebagian isinya mengungkapkan kembali sisi lain kasus 27 Juli 1996, yang menewaskan lima aktivis PDI.

Ketika penyerbuan kantor DPP PDI pro Megawati Soekarnoputri, yang kini bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, terjadi, RO Tambunan adalah penasihat hukum PDI dan Megawati. Sebagai Koordinator TPDI, ia membela PDI dan Megawati yang pada 1996 terus ditekan pemerintahan Orde Baru.

Kasus 27 Juli 1996, yang juga membuat 124 pendukung Megawati diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dinilai melawan kekuasaan yang sah, menjadi ”inti” dari buku Otobiografi Politik RO Tambunan: Membela Demokrasi, terbitan TPDI. Bahkan, dalam buku yang sebagian isinya adalah kompilasi pemberitaan terkait PDI dan kasus 27 Juli, memberikan 93 halaman disertai foto, pada tragedi itu, yang saat itu diduga direncanakan dan dilakukan aparat.

Pemaparan Kasus 27 Juli diawali dengan deskripsi, pada halaman 147. Pukul 07.00 pagi, 27 Juli 1996. Telepon di rumah RO Tambunan di Kebun Jeruk, Jakarta Barat berdering. ”Halo! Halo, Pak RO!” Suara perempuan terdengar dari ujung telepon. Perempuan itu, Megawati Soekarnoputri…. Ia menelepon dari rumahnya di Jalan Kebagusan, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan…. ”Kantor DPP PDI diserbu!” sergah Megawati.

”Abang tengok dulu kantor DPP untuk mengetahui dan mencegah pengambilalihan itu,” pinta Megawati. RO Tambunan pun meluncur ke kantor DPP PDI (halaman 148).

Tambunan harus menembus penjagaan aparat yang amat ketat, untuk bisa sampai ke kantor DPP PDI. Ia bertemu Letnan Kolonel Abubakar, Kepala Polres Jakarta Pusat dan Kolonel Zul Efendi, Komandan Kodim Jakarta Pusat. Ia diizinkan memasuki kantor DPP PDI, yang saat itu selesai diserbu. Terkait kondisi terakhir kantor itu, ia menyatakan, Dengan diantar Letnan Kolonel Abubakar saya melihat ruangan-ruangan yang hancur dan digenangi oleh air yang disemprot serta di sana-sini terlihat dengan jelas darah yang berceceran (halaman 149).

Tambunan juga menyebutkan, dia tidak menemukan lagi massa dan anggota Satuan Tugas (Satgas) PDI, sekitar 300 orang, di lokasi itu. Menurut Abubakar, semua orang yang ada di kantor DPP PDI saat itu diangkut ke Polda Metro Jaya dan dijadikan tersangka. Dalam perkembangannya, yang diadili 124 orang. Mereka dipidana paling lama empat bulan tiga hari, sesuai dengan masa tahanan mereka.

Megawati mengetahui

Tambunan semula memberikan judul Renungan Indonesia untuk bukunya itu. Namun, sejumlah kalangan yang terlibat dalam penulisan buku itu memilih judul Membela Demokrasi. Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Dr Selu Margaretha P, yang membedah buku itu, mengakui, inti dari buku itu terletak pada pembeberan kasus 27 Juli. Tambunan wajar memaparkannya panjang lebar sebab kasus itu sampai kini belum tuntas.

Pada halaman 173, Tambunan menuliskan, Peristiwa 27 Juli adalah anomali, karena korban penyerangannya yang ditangkap, ditahan, diadili, dan dihukum. Para penyerangnya bebas. Dalam perkembangan waktu karena pergantian kekuasaan, sebagian pelaku ditangkap, ada yang dilepas, ada yang diadlili, dan dihukum ringan. Tapi mereka yang diproses hukum hanya pada sekundan dan boneka politik. Para perencana, para aktornya, yang tangan-tangannya bersimbah darah, masih bebas hingga buku ini diterbitkan”.

Jatuhnya korban dalam peristiwa 27 Juli 1996 sebenarnya juga bisa dicegah apabila Megawati selaku Ketua Umum PDI menghendakinya. Karena, pada halaman 150, Tambunan menegaskan, Beberapa hari sebelumnya Megawati memberitahu para pimpinan Satgas, bahwa akan terjadi pengambilalihan paksa. Megawati menerima informasi itu dari seorang pejabat tinggi militer.

Pemaparan Tambunan itu sejalan dengan pengakuan mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI DKI Jakarta Roy BB Janis. Saat memberikan testimoni pada peluncuran buku itu, dia mengakui ditunjuk oleh Megawati sebagai penanggung jawab keamanan kantor DPP PDI. ”Saya dua hari sebelumnya diberi tahu Ibu Megawati, akan ada penyerbuan ke kantor. Karena itu, penjagaan ditingkatkan,” ujarnya. Dengan peringatan itu, dia selalu berjaga-jaga di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, hingga tanggal 27 Juli 1996 dini hari. Ia juga sempat berbincang-bincang dengan sejumlah anggota Brigade Mobil (Brimob), yang kala itu berjaga-jaga di sekitar Cikini. Ia meninggalkan kantor DPP PDI sekitar pukul 05.00.

”Saya pulang karena rasanya tidak mungkin ada pengambilalihan paksa pada pagi itu. Selain sudah pagi, masyarakat sudah beraktivitas, dan jalanan di depan kantor DPP PDI sangat ramai. Jadi, dalam pemikiran saya, tak mungkin ada penyerbuan itu,” tutur mantan Ketua Fraksi PDI-P DPR itu. Akan tetapi, baru tiba di rumah, Roy mengakui ditelepon Megawati yang memberitahukan kantor DPP PDI diserbu massa. ”Saya langsung kembali ke kantor DPP PDI,” kata dia lagi.

Menurut Roy, sebenarnya sebagai Ketua Umum PDI, Megawati bisa menghindari jatuhnya korban dalam peristiwa 27 Juli itu apabila memerintahkan satgas dan massa meninggalkan lokasi itu. Karena, tidak mungkin mereka menghadapi ”serbuan” aparat. Akan tetapi, Megawati ternyata lebih menitikberatkan pilihan politik daripada pilihan kemanusiaan.

Buku Membangun Demokrasi juga menjadi tempat ungkapan kekecewaan Tambunan kepada Megawati. Pada halaman 172, ia menyatakan, Megawati tak sungguh-sungguh menegakkan kebenaran dan keadilan dalam peristiwa 27 Juli. Cukuplah orang sipil yang diadili dalam kasus itu. Bahkan, Megawati berusaha memberikan uang kepada Kelompok 124, korban serbuan ke kantor DPP PDI yang diadili, agar mereka tidak terus-menerus menuntut kelompok ABRI untuk diadili.

Roy Janis melalui komentarnya pada halaman 374 buku itu juga menuliskan, Mengenai penyelesaian kasus 27 Juli yang sempat dibuka lagi di DPR pada 2003, tetapi kemudian hilang begitu saja sampai sekarang, disebabkan juga karena sikap Mega sendiri yang tidak mempunyai untuk menyelesaikan kasus ini. Salah satu contohnya, Mega memilih gubernur yang terlibat langsung kasus 27 Juli. Mega sudah mengampuni pelaku….

Roy Janis ”menunjuk” Sutiyoso, yang pada saat kasus 27 Juli terjadi, menjabat Panglima Kodam Jaya. Tahun 2002, Megawati merestui Sutiyoso menjadi calon gubernur DKI Jakarta untuk yang kedua kalinya. ”Saat itu saya sempat bertemu dengan Pak Sutjipto (Sekjen PDI-P). Saya diminta menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta, mendampingi Sutiyoso. Rekomendasi DPP PDI-P sudah ada. Tetapi, saya tidak mau,” ungkap Roy.

Tambunan juga menuliskan di halaman 163 bukunya, dia tahun 2002 ditelepon Sutiyoso dan diajak bertemu. Dalam pertemuan di kantor Gubernur DKI Jakarta, RO Tambunan diminta mendukung pencalonan kembali Sutiyoso. Tambunan tak memberikan jawaban. Namun, di surat kabar, Sutiyoso membantah telah bertemu Tambunan.

Dalam buku setebal 396 halaman itu, Tambunan juga menyebutkan sejumlah nama yang diduga terlibat kasus 27 Juli, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Sudi Silalahi, yang proses hukumnya belum tuntas. Ia memang melontarkan sangkaan, yang diyakininya sebagai fakta dan sejarah. Tinggal kini menunggu jawaban dari mereka yang disebutkan itu melalui buku sehingga ada obyektivitas sejarah bagi generasi berikut.

Pelajaran Sastra Tidak Bergengsi dan Tidak Mendukung Life Style

Pelajaran Sastra Melayu di sekolah dianggap kurang bergengsi dibanding mata pelajaran lain, seperti Matematika dan Sains. Ditambah lagi dengan guru terjebak pada pengajaran sastra yang menekankan aspek kognitif, semisal apakah tema, bentuk, nada, dan gaya bahasa suatu karya.

”Mestinya guru lebih kreatif dalam mengajar sehingga sastra menjadi pelajaran yang menarik bagi siswa,” kata Dayang Faridah binti Abdu Hamid, pengajar di Brunei Darussalam, dalam seminar ASEAN Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di sekolah yang berlangsung di Jakarta, Senin (28/7). Acara yang digelar Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) ini sebagai salah satu upaya untuk memajukan sastra di kawasan Asia Tenggara dan dihadiri peserta dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura.

Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, siswa sekarang ini merasa asing dengan karya sastra di luar genre sastra remaja. Namun, hal ini sekaligus peluang untuk menumbuhkan kegairahan bersastra dengan sesuatu yang khas.

”Ini awal yang bagus dan bisa ditingkatkan untuk kelak menjadi sastrawan yang bukan sekadar mengungkap fenomena kehidupan, tetapi juga melahirkan kata- kata yang punya pengertian yang dalam, berkarakter, dan khas,” kata Dendy Sugono.

Setya Yuwana Sudikan, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mengatakan, pembelajaran sebaik apa pun tanpa memasukkan nilai kemanusiaan, dengan sendirinya akan mengalami degradasi makna yang luar biasa. Belajar sastra menjadi jembatan untuk memahami manusia dan kemanusiaan.

Anak Indonesia Lebih Banyak Menghabiskan Waktu Menonton Televisi Daripada Membaca Karya Sastra

Sinetron remaja yang ditayangkan televisi sudah banyak menyihir anak-anak sekolah.

Akibatnya, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar kaca dibanding membaca buku.

“Terlebih sekarang, sinetron banyak mengungkap kehidupan di lingkungan sekolah. Meski ceritanya kurang menarik tetapi anak-anak suka saja menonton,” tutur Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono di sela seminar Asean Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di Sekolah, Senin kemarin di Jakarta.

Salah satu pelajaran yang banyak terkena dampaknya terhadap menjamurnya sinetron remaja ini adalah pelajaran sastra.

Menurut Dendy, anak-anak sekarang enggan untuk membaca buku cerita dan karya sastra.

Padahal membaca karya sastra ini tak sekadar menambah pengetahuan tetapi juga melatih anak-anak lebih terampil berbahasa dan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis.

Kemampuan sastra lanjut Dendy, sesungguhnya ada pada semua orang. Hanya saja apakah kemampuan sastra itu diasah, dikembangkan dan dilatih atau tidak. Tanpa semua itu, tentu kemampuan sastra seseorang tidak akan muncul.

Biaya Pengganti Sampul Plastik Buku Sekolah

Selain menjual buku pelajaran di luar buku paket pelajaran bantuan dari pemerintah, sebagian sekolah telah menyewakan buku paket itu kepada setiap muridnya. Biaya sewa Rp1.000 per buku per tahun di luar ongkos pemeliharaan buku yang ditetapkan Rp 3.000 untuk seluruh buku paket tersebut.

Sejumlah orangtua mengatakan, penyewaan buku pelajaran dilakukan pihak perpustakaan sekolah, menyusul adanya larangan penjualan buku pelajaran di luar buku paket bantuan pemerintah. Orangtua terpaksa menyewa buku paket pelajaran itu karena mereka tidak ada pilihan lain lagi untuk kelangsungan belajar anaknya.

“Katanya buku paket itu gratis. Kok setiap siswa harus bayar biaya sewa lagi? Kalau begitu Dinas Dikdas hanya omong kosong soal buku paket gratis,” kata salah satu orangtua murid kelas 8 (II SMP) SMP Negeri 216, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (28/7). Orangtua lainnya di sekolah ini juga mengatakan, mereka memiliki bukti berupa kwitansi pembayaran buku-buku tersebut.

Orangtua dari anak kelas II SMP ini mengatakan, anaknya membutuhkan 12 buku mata pelajaran. Biaya yang dikeluarkan Rp 15.000 untuk sewa 12 mata pelajaran dan biaya pemeliharaan buku.”Kalau satu anak Rp 15.000, berarti dengan 500 anak sekolah sudah mendapat Rp 7.500.000,” ujar salah satu orangtua dari kelas 9 atau III SMP di sekolah itu.

Kepala Sekolah SMP Negeri 216 Salemba, Jakarta Pusat Tawar Daulay yang dihubungi lewat telepon Senin malam membenarkan, pihak perpustakaan telah membebani setiap murid yang meminjam buku pelajaran.

“Engga ada yang namanya penyewaan buku. Ada semacam salah pengertian dari petugas perpustakaan dengan orangtua murid. Biaya itu bukan untuk penyewaan buku, tetapi biaya penggantian sampul buku yang terbuat dari bahan plastik,” kata Tawar. Menurut dia, setiap buku paket pelajaran diberi sampul plastik karena khawatir akan rusak.

Tawar mengatakan, pihaknya telah menyuruh petugas perpustakaan untuk menghentikan memungut sejumlah uang kepada para murid. “Saya sudah menyuruh petugas perpustakaan untuk mengembalikan uang yang sudah terlanjur diambil dari para murid,” tambah Tawar.

Namun setelah dikonfirmasi balik lagi kepada orangtua murid, mereka mengakui belum menerima penggantian biaya sewa dari pihak perpustakaan.

Mengasah Imajinasi Dan Kemampuan Menulis Anak

Tiba-tiba, dari langit terpancar cahaya yang sangat mencekam berwarna hitam keunguan. Irezer langsung menghindar, tetapi Ilfard ternyata kalah cepat. Badannya langsung lenyap ditelan pancaran cahaya tersebut, termasuk puluhan ribu pasukan perang yang berhasil dihimpunnya….

Paragraf di atas adalah sepenggal kisah yang termuat dalam novel berjudul Petualangan Arkha. Novel tersebut menceritakan perjuangan sekelompok pembasmi kejahatan melawan para Sevil jahat di negeri Xirania.

Kisah bertema superhero itu ditulis oleh Fauzi Maulana Hakim, pelajar kelas I sebuah sekolah menengah pertama di Bandung, Jawa Barat. Penulis cilik yang mengidolakan JK Rowling dan Christopher Paolini ini mengaku tidak memiliki tujuan khusus saat menuliskan karyanya tersebut.

”Aku senang ceritaku sudah jadi buku. Kan, aku jadi dapat uang,” terangnya lugu.

Fauzi, yang mulai menulis cerita itu saat masih duduk di kelas IV sekolah dasar, memberi sentuhan baru dalam dunia tulis-menulis anak di negeri ini. Novel perdananya yang diterbitkan Dar!Mizan di atas sangat bernuansa fantasi, dengan tokoh-tokoh fiksi bernama Uhon, Vanhoel, Zepyhr, atau Irezer.

Pengaruh cerita Eragon kegemaran si pengarang terlihat dalam jalan cerita yang disuguhkan. Kelincahan Fauzi berimajinasi dituangkan dalam deskripsi yang sederhana tetapi menarik, yang mampu membuat pembaca kadang larut membayangkan usaha Uhon dan kawan-kawan memberantas kejahatan.

Fauzi adalah satu dari sekian banyak penulis anak yang mulai menapakkan jejak di kancah perbukuan Indonesia. Bocah kelahiran 13 tahun lalu ini termasuk generasi penulis anak setelah era Abdurahman Faiz, Sri Izzati, Qurrota Aini, Putri Salsa, dan beberapa pengarang cilik lain yang sudah terlebih dahulu menapaki bentara penerbitan buku Tanah Air. Sebagian besar dari mereka memulai perjalanan sebagai penulis cilik di usia 7-8 tahun, ketika kemampuan baca tulis telah dikuasai cukup baik.

Penulis anak kini telah menjadi bagian cukup penting dari industri penerbitan di Tanah Air. Abdurahman Faiz, misalnya, sebelum karyanya terbit menjadi buku, puisi-puisi penyair cilik berbakat ini telah melanglang buana di internet dan dibaca banyak khalayak. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Untuk Bunda Dan Dunia terbit pada Februari tahun 2004.

Satu bulan sebelumnya, novel karya penulis cilik lain, Sri Izzati, yang berjudul Kado Untuk Ummi telah lebih dulu beredar. Kala itu, kedua penulis ini sama-sama baru berusia 8 tahun. Langkah Faiz dan Izzati kemudian menginspirasi penulis anak lain untuk mengaktualisasikan bakat-bakat terpendam mereka dalam bentuk buku.

Menulis untuk berbagi

”Dengan menulis, saya bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Kan, kalau orang menyatakan cinta tetapi enggak berani ngomong, maka lewat tulisan juga,” demikian Sri Izzati dengan lugu mengibaratkan tulisan sebagai penyampai perasaan. Menurut gadis kelahiran 13 tahun lalu ini, tulisan adalah media berbagi yang paling tepat.

Izzati yang mengidolai pengarang buku anak asing Jacqueline Wilson, mulai suka menulis semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Novel anak-anak pertama yang dibuatnya tahun 2003 diberi judul Powerful Girls, mengisahkan empat perempuan perkasa pembela kebenaran. Namun, karya perdana ini hanya bisa dinikmati terbatas karena hanya beredar di kalangan keluarga dan teman-teman. Kado Untuk Ummi adalah novelnya yang kedua dan dipublikasikan secara luas. Novel ini juga mengantarnya meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai penulis novel termuda di Indonesia.

Seperti halnya Izzati yang meraih rekor Muri, Aini adalah sosok gadis cilik yang juga menekuni dunia tulis-menulis anak di Indonesia. Gadis kelahiran Maret 1997 ini membukukan karya perdananya di tahun 2004 ketika masih duduk di kelas I sekolah dasar.

Antologi cerpennya yang berjudul Nasi Untuk Kakek membuat dia meraih penghargaan Muri sebagai Penulis Antologi Cerpen Termuda Usia Tujuh Tahun. Hingga saat ini, Aini telah menghasilkan empat karya novel dan satu kumpulan tulisan bersama.

Aini, yang menyukai cerita- cerita karya Enid Blyton, suka mencurahkan perasaannya lewat tulisan. ”Enaknya nulis tuh, karena bisa kayak curhat gitu deh,” katanya polos. Kemampuannya menulis ia jadikan sarana untuk menginspirasi dan menghibur orang lain.

Tujuan Aini menjadi inspirator bagi orang lain tersebut tampaknya cukup berhasil. Paling tidak itu yang dirasakan Andi Nurul Azizah (10). Gadis yang duduk di kelas IV sekolah dasar ini mengaku terinspirasi dan termotivasi oleh tulisan-tulisan para penulis anak.

”Aku ingin bisa menulis dan membuat buku seperti mereka,” katanya. Andi yang mengoleksi buku-buku karya Izzati, Abdurahman Faiz, Bella, dan Putri Salsa ini sudah mulai mengumpulkan karya-karya puisinya yang banyak bertemakan bumi atau guru. ”Aku sangat senang dengan puisinya Faiz,” tambahnya.

Potensi penulis

Ingin tersampaikannya pesan oleh Izzati, sumber inspirasi dan hiburan buat orang lain dari Aini, maupun kepolosan Fauzi yang mendapat uang tambahan dari penjualan buku adalah beberapa alasan yang menjadikan anak-anak kreatif ini bersemangat dalam menulis. Apa pun itu, talenta dan potensi mereka dalam mengembangkan imajinasi dan mewujudkannya dalam tulisan butuh apresiasi tersendiri. Selain dari orangtua, apresiasi itu juga datang dari penerbit buku.

Bisa dibilang, kelompok penerbit yang sejak awal peduli terhadap keberadaan penulis anak adalah Mizan Publika, salah satu pemain besar di dunia penerbitan buku asal Bandung. Melalui salah satu kelompok usahanya, Mizan yang lahir tahun 1983 memiliki divisi khusus untuk menerbitkan buku anak dan remaja, yaitu Dar!Mizan. Semenjak tahun 2003, Dar!Mizan mulai melirik peluang untuk menerbitkan buku anak yang juga hasil karya anak-anak. Hasilnya adalah seri Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) yang menjadi seri khusus buku-buku Dar!Mizan oleh penulis anak, khususnya yang berusia di bawah 12 tahun.

Minat Mizan dalam menerbitkan buku karya anak sebenarnya diawali oleh pemikiran sederhana, yaitu kemungkinan adanya buku anak yang penulisnya juga anak-anak. Selama ini, buku anak yang berkitar di Indonesia terbatas pada cerita anak yang ditulis oleh orang dewasa, baik dari luar maupun dalam negeri. Belum ada penerbit yang mengakomodasi tulisan para penulis cilik, baik dalam ragam cerita, puisi, maupun esai. Padahal, potensi besar para penulis anak sangat sayang untuk dilewatkan. Maka, penerbitan karya penulis anak diniatkan sebagai wadah untuk menampung potensi tersebut.

Menurut Kepala Promosi dan Komunikasi Dar!Mizan, Fan Fan F Darmawan, talenta anak Indonesia dalam menulis cukup besar dan seharusnya dimunculkan ke permukaan. Kemampuan mereka menulis juga bisa teruji dari tanggapan sesama anak- anak.

”Kami berpikir apakah anak- anak akan peduli ketika sebuah buku ditulis oleh sesama anak kecil. Apakah mereka akan membaca buku tersebut,” terangnya. Ketika penerbitan pertama seri KKPK di akhir tahun 2003 dan awal 2004, Fan Fan mengaku terus-menerus mengomunikasikan peristiwa ini kepada publik. ”Kami ingin memancing agar anak-anak Indonesia lainnya mau bergabung dengan penulis anak lain yang sudah ada,” tambahnya.

Menurut Fan Fan, jika banyak anak senang menulis dan menjadi penulis binaan Mizan, penerbit ini akan mempunyai cadangan penulis di masa mendatang. ”Misinya adalah, kami ingin menciptakan penulis-penulis yang profesional sejak usia muda,” jelasnya.

Selain itu, mereka juga ingin menunjukkan kalau anak Indonesia bisa berkarya dalam tulis- menulis. ”Kami ingin Indonesia disebut-sebut dalam literer dunia melalui fenomena para penulis anak ini,” urai Fan Fan.

Dalam mengakomodasi para penulis cilik, selain menerbitkan buku mereka, peran lain penerbit adalah memberi semacam asistensi atau pengarahan kepada mereka. Diskusi yang dilakukan antara penulis dan penerbit tidak untuk mengubah tema dan gaya bertutur, melainkan hanya anjuran mengenai teknis penulisan.

Menurut Fan Fan, gaya penulisan oleh anak-anak berbeda dengan penulis dewasa. Pandangan terhadap dunia yang linear atau apa adanya adalah ciri khas anak. Oleh sebab itu, penyuntingan terhadap karya mereka sangat dibatasi.

Suasana kondusif

Upaya penerbit dalam mengakomodasi karya-karya penulis anak memang patut dipuji. Usaha serius untuk menangani para penulis masa depan ini sangat dihargai. Karena, meski kemampuan penulis cilik masih terbatas dan harus banyak diasah, potensi besar mereka membutuhkan pengembangan dan arahan yang tepat.

Selain penerbit sebagai pihak luar, tak disangkal, orangtualah yang memegang peranan besar dalam tumbuh kembang para penulis. Sejak awal, dukungan keluarga, khususnya orangtua, berperan paling besar dalam perjalanan karier anak. Lingkungan yang mendukung dan fasilitas yang tersedia adalah suasana yang memengaruhi proses kreatif anak.

Seperti diakui Helvy Tiana Rosa, ibu dari Abdurahman Faiz, hubungan kondusif antara anak dan orangtua sengaja diciptakan untuk mendukung anak menyukai dunia baca tulis.

”Menjadi orangtua yang mendukung dengan menyediakan fasilitas, juga membuat anak suka membaca dan menulis dengan cara menjadikan kegiatan itu seperti bermain,” jelas Helvy tentang upayanya mendorong Faiz menyukai buku dan menulis.

Meski perannya sebagai ibu yang bekerja di luar rumah menyisakan tak banyak waktu untuk anak, salah satu perempuan tokoh sastra di Indonesia ini selalu memberikan kualitas pertemuan terbaik untuk Faiz.

”Ketika pulang kantor, meski capai, saya tetap akan meladeni pertanyaan anak saya dan menanyakan kegiatannya,” tambahnya.

Meski demikian, Helvy menyatakan bahwa pemberian fasilitas untuk anak menulis tidak melulu harus menyediakan komputer. ”Sewaktu kami belum punya komputer, Faiz tetap mau menulis dengan tangan,” katanya. Artinya, talenta anak menulis sesungguhnya tidak membutuhkan sarana mahal yang mungkin sulit dibeli sebagian orangtua, seperti komputer. Fasilitas sederhana dengan alat tulis biasa pun mampu menyalurkan bakat tersebut. Yang paling penting, dukungan dan contoh yang baik dari orangtua akan membuat anak leluasa memunculkan potensi mereka.

Sebuah Puisi Pengiring Kepergian Slamet Rijadi

Tanggal 4 November

Jam 21 setempat

Overste Slamet Rijadi telah mangkat

Terkabullah kehendaknya

Oleh Tuhan Yang Maha Esa

Ia ingin mati muda

Semoga Tuhan

menerima arwahnya

Sebagai umat

Yang telah berjasa

Amin

Korano Nicolash LMS

Ya, itulah laporan kematian dalam bentuk puisi yang dibuat Mayor Abdullah, dokter yang direkrut Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur atau TTIT Kolonel Alex Kawilarang untuk mengikuti operasi militer di wilayah Maluku Selatan.

Mayor Abdullah saat itu bertugas di atas Kapal Motor (KM) Waibalong yang berfungsi sebagai kapal rumah sakit bagi pasukan Indonesia yang tertembak di palagan Maluku Selatan dalam rangka menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Ada dua versi yang mengisahkan secara detail tentang tertembak dan jalannya penyelamatan Komandan Komando Pasukan Maluku Selatan Letnan Kolonel Slamet Rijadi. Yang pertama, sesuai buku Mengenang Ignatius Slamet Rijadi, disebutkan bahwa Slamet Rijadi minta agar Kapten Klees tidak melakukan tembakan balasan dari kendaraan lapis baja yang mereka tumpangi saat mendekati Benteng Victoria, Ambon, bersama dua panser lainnya. Perintah itu keluar karena Slamet Rijadi khawatir pasukan yang menembak dari Benteng Victoria adalah pasukan Republik yang mengira pasukan di dalam kendaraan lapis baja itu adalah pasukan RMS.

Guna memastikan hal itu, Komandan Komando Pasukan Maluku Selatan yang menggunakan sandi Operasi Senopati II itu turun dari panser yang ditumpanginya. Saat itu serangan dari arah Benteng Victoria sempat terhenti sejenak.

Setelah itu hanya terdengar satu peluru yang ditembakkan. Satu tembakan itu langsung merobohkan Letkol Slamet Rijadi. Melihat hal tersebut, Kapten Klees memerintahkan pasukan lapis baja melakukan serangan balasan sambil melakukan manuver mendekati Benteng Victoria. Sementara itu, Ajudan Komandan Komando Pasukan Maluku Selatan Letnan I Soendjoto menarik komandannya ke tempat terlindung ke tepi jalan.

Saat itu Slamet Rijadi masih sempat berbisik kepada Soendjoto, sang ajudan. ”Ndjot, sikilku kena. Kok ora kroso, ya …, tapi ora biso diobahke. (Ndjot, kakiku kena. Kok tidak terasa ya …, tapi tidak bisa digerakkan.)”

Sang ajudan kemudian menerobos desingan peluru membawa komandannya ke Batumerah hingga ke Pelabuhan Tulehu untuk mencari kole-kole agar dapat mencapai kapal rumah sakit, KM Waibalong. Di sana, keduanya disambut dr Abdullah dan dr Soejoto.

Versi lainnya, sesuai catatan Letnan Soehadi, salah satu staf pribadi Slamet Rijadi, agak berbeda. Karena menurut catatannya, yang mengamankan Letkol Slamet Rijadi setelah tertembak itu justru Kapten Klees. Dia langsung turun dari pansernya setelah melihat Slamet Rijadi jatuh tertembak, untuk menaikkannya kembali ke kendaraan.

Dari situ Kapten Klees melarikan pansernya ke Batumerah sambil memerintahkan dua panser lainnya meneruskan serangan terhadap musuh di Benteng Victoria. Dari sana, Pak Met— begitu panggilan prajuritnya kepada Slamet Rijadi—langsung di- bawa ke Tulehu. Kapten Klees menggunakan sampan milik rakyat mengantar Slamet Rijadi ke KM Waibalong.

Sewaktu panser tiba di Batumerah, Selardi, Sekretaris Slamet Rijadi, datang tergopoh-gopoh sambil memengangi tangan komandannya. ”Kados pundi, Pak Met? (Bagaimana keadaannya, Pak Met?)”

Sulardi yang terakhir berpangkat brigadir jenderal dan memegang jabatan Inspektur Jenderal Hankam, usianya dua tahun lebih tua dari Slamet Rijadi. Kalau berdua, mereka berbicara selalu menggunakan bahasa Jawa halus.

Pukul 21.15 waktu setempat, Sabtu, 4 November 1950, Slamet Rijadi mengembuskan napas penghabisan pada usia 24 tahun lebih enam bulan. Dia meninggal di atas meja operasi ruang darurat KM Waibalong, tempat di mana sahabat karibnya, Slamet Soediarto, juga tutup usia satu setengah bulan sebelumnya.

Slamet Soediarto tertembak pada 28 September di bibir Pantai Hitu ketika pintu LCM pendaratannya tanpa sengaja terbuka. Slamet Rijadi sendiri tertembak 4 November di depan Benteng Victoria, Ambon, begitu turun dari kendaraan lapis baja. Keduanya meninggal di atas meja operasi KM Waibalong.

Itulah sebagian isi dari salah satu bab buku biografi Ing. Slamet Rijadi, dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS. Buku setebal 278 halaman itu ditulis oleh wartawan senior Julius Pour yang sudah menuliskan sejumlah biografi dan karya nonfiksi.

Kehadiran biografi Slamet Rijadi ini tentu akan memperkaya dan memperjelas sejumlah detail peristiwa, tidak hanya seputar perjuangan Slamet Rijadi, tetapi juga ada beberapa hal lainnya. Seperti pengaruh ideologi yang sempat mengakibatkan saling serang antara unsur-unsur bersenjata yang kemudian kita kenal dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau yang kemudian mengubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia, memasuki era reformasi.

Kalaupun ada kekurangan, mungkin hanya sekitar teknis percetakan saja. Seperti beberapa kata yang masih salah cetak atau salah penggal. Tetapi, hal itu tidak akan terlalu mengganggu jalannya cerita Slamet Rijadi berikut kehidupan sekitarnya untuk dimengerti pembaca. Itu sebabnya buku ini tidak hanya perlu, tetapi juga akan berguna bagi mereka yang ingin mengetahui detail-detail cikal bakal ABRI atau TNI itu.

Acara Bedah Buku Papua Irian Barat Berakhir Rusuh

Bedah buku karya G Kesselbrenner berjudul Irian Barat: Wilayah Tak Terpisahkan dari Indonesia di Toko Buku Gramedia, Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, Sabtu (5/6) malam, berakhir rusuh setelah sekitar 50 mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Komite Aksi Mahasiswa Papua atau KAMP Yogyakarta membubarkan acara itu. Para mahasiswa itu merampas dan kemudian membakar satu kardus buku yang sedianya akan dibagikan kepada para peserta acara tersebut.

Sebelum membubarkan acara bedah buku itu, sekitar 10 mahasiswa asal Papua tampak duduk-duduk di luar Toko Buku (TB) Gramedia. Mereka menunggu puluhan mahasiswa lainnya yang belum datang.

Menurut rencana, saat acara itu berlangsung, mereka akan menggelar aksi damai. Namun, setelah rombongan mahasiswa berdatangan dari arah selatan, keadaan menjadi tak terkendali. Massa mahasiswa itu berusaha masuk ke ruang diskusi di Lantai IV.

Kepala TB Gramedia Sudirman, Yogyakarta, Anton Wahyu mengatakan, pihaknya tidak mengalami kerugian berarti akibat peristiwa tersebut. “Hanya beberapa peralatan sound system dan sejumlah kursi yang mengalami kerusakan, namun kami tetap menyayangkan aksi tersebut,” kata Anton.

Kepala Kepolisian Sektor Gondokusuman Ajun Komisaris Widyatmoko menyatakan, pihaknya tidak mau gegabah dalam bertindak, khususnya terhadap para mahasiswa asal Papua yang melakukan protes tersebut.

Dikatakan, bagi petugas keamanan saat itu, yang paling penting adalah menjaga agar peristiwa tersebut tidak meluas dan suasana Yogyakarta yang aman tetap terjaga.

Sementara itu, Kepala Kepolisian Kota Besar Yogyakarta Ajun Komisaris Besar Condro Kirono yang dihubungi secara terpisah mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti kasus tersebut jika nanti terbukti ada unsur tindak pidananya.

Naik dan merusak

Acara bedah buku karangan Kesselbrenner asal Rusia itu sedianya akan menghadirkan tiga pembicara, yaitu Direktur Irian Jaya Crisis Center (IJCC) Jemmy Demianus Ijie, dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Dr Budiawan, dan editor buku tersebut, Koesalah Subagyo Toer. Namun, Jemmy Demianus Ijie sendiri tidak hadir.

Begitu masuk ke ruang diskusi, para mahasiswa itu langsung menginterupsi dan membubarkan acara tersebut dengan mengobrak-abrik perlengkapan panitia, kursi, dan peralatan pengeras suara. Mereka berteriak-teriak mencari Jemmy Demianus.

Setelah merusak peralatan sound system dan kursi, para mahasiswa itu kemudian merampas satu kardus berisi buku karya G Kesselbrenner yang sedianya akan dibagikan kepada seluruh peserta acara bedah buku itu.

Mereka kemudian membawa turun buku tersebut dan membakarnya di halaman TB Gramedia sambil menyampaikan pernyataan sikap. Sebelumnya, salah seorang pemrotes juga merampas dan membanting kamera milik salah seorang wartawan yang meliput acara tersebut.

Para peserta diskusi, terlebih perempuan yang membawa anak mereka, ketakutan menyaksikan tindakan para mahasiswa asal Papua itu. Beberapa anak kecil menangis saat digandeng ibunya menyelamatkan diri keluar ruangan. Moderator Angger Jati Wijaya dan para pembicara diskusi langsung menyelamatkan diri melalui pintu samping ruangan tempat acara bedah buku berlangsung.

Persoalan politik baru

Dalam orasinya, KAMP Yogyakarta menyatakan, salah satu panitia bedah buku, yakni IJCC, sedang menumpuk persoalan politik baru bagi potensi konflik di Papua. Selain itu, mereka menganggap isi buku tersebut tidak sesuai dengan dialektika sejarah rakyat Papua, yang justru menimbulkan penafsiran salah atas sejarah Papua dan atas penderitaan rakyat Papua selama ini.

Oleh karena itu, para mahasiswa tersebut menyatakan menolak penerbitan, pengedaran, dan penjualan buku Irian Barat: Wilayah Tak Terpisahkan dari Indonesia karena tidak sesuai dengan fakta sejarah integrasi Papua Barat.

Buku tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1950-an dalam bahasa Rusia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) tahun 1962. Terakhir, Teplok Press menerbitkan buku tersebut pada Desember 2003.

Profesor Wu dan Obsesinya Akan Bahasa Indonesia

Upaya untuk belajar bahasa China telah menjamur di Indonesia, seiring dengan perbaikan hubungan kedua negara dan perekonomian China yang maju pesat. Bahasa China diajarkan mulai dari sekolah internasional hingga kursus-kursus yang diselenggarakan di rumah toko atau ruko. Sebaliknya, pengajaran bahasa Indonesia di China sudah dimulai puluhan tahun lalu.

Salah satu pelopornya adalah Profesor Wu Wenxia, pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing yang pensiun pada tahun lalu. Wu adalah salah satu siswa angkatan pertama yang belajar bahasa Indonesia pada tahun 1960.

Banyak orang bertanya mengapa Wu memilih mempelajari bahasa Indonesia. ”Sebenarnya bukan dari diri sendiri, tetapi perintah partai. Saat itu saya baru lulus sekolah menengah dan ditunjuk memenuhi kebutuhan negara, mempelajari bahasa Indonesia,” katanya.

Di ruang tamu apartemennya yang terletak di Beijing bagian utara, tak jauh dari Kompleks Stadion Olimpiade, dia mengenang saat awal perjalanan dan obsesinya terhadap bahasa Indonesia.

”Ketika itu 10 siswa di kelas bahasa Indonesia tidak tahu- menahu tentang apa dan bagaimana gerangan bahasa Indonesia,” katanya. Wu berbicara dalam bahasa Indonesia fasih, lengkap dengan ungkapan khas Jakarta, seperti ”deh” , ”sih”, dan ”makasih”.

Dosen pertamanya adalah seorang Indonesia keturunan China yang tinggal di Sumatera Utara. Dosen itu dipanggil ke China untuk mengajar kelas bahasa Indonesia di Akademi Dinas Luar Negeri yang berafiliasi dengan Kementerian Luar Negeri China. Sang dosen hanya menggunakan kertas-kertas coretan sebagai bahan mengajar karena tak ada buku pegangan.

”Dia yang memperkenalkan kami dengan Indonesia. Katanya, Indonesia terkenal dengan nama ’negeri ribuan pulau’. Kami mendapat pengetahuan sedikit demi sedikit tentang bahasa dan negeri Indonesia,” ujarnya.

Wu melanjutkan ceritanya. Ketika itu mereka kerap belajar berkelompok. ”Setiap habis makan malam, kami aktif latihan percakapan bahasa Indonesia,” katanya.

Selain kelas bahasa Indonesia, di akademi itu ada pula kelas lain yang mempelajari bahasa Inggris, Perancis, Thailand, dan bahasa negeri lainnya. Sekarang total ada 43 jurusan bahasa asing di universitas tersebut.

”Zaman itu serba susah, sering tiada listrik. Kalau sudah begitu, kami belajar di bawah lampu jalanan. Pada musim dingin, saya harus menahan angin yang menusuk tulang,” ujarnya bersemangat.

Belajar bahasa Indonesia tak semudah yang dia bayangkan. Wu harus mati-matian belajar melafalkan huruf ”r” yang bagi kebanyakan orang China sulit dilafalkan dengan tepat. ”Setelah berlatih selama satu bulan, baru saya bisa melafalkan huruf ’r’ dengan tepat,” ujarnya.

Setelah dua tahun mempelajari bahasa Indonesia di Akademi Dinas Luar Negeri, ia melanjutkan ke Akademi Bahasa-bahasa Asing Beijing yang kelak menjadi Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing (UBAB). Wu adalah dosen pertama dan sering menjadi satu-satunya pengajar di Jurusan Bahasa Indonesia UBAB. Sejak 1965 sampai Juni 2007, ia mengajar di almamaternya.

Tak ada pengganti

Seringkali dia menjadi pengajar tunggal di jurusan Bahasa Indonesia. Sejak tahun 1986 hingga pensiun, selama 20 tahun lebih, Wu mengajar sendirian sebab rekan pengajarnya pensiun atau meninggal, sedangkan para dosen muda silih berganti meninggalkan kampus. Mereka ”tergoda” tempat kerja yang menjanjikan, yang hasilnya lebih baik dibandingkan dengan menjadi dosen.

Apalagi setelah China membuka hubungan dagang langsung pada 1986 dan dipulihkannya kembali hubungan diplomatik China-Indonesia pada tahun 1990, tenaga pemuda China yang fasih berbahasa Indonesia sangat diperlukan. Wu bahkan pernah ditawari berbagai instansi atau perusahaan besar dengan iming-iming gaji lebih tinggi dibanding penghasilan sebagai dosen.

Tawaran itu dia tolak. Alasan Wu, meninggalkan kampus berarti ia merugikan para siswa. Mereka tak hanya akan seperti ”anak ayam kehilangan induk”, bahkan tak tertutup kemungkinan jurusan Bahasa Indonesia dihapuskan karena tak ada pengajarnya.

Dalam masa sulit itu, Wu mendapat bantuan dari beberapa orang, termasuk suaminya, Lu Chunlin, serta pensiunan ahli bahasa Indonesia di penerbit Pemerintah China, Mudiro dan istrinya, Desinar. Keterbatasan jumlah pengajar mengakibatkan jurusan Bahasa Indonesia hanya menerima siswa setiap empat tahun sekali. Jadi, setelah satu angkatan lulus, baru menerima murid baru.

Wu juga dikenal sebagai dosen yang mengayomi murid. Hubungan antara siswa dan guru tak sebatas di ruang kelas, tetapi sampai ke ”ruang hati”. Dia siap menerima keluhan apa pun dari para murid, bahkan sebagian mereka mendapatkan baju hasil jahitan Wu.

”Pernah ada orangtua murid yang datang dari desa, jauh dari Beijing. Dia tidak menemukan anaknya di asrama karena siswa itu sedang di rumah saya. Saya sedang mencukur rambutnya… ha.. ha…,” cerita Wu.

Kerajinan Indonesia

Di ruang tamu Wu terpajang barang-barang kerajinan dari daerah-daerah di Indonesia, selain berbagai cendera mata dari para muridnya. Wu sempat tinggal di Indonesia selama dua tahun, menemani suaminya sebagai Atase Pertahanan Pertama Kedutaan Besar China pada 1990-an.

Setelah pensiun, ia giat berolahraga di samping mengumpulkan suiseki dari berbagai tempat. Wu memutuskan pensiun setelah ada pengajar penerusnya. Muridnya, Wang Feiyu (26), bersedia memegang tongkat estafet pengajaran bahasa Indonesia di UBAB. Masih ada lagi pengajar lain, yaitu seorang warga negara Indonesia, Eddy Witanto (35).

Pensiun juga tak membuat Wu ”putus hubungan” dengan Indonesia. Dia setia mengikuti perkembangan Indonesia lewat internet. ”Bahasa Indonesia sudah menjadi profesi dan obsesi saya. Dalam sepekan, dua-tiga kali saya membaca surat kabar Indonesia lewat internet,” katanya.

Selama ini, almamaternya telah mewisuda lebih dari 130 orang. Jumlah ini akan bertambah 24 orang pada tahun depan. Selama delapan tahun (1966-1974), jurusan Bahasa Indonesia tak menerima siswa karena terjadi revolusi besar kebudayaan di China.

Tentang para muridnya yang telah bekerja di berbagai bidang, mulai dari perdagangan, diplomatik, sampai pariwisata, diakui memberinya kebanggaan dan ada kepuasan tersendiri.

”Mereka ikut membuat prestasi dan sumbangan dalam memperkenalkan Indonesia di China. Dan sebaliknya, memperkenalkan China di Indonesia,” kata Wu, ibu dua putra dan nenek seorang cucu ini.