Monthly Archives: August 2010

27 Persen Dokter Di Indonesia Tidak Lulus Uji Kompetensi

Rata-rata 27 persen dokter tidak lulus dalam ujian kompetensi dokter Indonesia. Sebanyak 27.000 dokter mengikuti ujian itu dan 1.370 dokter harus mengulang ujian.

”Itu hasil mengevaluasi dari 12 kali ujian kompetensi dokter Indonesia (UKDI) sejak dilaksanakan pertama kali pada 2007. Ujian ke-13 diselenggarakan Agustus ini, tetapi belum keluar hasilnya,” ujar Ketua Kolegium Dokter Indonesia Irawan Yusuf dalam jumpa pers yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kamis (26/8).

Temu media itu sendiri diselenggarakan terkait peristiwa sejumlah dokter berdemonstrasi di Dewan Perwakilan Rakyat, beberapa waktu lalu. Para dokter yang bergabung dalam Forum Dokter Muda Indonesia menuntut agar kebijakan UKDI dihapuskan.

Irawan mengatakan, dokter diberi kesempatan sebanyak-banyaknya untuk mengulang sampai lulus. ”Di Jepang lebih keras lagi. Dokter hanya diberi kesempatan tiga kali mengulang, setelah itu mereka tidak dapat ikut ujian lagi. Itu berarti tidak boleh praktik,” ujarnya.

Kualitas bervariasi

Irawan mengatakan, ketidaklulusan itu mencerminkan, antara lain, bervariasinya kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia. Terdapat 70 fakultas kedokteran dengan 5.000 lulusan setiap tahun. Sebagian fakultas kedokteran juga masih baru. Uji kompetensi itu sekaligus sebagai upaya standardisasi dan perbaikan kualitas pendidikan kedokteran. Hasil evaluasi ujian disampaikan kepada fakultas kedokteran sebagai upaya pembinaan.

Ketua Umum IDI Prijo Sidipratomo mengatakan, agar para dokter muda tidak menunggu lama, ujian akan dilaksanakan lebih sering. Selama ini ujian dilaksanakan setahun empat kali. Selain itu, tengah dijajaki agar fakultas kedokteran yang telah memenuhi syarat dapat menjadi penyelenggara ujian, sekalipun aturan dan soal tetap dari kolegium.

UKDI tetap dilaksanakan

Prijo menambahkan, UKDI merupakan amanat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sertifikat kompetensi menjadi salah satu syarat dalam proses mendapat surat tanda registrasi.

Dokter yang akan berpraktik atau mengajar wajib memiliki surat tanda registrasi (STR). Sertifikat kompetensi dikeluarkan oleh Kolegium Dokter Indonesia setelah dokter lulus UKDI.

Irawan mengatakan, uji kompetensi untuk menilai sejauh mana kompetensi seorang dokter sesuai dengan standar kompetensi yang ada. Uji kompetensi dirasakan perlu lantaran profesi kedokteran menyangkut keselamatan jiwa manusia.

”Ujian ini bagian dari upaya perlindungan terhadap pasien, tidak untuk mematikan karier. Uji kompetensi berlaku bagi dokter Indonesia dan dokter asing yang praktik di Indonesia,” ungkapnya

Arti Kata Sumbang Sebenarnya Dalam Bahasa Indonesia

Kelompok band indie seperti Bottlesmoker dari Bandung yang meraih Kusala Musik Independen Asia Pasifik 2010 di Manila, Filipina, boleh dibilang sebagai kawanan musik bernada sumbang. Bahkan, band beraliran serupa asal Bali menamakan diri Parau, yang juga berarti sumbang. Sebelumnya dalam musik populer ada penyanyi berjuluk Doel Sumbang dan Iwan Fals—plesetan dari false dalam bahasa Inggris.

Tesaurus bahasa Indonesia, karya Eko Endarmoko (2006) maupun garapan Pusat Bahasa (2009), mengentri kata sumbang dalam dua kumpulan arti. Yang pertama terkait bunyi, nada atau suara tak selaras: ’cemplang, janggal, miring, someng, garau, parau, pecah, sember, serak’. Jika didengarkan, suara itu terasa tak nyaman di kuping. Pada entri ini sumbang juga dipadankan dengan ’keliru, salah, sesat, haram’. Namun, kesumbangan para pemusik atau penyanyi tersebut tidak terletak pada disonansi suara mereka, melainkan pada sifatnya yang melawan terhadap kemapanan permusikan di Tanah Air yang cenderung seragam menuju pasar.

Alhasil, arti kata sumbang bersifat negatif sehingga kesumbangan dianggap sebagai cacat sosial dalam masyarakat kita pada umumnya. Di daerah Aceh Tengah, misalnya, ada empat sumang—bahasa Gayo untuk sumbang—yang secara adat harus dihindari warga setempat: sumang penengonen (melihat sesuatu tidak pada tempatnya), sumang percerakan (pembicaraan yang tak wajar menurut norma), sumang pelangkahen (berjalan tanpa muhrim), dan sumang kenunulen (duduk di suatu tempat yang menimbulkan kecurigaan). Ihwal ini saya dengar dari Riana Repina, guru Madrasah Aliyah Negeri Rukoh, Banda Aceh, dalam final Lomba Penulisan Sejarah Wilayah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010.

Dulu perbedaan pendapat, kritik, atau ketidaksetujuan sering dipandang sebagai nada sumbang, pelantunnya dicap pembangkang dan, karena itu, harus dibungkam atas nama harmoni. Kini, karena kita sekarang memilih demokrasi, maka ”semiring” apa pun nada suara (publik) tetap patut didengar. Siapa tahu, meski terasa sember, suara itu bisa memberi sumbangan yang justru menjaga keseimbangan. Dengan kata lain, kesumbangan perlu dilihat bukan sebagai ’kejanggalan, kemiringan’, apalagi ’sesat’ atau ’haram’, tetapi varian (pendapat misalnya) yang merupakan bagian dari keragaman.

Pada titik ini sangat relevan menyimak gugus padanan kata sumbang yang kedua: bantu, tolong, sokong sebagai verba; atau bantuan, pertolongan, sokongan sebagai nomina. Tak perlu berpanjang kalam, sumbang dalam makna filantropik ini tumbuh subur dalam masyarakat kita. Tradisi gotong royong di berbagai sudut Nusantara pada dasarnya berintikan unsur sumbang(an): tidak harus berupa uang atau materi, tetapi juga tenaga, saran, dan empati.

Setelah 65 tahun merdeka, tetapi rasa keindonesiaan ditengarai malah terkoyak, rasanya kita perlu memaknai kembali nilai sumbang dalam berbagai kearifan kolektif kita. Seperti prinsip dalihan na tolu (Batak), sambatan (Jawa), ngopin (Bali), mapalus (Minahasa), pela gandong (Ambon), dan lain-lain perlu direvitalisasi sejalan dengan kebutuhan zaman demi kehidupan bersama yang lebih guyub.

KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Ringkasan Buku Terbaru Babeh Duka Anak Jalanan

Ohh…. Babeh

Ia punya nama asli Baekuni. Kini usianya 49 tahun. Akan tetapi, lelaki tanpa penghasilan tetap itu dikenal dengan nama Babeh. Tahun lalu, sepak terjang Babeh menghiasi berita surat kabar setelah ia terungkap menyodomi kemudian membunuh sejumlah anak di Jakarta.

Oleh wartawan Kompas, Windoro Adi, dan seorang perwira polisi Nico Afinta, perjalanan hidup sekaligus ”praktik” Babeh dikupas lebih jauh dalam buku terbitan Arsip Metro dengan judul Babeh Duka Anak Jalanan.

Disebutkan, pada usia 12 tahun Babeh kabur dari rumahnya di Magelang, Jawa Tengah. Ia kemudian menggelandang di Lapangan Banteng, Jakarta, hingga suatu malam ia menjadi korban sodomi. Dikepung rasa takut oleh todongan pisau, Babeh yang kala itu berprofesi sebagai pengamen, setelah disodomi berkali-kali, mengalami trauma berkepanjangan.

Beberapa tahun kemudian, pengalaman itulah yang menjadikan Babeh berbuat serupa dengan korban anak-anak di bawah umur. Tak hanya disodomi, Babeh juga membunuh anak yang telah memberi ”kepuasan” kepadanya. Ia ekspresikan seluruh luka jiwanya saat ia membunuh. Ia kenang lagi rasa hilang jati diri sebagai lelaki saat ia gagal di malam pertama bersama istrinya. Siapa Babeh? Terjawab dalam buku ini.

Macan Tamil

Pengeboman Bank Sentral merupakan salah satu serangan paling mematikan yang dilakukan Macan Tamil saat berlangsung perang sipil di Sri Lanka. Penyerangan itu terjadi pada 31 Januari 1996 di ibu kota Sri Lanka, Kolombo. Sebuah mobil bak terbuka yang membawa sekitar 220 kilogram peledak berkekuatan tinggi ditabrakkan melalui gerbang utama Bank Sentral. Ledakan bom mobil tersebut menewaskan 91 orang dan melukai 1.400 orang lainnya.

Auman Terakhir Macan Tamil Perang Sipil Sri Lanka 1976-2009 dipilih oleh penulisnya, Yoki Rakaryan Sukarjaputra, sebagai judul buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Agustus 2010. Makmur Keliat, dari FISIP UI, memberi kata pengantar pada buku yang disebutkan layak dijadikan referensi bagi siapa saja dalam menyikapi hidup dalam sebuah masyarakat negeri yang majemuk.

Buku Rakaryan mengupas kisah di balik munculnya gerakan perlawanan Macan Tamil serta kondisi sosial-politik yang memicu warga Tamil Sri Lanka memberontak, ditambah episode-episode aksi pemberontakan yang disebut Perang Eela, yang berujung pada kematian sang pemimpin, Prabhakaran.

Gerakan perlawanan kelompok Macan Pembebasan Tamil Eelam di Sri Lanka merupakan gerakan perlawanan bersen- jata terlama yang pernah terjadi di sebuah negara pasca-Perang Dunia II

Sistem Pendidikan Berbasis SKS Akan Diterapkan Mulai SMA dan SMP

istem satuan kredit semester atau SKS, seperti di perguruan tinggi, akan diterapkan di jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Penerapan sistem belajar itu dinilai pemerintah memberikan keleluasaan bagi siswa untuk belajar sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sudah mengeluarkan panduan penyelenggaraan sistem SKS untuk tingkat SMP/SMA sederajat. Untuk SMP/SMA kategori standar, sistem SKS merupakan pilihan, sedangkan SMA/MTs mandiri dan standar internasional wajib menjalankan sistem SKS.

Wakil Kepala SMAN 9 Bandung Iwan Hermawan, Selasa (24/8), mengatakan, cara belajar SKS justru menguntungkan siswa. Namun, sekolah yang hendak menerapkan sistem SKS mesti menyiapkan infrastruktur, minimal menyiapkan ruang kelas yang cukup untuk terjadinya perpindahan kelas (moving class).

”SKS itu belum terlalu disosialisasikan ke sekolah-sekolah. Sejumlah sekolah berminat untuk menerapkan sistem SKS karena menguntungkan siswa, bisa cepat lulus. Untuk guru, mereka bisa mudah memenuhi beban mengajar minimal 24 jam. Cuma butuh infrastruktur pendukung yang bagus,” kata Iwan.

Ketua BSNP Djemari Mardapi mengatakan, cara belajar di sekolah-sekolah kebanyakan menerapkan sistem paket. Dengan cara belajar ini, siswa diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan.

Adapun cara belajar sistem SKS ini, menurut Djemari, merupakan upaya inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Siswa mendapatkan layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.

Siswa pintar dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah lebih cepat dari siswa yang berkemampuan standar. Jika IP siswa tinggi, siswa dapat mengambil lebih banyak jumlah SKS.

Isi panduan

Panduan yang dikeluarkan BSNP itu meliputi persyaratan penyelenggaraan, komponen beban belajar, cara menetapkan beban belajar, beban belajar minimal dan maksimal, serta komposisi beban belajar. Diatur juga soal kriteria pengambilan beban belajar, penilaian, penentuan indeks prestasi, dan kelulusan.

Beban belajar yang harus ditempuh siswa SMP/MTs yaitu minimal 102 SKS dan maksimal 114 SKS selama enam semester. Untuk siswa SMA, beban belajar minimal 114 SKS dan maksimal 126 SKS pada program IPA, IPS, Bahasa, dan Keagamaan.

Pada semester pertama, siswa mengikuti paket SKS yang sudah ada. Selanjutnya, siswa dapat mengambil sejumlah mata pelajaran dengan jumlah SKS berdasarkan indeks prestasi yang diraih. Sekolah juga dapat melaksanakan semester pendek selama libur. Namun, siswa hanya boleh mengikuti semester pendek itu untuk mengulang mata pelajaran yang gagal

Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Perlu Diawasi

Penyaluran anggaran pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk bantuan operasional sekolah, sering terlambat. Karena itu, pemerintah diminta tetap mengawasi dan memberikan sanksi kepada daerah yang telat menyalurkannya.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo dan anggota Komisi X DPR, Dedy S Gumelar, secara terpisah di Jakarta, Senin (23/8), mengatakan, penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tetap butuh pengawasan. Pasalnya, dana BOS rawan dikorupsi, seperti dana pendidikan dari pusat lainnya.

Apalagi pengalihan penyaluran alokasi pendidikan pusat ke daerah, seperti tunjangan profesi guru, belum terbukti efektif. Dalam implementasinya, guru terlambat menerima pembayaran tunjangan profesi karena pemerintah daerah beralasan dana dari pusat kurang.

Sulistiyo mengatakan, dana BOS sering telat. Pemerintah pusat harus berani memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang gagal menyalurkan dana BOS tepat waktu.

Dari hasil penelitian Bank Dunia terlihat penyaluran dana BOS sering terlambat, yang paling parah periode Januari-Maret dan Juli-September. Penyaluran setiap tiga bulan sekali itu nyatanya bisa molor lebih dari sebulan dari jadwal.

Dedy mengusulkan, pemerintah bisa membangun mekanisme kontrol langsung, melibatkan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Dalam Negeri. Sinergi kedua kementerian ini akan efektif memantau dan mencegah penyimpangan penggunaan dana BOS di level daerah.

Kemendiknas, karena prinsip otonomi daerah, tidak memiliki akses kontrol langsung, apalagi melakukan intervensi pada kebijakan pemda. Namun, Kemendagri jelas memiliki kekuasaan untuk mengontrol pemerintahan daerah.

Pemerintah ambigu

Sementara itu, Ade Irawan dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), kemarin, menyatakan, sebaiknya sistem bantuannya seperti block grant di mana rencana penggunaan anggaran ditetapkan sendiri oleh daerah.

”Ini malah seperti DAK, anggarannya masuk ke daerah, tetapi peruntukannya sudah ditetapkan dari pusat,” kata Ade.

Pengalihan dana BOS kepada pemerintah daerah mulai 2011 dinilai keputusan yang ambigu karena penyusunan petunjuk teknis pengelolaan BOS masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pelimpahan tanggung jawab pengelolaan BOS itu lebih mirip dana alokasi khusus (DAK).

Menurut Ade, daerah sebenarnya tak siap, bahkan sebenarnya takut dan khawatir dengan kebijakan pelimpahan tanggung jawab pengelolaan BOS ini. Pasalnya, banyak daerah tak mengalokasikan dana pendamping BOS. Mereka bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat. ”Seharusnya pemerintah pusat berkoordinasi dengan daerah untuk sediakan dana pendamping BOS,” ujarnya.

Mari Bersekolah Di Kandang Binatang

Sepintas, empat petak bangunan ini tak ubahnya seperti kandang. Berdinding anyaman bambu yang sudah usang, berlantai tanah, beratap rumbia. Beberapa bagian dinding sudah mulai robek dan terbuka, bahkan lapuk. Sebagian lainnya sudah miring hingga harus ditopang bambu atau balok. Dari empat petak, hanya dua petak bangunan yang beratap seng. Tak jauh dari bangunan utama, tampak sebuah tiang besi yang di puncaknya berkibar Sang Saka Merah Putih.

Letak bangunan ini persis di tepi jalan poros Sulawesi Tengah yang menghubungkan Kota Palu dan Kulawi, Kabupaten Sigi. Jaraknya hanya 47 kilometer arah selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di Desa Omu, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

Banyak yang tercengang tatkala melongok ke bagian dalam bangunan dan menemukan bahwa ada aktivitas belajar-mengajar di dalam. Yah, walaupun lebih mirip kandang, bangunan itu adalah sekolah, yakni kelas jauh dari SD Omu. Sekolah induknya berjarak lebih dari 3 kilometer dari kelas jauh ini.

Setiap hari 130 murid dan delapan guru menjalankan aktivitas belajar di sekolah yang oleh banyak orang akrab disebut ”sekolah kandang” ini. Sejak awal berdiri tahun 2005, hingga kini bentuk bangunan sekolah ini tak berubah. Empat petak bangunan digunakan masing-masing satu petak sebagai ruang guru, ruang kelas V dan VI, dan satu petak lainnya disekat jadi tiga bagian untuk kelas I, II, III, dan IV. Murid kelas I dan II belajar bergantian di ruang kelas yang sama.

Tiga petak bangunan berukuran antara 4 x 5 meter dan 5 x 5 meter, sementara satu petak lainnya yang disekat tiga berukuran 15 x 5 meter. Tak ada perpustakaan, laboratorium, atau fasilitas lain. Bahkan, kamar kecil hanya berupa anyaman bambu berbentuk kotak berukuran 1 x 1 meter, tak beratap, berlantai tanah, dan hanya dilengkapi satu ember kecil dan gayung.

Tak hanya fisik bangunan yang memprihatinkan, kondisi dalam kelas juga tak kalah mirisnya. Bangku dan meja panjang berderet dan berimpit nyaris tak ada celah. Satu bangku diduduki berimpitan, dua hingga tiga murid.

”Biasa juga ada tahi ayam di atas meja, tahi kucing, anjing. Biasa juga ayam dan anjing tidur di meja. Jadi, kalau mau masuk, torang babersih-bersih kelas dulu. Belum lagi nyamuk, banyak sekali,” kata Supri Supasande, murid kelas IV, yang ditemui seusai belajar, Kamis (22/7).

Lain lagi cerita M Fadli, siswa kelas V. ”Kalau hujan, torang sibuk bapindah-pindah meja sama kursi karena biasa air masuk dari atap. Belum lagi kalau duduk dekat dinding, torang kena tampias (percikan) air dari luar. Biasa buku jadi basah. Kalau hujannya keras, kelas banjir. Air dari luar dengan pece (tanah becek dan berlumpur) masuk juga,” katanya.

Kondisi bangunan yang sesungguhnya tak layak disebut sekolah ini tak membuat murid- murid kelas jauh SD Omu patah semangat belajar. Bahkan, tak ada kata libur sekalipun hujan dan mereka harus sibuk belajar berpindah-pindah tempat sembari menggeser bangku dan meja. Sama semangatnya dengan delapan guru yang empat di antaranya masih tenaga honor.

”Kami tetap mengajar setiap hari, apa pun kondisinya. Soal bangunan sekolah, kami memang kasihan melihat anak- anak belajar di tempat seperti ini, tapi mau apa lagi. Yang membuat kami tambah semangat dan tetap mengajar adalah anak-anak memang punya kemauan kuat untuk belajar. Kami khawatir, kalau dipaksakan ke sekolah induk, anak-anak bisa putus sekolah karena jaraknya jauh, 3 sampai 5 kilometer dari desa,” kata Yunius, guru kelas V.

Minta direhabilitasi

Kamis pagi menjelang siang, saat anak-anak lain memperingati Hari Anak Nasional, murid-murid SD Omu tetap bertekun dalam kelas. Saat ditanya tentang Hari Anak, hampir semua menjawab tidak tahu. Ketika ditanya akan meminta apa seandainya pada Hari Anak mereka diberi kesempatan meminta, umumnya mereka menjawab sama, ”Torang cuma mau minta torang pe sekolah dikase bae (Kami hanya ingin meminta agar sekolah kami diperbaiki).”

Awal mula berdirinya kelas jauh SD Omu tak lepas dari soal jarak. Memang jarak sejumlah dusun di Desa Omu—tempat tinggal para murid dengan sekolah induk—berkisar 3-5 kilometer. Tentu jarak yang jauh untuk berjalan kaki. Menggunakan angkutan umum pun bukan solusi tepat. Selain minim angkutan antardesa, sopir-sopir lebih banyak yang tidak mau mengangkut murid sekolah. Khawatir kondisi ini membuat murid jadi malas sekolah dan akhirnya putus sekolah, Pemerintah Kabupaten Donggala waktu itu akhirnya membuat kelas jauh. Awalnya tahun 2005 hanya dibangun dua petak kelas yang dipakai bergantian kelas I-V. Fisik bangunan persis seperti yang ada saat ini.

”Perkembangan jumlah siswa akhirnya membuat kami menambah ruang kelas dan termasuk untuk murid kelas VI. Saat ini ada 130-an murid. Kami sebenarnya bukan tidak berusaha meminta agar sekolah kelas jauh ini dibuat lebih layak. Setidaknya, kalaupun tidak permanen, mungkin dindingnya dari tripleks yang dicat, lantainya semen, atapnya seng. Tapi bolak-balik kami membawa usulan dan proposal, tidak pernah ada realisasi hingga kini. Padahal, sekitar Rp 200 juta, sekolah ini sudah bisa jauh lebih layak,” kata Jermiah Mahile, Wakil Kepala SD Omu sekaligus penanggung jawab kelas jauh.

Sebelum Sigi mekar dari Kabupaten Dongala tahun 2008, alasan tidak diturunkannya anggaran untuk rehabilitasi kelas jauh ini adalah letak sekolah ada di wilayah yang akan mekar. Namun, dua tahun pemekaran, sekolah ini tak juga direhabilitasi. Kalaupun ada anggaran yang berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS), itu hanya cukup untuk mengganti dinding anyaman bambu yang rapuh dan memperbaiki atap seadanya. Selebihnya untuk pengadaan buku. Warga sekitar juga kerap membantu bahan seperti balok dan anyaman bambu serta tenaga kerja untuk tukang. Toh semua ini tak bisa menolong banyak agar bangunan sekolah bisa jadi lebih layak.

Basir Lainga, Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sigi, mengatakan, sebenarnya rehabilitasi kelas jauh ini sudah masuk dalam perencanaan.

”Anggarannya dari APBN dan sudah masuk perencanaan. Tapi kami belum tahu berapa besarnya. Mudah-mudahan tahun ini bisa turun. Kami sudah mengupayakan, tinggal menunggu realisasinya,” kata Basir.

Pihak DPRD Sigi juga bukan tidak berusaha. Ketua DPRD Sigi Gesang Yuswono mengakui, masalah pendidikan dan kesehatan adalah dua persoalan besar yang menjadi pekerjaan rumah pasca-pemekaran. Fakta bahwa angka kelulusan tahun 2010 di bawah 50 persen dan angka gizi buruk tertinggi di Sulawesi Tengah, yakni 186 kasus, mungkin bisa jadi contoh kecil betapa persoalan pendidikan dan kesehatan di daerah ini butuh perhatian dan penanganan serius

Kota-kota di Jawa Antara Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial

Penulis   : Sri Margana dan AM Nursam (editor)
Penerbit : Ombak
Cetakan : I, 2010
Tebal      : x + 341 halaman
ISBN       : 978-602-8335-28-7

Kota ibarat lampu penerang yang mengundang laron-laron datang mendekat dan berkumpul. Memerhatikan pertumbuhan kota adalah melihat perkembangan “laron-laron” yang datang dari berbagai tempat dengan kultur yang berbeda-beda, sebelum menghasilkan kultur baru.

Tak jauh dari persoalan menelisik kultur baru yang terus bergerak di kota-kota, buku ini hadir yang berisi tulisan sejumlah sejarawan muda. Mereka berupaya merekonstruksi sejarah kota di Jawa berikut kompleksitas permasalahannya, baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Dengan kata lain, perkembangan perkotaan masa kini bergerak meninggalkan identitas lamanya. Lalu, menuju sebuah identitas baru yang diyakini lebih modern.

Beberapa isu yang dibahas pada buku ini, di antaranya identitas kota seperti imlek gaya Yogya, jati diri Solo, dan keruntuhan kota Banyumas. Ada juga bagian gaya hidup perkotaan, seperti citra perempuan dalam iklan di Hindia Belanda, biro perkawinan abad ke-20, dan kain kebaya serta rok di Yogyakarta. Ada juga perilaku aborsi masa kolonial di Jawa, hingga kelompok studi kiri pada awal revolusi.

Sejatinya, buku ini berisi sekumpulan artikel yang khusus dipersembahkan kepada Prof Djoko Suryo, Guru Besar Ilmu Sejarah UGM, yang berulang tahun ke-70 pada 30 Desember 2009 lalu. Buku ini satu paket dengan buku Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global.

Cerpen: Kisah Sedih Cici Sang Kelinci

Mama, mengapa Mama lupa menjemputku? Cici jadi harus pulang sendiri,” kata Cici sambil melempar tas ke atas sofa.

Ia membuka sepatu, lalu melemparkan ke teras. Kaus kakinya pun diletakkan sembarangan. Cici kesal.

Mama tadi pagi berjanji akan menjemput Cici di sekolah. Biasanya, Mama akan datang bersama Boni, adiknya yang masih bayi. Lalu mereka akan berjalan pulang ke rumah bersama-sama.

Bagi Cici, itu adalah saat yang paling disukainya karena bisa bercerita panjang lebar tentang kegiatannya di sekolah.

TETAPI HARI ini, Mama ingkar janji. ”Mama minta maaf, sayang. Mama tidak lupa, tetapi tiba-tiba adikmu demam dan Mama tidak berani membawanya keluar.

Mama sudah menelepon Bu Tari dan menitip pesan supaya kamu pulang bersama teman-temanmu. Tetapi, ternyata teman-temanmu sudah pulang semua. Mama menyesal, Mama minta maaf,” jelas Mama sambil mengelus kepala Cici.

Tiba-tiba terdengar tangisan Boni dari dalam kamar. Mama segera meninggalkan Cici yang masih kesal.

”HU-UHHH! Selalu saja Boni yang diperhatikan. Aku tidak,” gerutu Cici sambil membawa kotak makan. Cici pergi ke halaman belakang.

Tempat itu seperti taman bunga karena Mama menyukai bunga. Ada macam-macam bunga yang ditanam Mama, seperti anggrek, mawar, melati, kana, bunga lili, dan masih banyak lagi.

Cici duduk di atas rumput sambil memakan sisa kue dari kotak makannya.

TIBA-TIBA…,

”Hai!” Suara itu mengejutkan Cici.

”Siapa itu?” tanya Cici.

”Ini aku. Ssst… di bawah sini,” kata suara itu.

Cici menundukkan kepalanya. Itu Peri Hijau, temannya yang hidup di antara bunga-bunga peliharaan Mama.

”Mengapa kau kelihatan kesal?” tanya Peri Hijau.

”Aku sedih dan kesal. Mama lebih memerhatikan adik daripada aku,” kata Cici sedih.

”Tetapi, sepertinya adikmu sedang sakit. Pasti Mamamu khawatir,” kata Peri Hijau.

”Mama lebih mengkhawatirkan Boni daripada aku,” kata Cici.

”Ia memang sedang khawatir, tetapi Mama tetap sayang padamu,” kata Peri Hijau.

”Lagi pula kamu, kan sudah besar. Sekolah tidak jauh dari rumahmu. Kamu bisa jalan pulang bersama teman-teman. Kamu bisa cerita kepada Mama setibanya di rumah. Cobalah, mungkin lebih menyenangkan,” Peri Hijau memberi saran.

Cici cuma merengut.

”Begini saja, coba kamu ambil dua buku, lalu kembali lagi ke sini,” kata Peri Hijau.

CICI MASUK ke dalam rumah dan kembali dengan dua buku. ”Untuk apa buku ini?” tanya Cici.

”Buku yang pertama adalah buku sedihmu. Di dalamnya kamu tulis semua kesedihanmu, sedangkan buku yang kedua adalah buku gembira. Di sana kamu tulis semua kegembiraanmu,” jelas Peri Hijau.

Cici jadi sedikit bersemangat. Di buku sedih ia menulis, ”Mama tidak menepati janji. Mama lebih menyayangi Boni.”

Peri Hijau memerhatikan tulisan Cici. ”Bagus. Sekarang buku yang kedua.”

Cici berpikir-pikir, sehari ini apa saja hal yang membuatnya gembira.

”Hari ini aku diantar Papa, senang sekali. Tugas menggambarku dapat nilai delapan. Tugas berhitung dapat nilai 10. Sewaktu istirahat, aku bermain ayunan dengan Tita. Hari ini aku dapat teman baru, Sasi namanya. Ia pandai bercerita.”

”Banyak juga, ya,” kata Cici senang.

PERI HIJAU gembira melihat Cici mulai bisa tersenyum lagi.

”Lihatlah. Kesedihanmu cuma ada dua, tetapi kegembiraanmu ada lima hari ini,” kata Peri Hijau.

”Iya,” kata Cici tersenyum. ”Aku ingat Tita dan Sasi. Mereka teman-teman yang baik.”

”Itulah gunanya buku-buku ini. Bila kau sedih, bukalah buku gembiramu, dan kau akan melupakan kesedihanmu.”

”Terima kasih Peri Hijau. Kau baik,” kata Cici. ”Aku mau menemui Mama. Aku ingin menceritakan kegembiraanku hari ini,” kata Cici sambil beranjak dari duduknya.

Ditinggalkannya Peri Hijau yang tersenyum melihat Cici.

Suryani Saudin Penulis Cerita Anak,Tinggal di Bekasi, Jawa Barat

Kumpulan Puisi Zaim Rofiqi

Telepon

Entah berapa lama aku tidur.

Aku bermimpi tidur panjang, sangat panjang, lalu sebuah

telepon berdering menggetarkan seisi ruangan dan aku tersentak

terbangun.

Kuangkat gagang telepon itu, “Halo, halo?”

Tak ada jawaban.

Hanya suaraku yang terdengar gagap,

gemanya terus-menerus memantul di seluruh ruangan hingga

membuatku tak bisa kembali tidur.

Aku masih terjaga mendengar gema suaraku sendiri ketika

menjelang subuh aku terbangun karena dering telepon yang

mengabarkan kematian kembaranku.

Di luar, jarum-jarum gerimis mulai menusuki kaca jendela

kamarku.

2009

—András Gerevich

Aku terbang di dalam mimpiku.

Aku bermimpi tidur panjang, begitu panjang, lalu seleret

halilintar berpijar diikuti sebuah dentuman besar menggelegar

dan aku tersentak terbangun, lalu terbang.

Mulanya aku hanya berputar-putar di atas tempat tidurku, turun,

naik, turun, naik, dengan keseimbangan yang tak pernah

kumiliki sebelumnya, lalu melesat ke kiri, ke kanan, berkitar-

kitar ke seluruh sudut mengamati seluk beluk kamar yang entah

telah berapa lama aku tinggali: aku telusuri dinding-dinding

kamar dari batu bata dan kayu itu. Di beberapa bagian

kutemukan cat dinding yang mulai terkelupas dan berbercak,

juga beberapa kayu yang mulai keropos karena rayap. Kumakan

dua-tiga rayap yang ada di salah satu kayu di sudut langit-langit,

lalu aku melesat ke atas meja, hinggap di atas sebuah dompet, di

depan sebuah pigura rotan yang terpelitur mengilat. Selembar

foto tua menghampar di dalam pigura itu. Cukup lama kuamat-

amati foto itu: dua perempuan dan tiga laki-laki saling

berangkulan. Wajah mereka semua menyeringai, kecuali satu

lelaki yang ada di ujung kanan. Aku merasa mengenal wajah itu,

tapi telah lupa siapa.

Bosan dengan pigura dan foto, aku beralih berkitar-kitar di atas

sebuah rak buku di sudut kamar. Dua buku besar bersampul

merah dan putih menarik perhatianku. Aku mendekat, dan

hinggap di atas sebuah cangkir plastik yang berdiri di atas salah

satu buku di rak itu. Namun, ups, cangkir plastik itu ternyata tak

kuat menahan berat tubuhku. Sebelum melesat, aku masih

sempat melihat air dari cangkir itu luber membasahi buku merah

dan putih itu, juga beberapa buku lain di kanan kiri mereka.

Aku kembali hinggap di atas meja, lalu melesat menuju sebuah

kursi di tengah ruangan. Beberapa saat berdiri di atas kursi itu,

aku merasa bingung apa yang harus kulakukan. Betapa besar

kursi ini, pikirku. Begitu besarnya hingga aku merasa ia bisa

menopang sepuluh atau lima belas kali lipat berat tubuhku,

bahkan mungkin lebih. Aku meloncat-loncat di atasnya. Seekor

semut terlihat menuruni sandaran kursi, dan dalam sekali gerak

aku berhasil menyambar makhluk kecil itu. Kembali aku berdiri

di atas kursi kayu itu, menoleh ke kiri ke kanan, ke atas ke

bawah, dan perlahan kusadari betapa luas ruangan tempat aku

dan kursi ini berada. Meski begitu, beberapa saat kemudian, aku

mulai merasa tak betah berada di tengah-tengah keluasan ini.

Ruangan ini begitu luas, dan mungkin sanggup menampung

ratusan, bahkan mungkin ribuan makhluk sebesar diriku, dan

aku mungkin bisa melakukan apa saja yang ingin kulakukan di

sini. Namun entah mengapa aku merasa ingin segera keluar dari

sini. Sesuatu di luar ruangan berdinding batu bata dan kayu ini

mungkin lebih menarik dibanding segala sesuatu yang ada di

sini, pikirku.

Melewati pintu kamar tidurku, aku sampai di ruang tamu.

Setelah melayang-layang mengelilingi ruang itu beberapa kali,

aku lalu hinggap di atas sandaran sebuah sofa panjang di tengah

ruangan. Sambil meloncat-loncat kecil menyusuri sandaran

berlapis beludru itu, aku perhatikan semua hal di ruangan ini,

dan tak lama kemudian perhatianku tersedot pada lantai yang

menopang semua benda di situ: lantai di bawah sofa tempatku

bertengger tampak putih bersih, satu dua kilau yang kadang

berkelebat membuatku tertarik mendekatinya. Beberapa saat

berdiri di atas lantai itu, aku melihat beberapa ekor semut

berjalan terburu, masing-masing memanggul sesuatu yang putih

di kepalanya. Begitu barisan itu mendekati kakiku, aku menjadi

tertarik menyantapnya. Namun tepat ketika aku hendak

menyambar salah satu dari semut-semut itu, dari bawah

tempatku berdiri ada sesosok makhluk asing yang tampaknya

juga ingin menyantap semut itu. Aku tersentak, dan langsung

melesat ke sudut kanan atas ruangan itu, lalu hinggap di atas

sebuah jam dinding tepat di atas pintu masuk. Di samping kanan

dan kiri jam dinding itu tergantung dua buah ukiran kayu

dengan motif dan bentuk yang hampir sama. Aku merasa begitu

akrab dengan kelak-kelok menyerupai huruf dalam kedua ukiran

itu, namun setelah silih berganti menatap dan mengamati

keduanya, aku masih saja gagal mengerti apa makna kelak-kelok

dalam kedua ukiran itu.

Dan ruangan ini pun segera membuatku bosan. Hamparan

berlantai putih bersih ini begitu indah dan megah, dan memiliki

cukup banyak hiasan yang menjadikannya tak tampak lompong

dan lengang: jam dinding yang mengeluarkan bebunyian setiap

satu jam, sofa beludru, ukiran nama dari kayu, vas bunga cantik,

guci antik, dan benda-benda lain yang tak mungkin kusebut satu

per satu. Dan aku mungkin bisa melakukan apa saja yang ingin

kulakukan dengan benda-benda itu. Namun aku merasa ada

sesuatu dalam diriku yang terus-menerus mendesakku untuk

segera keluar dari ruangan ini. Sesuatu yang mungkin ada di luar

bentangan berlantai putih bersih berkilau ini mungkin lebih

menarik ketimbang segala sesuatu di sini, pikirku. Dan aku pun

kembali memutari ruangan, mencari-cari apakah ada

kemungkinan keluar dari situ. Benar saja, tak lama kemudian

kutemukan lubang angin di atas pintu, yang tampaknya cukup

besar untuk aku lewati. Dan aku pun melesat meninggalkan

ruang itu, ke luar, ke sebuah wilayah tak berdinding tak beratap.

Di pagi hari, kamar tidurku dan ruang tamu itu penuh bulu-bulu

lembut ringan yang tertabur di mana-mana. Dan, dengan mata

terkatup, seonggok bangkai burung hitam terhampar di atas

keset di depan pintu masuk. Seekor kucing bersijingkat

mendekat mengendus-endus kakiku. Dengan riang, dengan salah

satu kaki depannya, dia menyentuh-nyentuh sayapku.

Di luar, hujan mengucur deras.

2009-2010

Zaim Rofiqi menulis puisi, cerita pendek, esai, dan menerjemahkan buku. Buku kumpulan puisinya berjudul Lagu Cinta Para Pendosa (2009).

Antara Seni Sastra dan Agama

Ilham Khoiri

Alif, alif, alif!/ Alifmu pedang di tanganku/Susuk di dagingku, kompas di hatiku/ Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut/ Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan/Terang/Hingga aku/ Berkesiur/ Pada/ Angin kecil/ Takdir-Mu

Fragmen puisi berjudul ”Dzikir” itu didaras dengan penuh penghayatan oleh penulisnya sendiri, D Zawawi Imron. Meski sudah berusia 65 tahun, suara penyair asal Madura itu tetap memendarkan energi.

Saat ia melafalkan kata-kata puisi itu secara susul-menyusul terdengar mirip sebuah mantra atau zikir yang berulang-ulang. Suaranya yang keras dan agak serak memenuhi ruang teater.

Sebagian penonton mungkin sudah akrab dengan puisi yang terkenal pada tahun 1980-an itu. Namun, tetap pendarasan itu menggedor kita untuk merenung soal kefanaan nasib dan hidup manusia serta hubungan kita dengan Tuhan. Penyebutan benda-benda sebagai manifestasi Tuhan mungkin mengajak kita memikirkan kemungkinan semangat penyatuan Tuhan dan semesta sebagaimana diyakini dalam filsafat emanasi.

Penyebutan kata yang berulang mengingatkan kita pada doa, mantra, atau zikir yang dilantunkan dengan cara ritmis setelah shalat. ”Puisi ini hasil penghayatan saya akan Tuhan dan kehidupan. Ini pergulatan saya sejak lama yang kemudian muncul tanpa direka-reka dalam bentuk puisi,” kata Zawawi seusai membaca puisi.

Pentas itu menjadi bagian dari pertunjukan ”Mendaras Puisi: Pembacaan Puisi di Bulan Puasa” di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (19/8) malam lalu. Hadir juga membacakan puisinya, penyair Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, dan Remy Sylado. Dalam catatan panitia, para penyair ini dianggap berkarya dengan ilham dari iman atau agama.

Memang, keimanan atau agama yang diyakini para penyair itu memperkaya bahasa ungkap para penyair. Tak seperti Zawawi menyerap semangat penghayatan ketuhanan untuk menciptakan puisi zikir, Acep Zamzam Noor merefleksikan pengalaman keagamaan dalam diksi penuh metafor. Puisi-puisinya banyak mengolah kesan tentang alam semesta yang dengan bahasa romantis.

Simak saja karyanya yang berjudul ”Trasimeno”: Kulihat bukit-bukit bersujud/Pohon-pohon merunduk, daun-daun basah/ Lampu-lampu meredupkan cahaya/Angin dan kabut bergulung di angkasa/Senja membelitkan kerudung kuningnya/Semuanya bersujud kepadamu. Sebuah danau/Hamparan sajadah bagi semesta/ Adalah ketenangan yang sempurna.

”Agama tak saya ungkapkan sebagai slogan yang permukaan, melainkan sebagai kesadaran batin yang penuh perenungan,” kata Acep yang lahir dan besar dalam lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.

Keseharian

Bagi Joko Pinurbo, agama juga memang tak perlu dipanggungkan dalam puisi penuh jargon mentah. Dia memilih untuk mengolah religiusitasnya dalam agama Katolik dengan berangkat dari cerita sehari-hari, seperti tukang bakso, tukang ojek, tukang becak, lantas mengajak orang berempati kepada orang lain. Dari empati ini, lantas dia menyentuh nilai kemanusiaan yang lebih mendalam.

Dia kerap mengulik narasi yang lebih manusiawi sehingga mudah menyentuh publik umum. Cerita Yesus, misalnya, dimainkan secara lebih lumer dengan mengeksplorasi sisi manusiawinya. Kadang, dia membenturkannya dengan suasana ironis yang nakal.

Salah satu puisinya cukup terkenal karena pendekatan ini, yaitu yang berjudul ”Celana Ibu” (tahun 2004).

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya/mati di kayu salib tanpa celana/dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit/dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang/ ke kubur anaknya itu, membawakan celana/ yang dijahitnya sendiri dan meminta/Yesus untuk mencobanya.

”Paskah?” tanya Maria./ ”Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,/Yesus naik ke surga.

Menurut Ayu Utami, kurator sastra di Salihara yang malam itu sekaligus menjadi pembawa acara, karya-karya penyair itu memperlihatkan, sastra dan iman atau agama bisa berkelindan tanpa satu menaklukkan yang lain. Agama memberi artikulasi bagi sastrawan saat melihat peristiwa. Hubungan itu berlangsung secara leluasa dan saling memberikan inspirasi dan nilai-nilai, tanpa jatuh menjadi dakwah yang verbal.

Agama atau iman sudah lama mengendap dalam diri penyair, lantas mereka membuat karya. ”Mereka kemudian bisa bermain tanpa rasa kikuk, bebas, dan santai menggambarkan apa yang ada dalam dirinya. Ini selaras dengan semangat seni yang membebaskan dan membuka berbagai kemungkinan,” kata Ayu.