Category Archives: Bedah Buku

Cara Mencegah Ketularan Bodoh Karena Herd Stupidity

Akhir pekan lalu, ketika sedang gowes pagi sendirian sambil asyik melamun, saya dikejutkan oleh rombongan pegowes di depan saya yang menggayuh sepeda mereka dengan sangat perlahan dalam formasi horisontal hingga memblokir lebih dari setengah badan jalan.

Situasi yang rumit, karena saya harus sedikit ngebut kalau mau nyalip, padahal ketika saya lirik sekilas beberapa di antara mereka tidak bermasker. Selain risiko tersambar kendaraan dari sisi kanan, saya lebih ngeri terpapar sisa doplet dari rombongan pegowes yang asyik bercanda sambil tertawa-tawa itu.

Salah seorang dari mereka, yang terlihat paling sepuh dan tampaknya pentolan acara itu, sibuk mengomando pasukan gowesnya agar tak jauh-jauh dari dirinya. Alhasil formasi horisontal itu pun terus bertahan hingga ujung jalan dan anggota rombongan yang lebih muda, yang mestinya bisa lebih gesit dan trengginas pun terpaksa mengikuti iramanya.

Bikin Runyam
Istilah herd stupidity tengah marak belakangan ini. Digaungkan sebagai bentuk sinisme atas belum tercapainya herd immunity yang sempat dengan sangat positif diharapkan menjadi solusi berakhirnya periode pandemi bersamaan dengan dimulainya distribusi vaksin beberapa waktu yang lalu.

Sindiran ini niatnya memang ditujukan kepada pemerintah yang dianggap sedikit abai terhadap penanganan covid karena lebih terfokus pada pemulihan sektor ekonomi. Namun demikian, melihat perilaku komunal seperti rombongan pegowes di atas, apakah bukan masyarakat kita yang justru berkontribusi dalam hal terbentuknya herd stupidity?

Saya ingat cerita lawas Abu Nawas ketika mengatakan bahwa hanya orang baik yang bisa melihat surga dan bidadari di dalam topi butut miliknya. Ketika topi itu diperlihatkan kepada raja, terbeban dengan stigma ‘orang baik’ yang ingin dijaganya, maka dengan penuh keyakinan sang raja pun mengiyakan hal yang mustahil itu. Akibatnya, dengan stimulasi statement sang penguasa, semua orang yang melihat topi butut itu pun akhirnya mengatakan hal yang sama. Surga dan bidadari tampak menari-nari di sana. Padahal sebenarnya tidak ada apapun selain jejak keringat dan sisa-sisa keusangan belaka.

Ketika semua orang mengatakan ketidakbenaran yang sama yang kemudian secara kolektif dianggap sebagai kebenaran, pada saat itulah herd stupidity bermula. Meskipun jauh di lubuk hati pasti akan terasa janggal dan menganggap kebenaran kolektif itu sebagai hal yang tak masuk akal, biasanya tak ada keberanian untuk menyangkal.

Berbeda memang seringkali membuat canggung. Apalagi berbeda pendapat dengan orang dari strata sosial yang tidak linier. Seorang murid yang mendapat penjelasan salah dari gurunya, atau staf di kantor yang berbeda pendapat dengan manajernya, mungkin hanya bisa menyimpan kegundahan dalam hati saja. Meskipun kita tidak mengenal kasta, namun tingkatan sosial ini nyatanya masih ada.

Urusan pakewuh atau ketidaknyamanan sosial memang sering bikin runyam. Saya sendiri pernah kesandung gara-gara urusan ini. Waktu itu saya bertugas menemani atasan melakukan negosiasi suatu proyek. Atasan saya memang orang yang cukup dominan sehingga sepanjang pertemuan dengan klien, mulai dari presentasi hingga negosiasi dimonopoli oleh atasan.

Maka ketika atasan menyebutkan sederet angka sebagai penawaran kepada klien, saya tidak berani angkat bicara meskipun dalam hati merasa heran. Menurut perhitungan saya, angka itu jauh di bawah harga wajar yang mestinya ditawarkan, tetapi mengoreksi atasan di depan klien kok rasanya sungkan. Belakangan saya menyesali kebodohan itu, karena kesalahan harga yang diberikan atasan ternyata berbuntut sangat panjang hingga membuat saya menderita berbulan-bulan kemudian.

Ketidaknyamanan sosial ketika berbeda pendapat dengan atasan atau pemuka masyarakat yang disegani bisa terjadi karena latar belakang keharusan bersikap santun yang telah mendarah daging dan diyakini sebagai kewajaran perilaku masyarakat Indonesia pada umumnya. Tingkatannya bisa berbeda-beda. Dimulai dari level terendah yang sekedar sungkan membantah di depan atasan namun tetap menggerutu di belakangnya, sampai ke titik paling ekstrem ketika seseorang menjadi teramat patuh bahkan terhadap perintah yang tak masuk akal. Kita sudah melihatnya sendiri dalam diri pelaku terror bom bunuh diri beberapa waktu yang lalu.

Cukup Cerdas

Masyarakat kita sebenarnya cukup cerdas untuk sekadar menimbang argumen dasar, terlebih dengan berlimpah ruahnya data yang bisa diakses dengan sangat mudah. Hanya bermodal ketersediaan kuota dan kelincahan jemari, siapapun kini bisa melakukan verifikasi. Namun siapa yang mau repot mengakses internet hanya demi sebentuk klarifikasi? Mengikuti pergerakan arus informasi yang memang serba cepat, serta kekhawatiran menyimpan berita basi, maka alih-alih melakukan verifikasi, yang ada adalah segera menggerakkan jemari untuk mem-forward informasi.

Trump dan polemiknya hingga saat ini masih menjadi pembahasan di kalangan akademisi terkait kesuksesan kasus herd stupidity yang bahkan membawanya hingga puncak tertinggi. Bila di negara semaju Amerika saja masih bisa terjadi penyimpangan opini berstandard deviasi cukup besar, apalagi dalam kultur masyarakat Indonesia yang budaya ewuh pekewuh atau serba sungkannya masih sangat kental.

Saatnya bertanya pada diri apakah kita mau menjadi manusia bodoh yang dengan mudah dibodoh-bodohin untuk menularkan kembali kebodohan kepada orang lain yang lebih bodoh? Ah, daripada mengumpati rombongan pegowes yang seenaknya memblokir jalan tadi, akhirnya saya memilih memasang headseat dan mendengarkan lagu lama Ada Band sambil bersenandung sendiri: Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh….

Image

Sejarah Penulis Kho Ping Hoo Alias Asmaraman Sukowati

Penulis Prancis Demo Minta Toko Buku Dibuka Saat Pandemi

Sejumlah toko buku di Prancis bersikeras beroperasi di tengah aturan larangan berjualan dari pemerintah usia mendapat dukungan dari warga dan penulis. Warga Prancis kini dapat kembali menyalurkan kecintaan mereka terhadap karya literatur yang sempat terhenti dalam beberapa bulan terakhir.

Dikutip dari AFP, aksi pembukaan besar-besaran ini turut didukung oleh seorang penulis terkenal di Prancis, Alexandre Jardin. Ia mendukung aksi pembukaan toko buku di tengah pandemi Covid-19 dan bersedia membayar denda yang dibebankan kepada pemilik buku yang dinilai melanggar aturan berjualan. Semenjak pandemi Covid-19, pemerintah Prancis melarang toko yang tergolong menjual barang jualan tidak penting untuk berjualan guna mengurangi kerumunan di tempat umum. Aturan ini turut dibebankan kepada para pemilik toko buku di Prancis.

Namun Jardin, penulis yang terkenal lewat novel romantis Le Zebre dan Fanfan tersebut menilai bahwa buku termasuk kebutuhan penting. Dalam sebuah wawancara bersama radio Europe 1, pemenang dalam penghargaan literatur Prancis, Prix Goncourt ini mengaku siap membayar denda yang ditujukan kepada pemilik toko buku selama kembali berjualan yang ada di kota Cannes, sebagai lokasi permulaan dari gerakan ini.

“Saya siap membantu buku selanjutnya, dan penulis lain untuk toko buku lainnya,” kata Jardin “tidak ada satu pihak pun yang memiliki hak menutup toko buku,” tambahnya.

Membungkam Kebebasan Berpendapat

Menurut hasil studi, Prancis merupakan salah satu negara dengan jumlah pembaca tertinggi di dunia, dan salah satu negara dengan jaringan toko buku independen terbesar di dunia. Semenjak pandemi Covid-19, pemerintah Prancis melarang toko yang tergolong menjual barang jualan tidak penting seperti toko mainan, salon, toko parfum, toko bunga, gedung bioskop dan mall serta toko buku untuk berjualan dalam sementara waktu.

Aturan yang berlaku sejak 30 Oktober ini menyulut kemarahan dari sejumlah pihak karena dinilai dapat mematikan bisnis toko buku di Prancis. Perhatian itu mereka sampaikan dalam surat terbuka kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa alasan penutupan toko buku termasuk dalam membatasi akses warga yang dapat disebut sebagai sebuah ancaman bagi kebebasan berbicara yang sangat dijunjung di Prancis.

Jardin juga menggaris bawahi beberapa negara lain di Eropa seperti Belgia yang telah mengijinkan toko buku kembali beroperasi. Sementara itu, dampak penutupan ini telah memukul perekonomian toko buku di Prancis yang harus kehilangan penjualan penting selama November-Desember yang biasanya menyumbang 25% dari pendapatan tahunan mereka.

Pemerintah Prancis hingga kini belum menunjukkan adanya pelonggaran lockdown yang diberlakukan untuk mengekang gelombang kedua infeksi Covid-19. Perdana Menteri Prancis Jean Castex pada kamis (12/11) mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan rencana untuk mengijinkan sejumlah toko untuk kembali beroperasi pada Desember mendatang jika terjadi tren penurunan infeksi kasus baru masih berlangsung.

Hingga kini virus Corona telah membunuh lebih dari 44 ribu orang di Prancis. Presiden Prancis Emmanuel Macron kembali mengajak masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan selama pandemi.

Toko Buku Kinokuniya Plaza Senayan Tutup Permanen Akibat Pandemi

Toko buku Kinokuniya di Plaza Senayan akan tutup permanen mulai 1 April 2021 mendatang. Kabar tersebut disampaikan langsung oleh akun resmi Instagram @Kinokuniya_id saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (27/3).
Sebelumnya, gerai Kinokuniya di Pondok Indah Mall 2 juga sudah ditutup sejak 2018. Dengan demikian, gerai hanya tinggal di mal Grand Indonesia.

“Kinokuniya Plaza Senayan terakhir beroperasi pada 31 Maret 2021. Kami berterima kasih atas dukungan dan kesetiaan anda terutama selama pandemi,” tulis pesan tersebut. Toko buku yang mengoleksi beragam buku impor dengan berbagai bahasa, seperti Inggris, Jepang, dan China ini sengaja rutin mengadakan acara setiap satu bulan sekali untuk menarik pengunjung.

Di tengah maraknya penjualan secara daring (online) dan buku elektronik (e-book), Kinokuniya tercatat belum sekalipun melakukan penutupan gerai. Manajemen hanya satu kali memindahkan gerai Kinokuniya dari Plaza Indonesia ke Grand Indonesia.

Namun kini mereka fokus melakukan penjualan buku secara daring lewat situs resminya kinokuniya.co.id maupun melalui platform market place seperti Bli-bli, Shopee dan Tokopedia. Kami akan tetap melayani Anda di store Kinokuniya Grand Indonesia dan gerai resmi kami di market place,” jelas manajemen.

Kabar penutupan Kinokuniya tersebut juga ramai dibicarakan di Twitter. Beberapa warganet mengaku memiliki kenangan khusus di toko buku tersebut.

Sinopsis Spider-Man Far From Home

Spider-Man: Far from Home untuk pertama kali di layar kaca Indonesia pada pukul 19.00 WIB. Berikut sinopsis film Spider-Man: Far from Home (Premiere) yang dibintangi Tom Holland.
Film Spider-Man Far From Home bercerita tentang kehidupan Peter Parker (Tom Holland) alias Spider-Man setelah bertarung dalam Avengers: Endgame.

Ia menjalani hidup dalam kesedihan karena kehilangan sang mentor, Tony Stark alias Iron Man.

Parker mulai kehilangan semangat untuk menjadi pahlawan super sepenuhnya lantaran masih muda. Bahkan ia tidak membawa kostum Spider-Man saat karya wisata ke Eropa selama dua pekan bersama teman-teman sekolahnya.

Tiba-tiba, kepala organisasi S.H.I.E.L.D, Nick Fury (Samuel L Jackson) mendatangi Parker dan memperkenalkannya dengan Quentin Beck alias Mysterio (Jake Gyllenhaal) untuk bekerja sama menghadapi Hydro-Man yang akan menghancurkan London.

Guna mencegah hal itu terjadi, Spider-man dan Mysterio berusaha mati-matian untuk menghentikan aksi Hydro-Man sebelum terlambat.

Namun begitu misi berhasil tercapai, Mysterio menunjukkan sifatnya yang sebenarnya. Quentin ternyata hanya bersikap baik pada Parker karena ada maksud tersembunyi.

Film Spider-Man Far From Home merupakan sekuel Spider-Man: Homecoming yang masih menampilkan aksi pertarungan seru Tom Holland yang berperan sebagai Peter Parker. Film ini disutradarai oleh Jon Watts yang menghabiskan biaya produksi sebesar US$ 160 juta.

Usai mengetahui sinopsis Spider-Man Far From Home yang dibintangi Tom Holland saksikan film ini pukul 19.00 WIB. Setelah itu, Bioskop Trans TV akan menayangkan Venom pada pukul 22.00 WIB.

Buku 33 Tokoh Sastra Mengandung Kebohongan

Puluhan seniman, akademisi, mahasiswa, guru, dan pecinta sastra yang tergabung dalam Aliansi Pecinta Sastra Malang meminta agar buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh tidak diedarkan. Alasannya, buku tersebut tidak layak untuk dijadikan referensi sastra, karena tokoh yang dipilih tidak jelas kreterianya.

Sikap tersebut mereka ekspresikan lewat aksi membaca puisi bernada protes di depan patung Chairil Anwar di Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, Jawa Timur. “Buku ini mengandung dusta dan penyelewengan sejarah,” kata koordinator Aliansi, Rif Faruq Ma’x Mandar Rantau, Jumat 31 Januari 2014.

Faruq menilai buku tersebut berpotensi menyesatkan pembaca dan sejarah sastra jika dijadikan rujukan di lembaga pendidikan. Aliansi menuntut 8 orang tim penyusun untuk menguji, misalnya benarkah tokoh Denny Januar Aly karya-karyanya sejajar dengan Chairil Anwar. Peran Denny di sini yang paling menonjol sebagai promotor penerbitan buku tersebut.

Faruq mengajak kepada masyarakat, pecinta sastra, penulis, kritikus dan akaemisi untuk bersama-sama menolak pembodohan ini. Menurutnya, dalam waktu dekat sebuah petisi bakal mereka kirim ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Isinya, meminta agar Kementerian menguji buku setebal 777 halaman itu.

Meski tak menampik bahwa banyak sastrawan berpengaruh yang dimuat dalam buku tersebut, namun Aliansi tetap menyayangkan masuknya Denny yang selama ini dikenal sebagai tukang survei elektabilitas tokoh politik. Meski aktif menulis puisi dan esai, tapi hal itu baru dilakukan Denny pada dua tahun terakhir ini.

Menurut Denny, buku ini haus dilihat secara positif karena menstimulasi sastra. Ini sebuah ikhtiar dan hasilnya boleh tidak sempurnya. Generasi selanjutnya silakan melanjutkannya,” kata dia sembari menambahkan, “Ini bukan kitab suci. Kritik buku harus dengan buku.”

Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh telah beredar sejak Juni 2013 di sejumlah toko buku. Tingkat lakunya masih kecil. Sebuah toko buku besar selama tujuh bulan hanya sanggup menjual tujuh buku yang harganya Rp 120 ribu ini. “Tidak banyak yang tertarik membeli,” kata bagian penjualan, Andre Septiadi.

Buku Sepak Terjang Yakuza Di Indonesia Diterbitkan

Sindikat terorganisasi, Yakuza, di Jepang mulai mencari peruntungan ke Indonesia. Ciri-cirinya, pencucian uang, perusahaan fiktif, dan main pasar modal. Mengkhawatirkan?

Richard Susilo, 52 tahun, wartawan Indonesia yang menetap di Jepang sejak 1983 dan meneliti kehidupan Yakuza selama 20 tahun, mengungkapkan kisahnya dalam buku Yakuza Indonesia. Buku ini diluncurkan pada 14 Juli 2013 di toko buku Gramedia, Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan.

Buku ini menampilkan sejarah, sepak terjang kelompok seperti mafia Italia ini di Jepang, dan wawancara dengan putra-putri pemimpin Yakuza. Dalam melakukan tugas jurnalistik, Richard pernah bertemu dengan perempuan Indonesia asal Pontianak yang mempunyai suami anggota Yakuza. ”Ia memiliki sumber berita yang banyak dan menarik ditulis,” kata Richard, yang menutup rapat siapa nama jelas sumbernya dengan alasan keamanan dirinya.

Ia juga bertemu Manabu Miyazaki, penulis buku laris tentang Yakuza–salah satunya biografi Toppamono yang sudah dialihbahasakan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris, Cina, dan Korea.

Miyazaki juga putra petinggi Yakuza yang memberi tahu Richard bahwa Yakuza sudah sejak lama masuk ke Indonesia untuk mencari satu tujuan, mencari uang sebanyak mungkin. “Bahkan akan jauh lebih banyak masuk ke Indonesia karena perekonomian sangat baik, pengusaha Jepang semakin banyak berinvestasi,” kata Richard.

Nantinya, Yakuza akan mencari selamat dengan mendekati pihak aparat sebagai backing dan menghindari pertengkaran dengan preman lokal. Invasi Yakuza ke Indonesia (juga ke Thailand dan Filipina) ini disebabkan posisi mereka di Jepang terjepit dengan adanya Undang-Undang Anti-Yakuza yang diberlakukan, sehingga mencari uang di Jepang sangat sulit.

Kelompok ini sudah ada sejak zaman Tokugawa atau zaman Edo, pada 1603–1868 masa Shogun. Pada era itu, ada 500 ribu samurai menganggur (ada yang menjadi pedagang dan ronin atau tunawisma). Sedangkan sisanya menjadi penjudi, pencuri, dan kriminal untuk mendukung kehidupan.

Di Indonesia, Yakuza banyak datang ke Kalimantan untuk bisnis kayu dan tambang, seperti minyak dan batu bara. Juga bisnis energi (listrik dan batu bara) yang melibatkan modal dan uang besar. Di negeri bersangkutan, Yakuza akan mendekati perusahaan Jepang yang menjadi target mangsa bila mendapatkan ancaman dari preman setempat.

Menurut penelitian Richard, kebanyakan Yakuza Jepang di Indonesia melakukan praktek pencucian uang (money laundering) dan mendekati petinggi negara, seperti militer, polisi, dan parlemen. Dari data yang dia peroleh, sekitar Rp 2 triliun milik Yakuza sudah masuk ke Indonesia melalui metode pencucian uang.

Di balik praktek kotor kalangan Yakuza, ada sisi sosial yang ditunjukkan Yakuza. Yakni ketika gempa bumi melanda Kobe, Jepang, pada Januari 1995 yang menelan 6.000 lebih jiwa dan gempa di Fukushima pada 2011. “Mereka membawa bantuan berupa air, makanan, obat sampai beberapa truk,” kata Richard.

Resensi Buku: Hari Terakhir Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, sang imam DI/TII bukan besar di lingkungan pesantren. Dia semasa kecil menempuh pendidikan kolonial Belanda. Hak istimewa ini diperolehnya karena posisi ayahnya yang merupakan mantri pada kantor yang bertugas melakukan koordinasi penjualan candu. Seperti dikutip dari buku Fadli Zon, ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’, Jumat (7/9/2012) dituliskan Kartosoewirjo lahir pada Selasa kliwon, 7 Februari 1905, di Kota Cepu, perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Karena posisi penting ayahnya ini, Kartosoewirjo termasuk salah satu anak negeri uang berkesempatan mengenyam pendidikan modern kolonial Belanda,” tulis Fadli Zon. Saat itu, sekitar tahun 1910, Indonesia atau Hindia Belanda tengah hangat dengan munculnya organisasi pergerakan, yang sebagian besar masih bersifat kedaerahan. Saat itu, tulis Fadli dalam bukunya, sebagai anak mantri atau setingkat sekretaris distrik, Kartosoewirjo bisa mengenyam pendidikan sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse atau sekolah bumiputera kelas dua. Tamat dari sekolah itu, Kartosoewirjo melanjutkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), setelah itu Kartosoewirjo melanjutkan ke ELS (Europeesche Lagere School).

“Untuk orang Indonesia, sekolah HIS dan ELS merupakan sekolah elite, hanya anak Eropa dan Indo yang bisa masuk, serta sekelompok anak bumiputera yang berstatus sosial tinggi, cerdas, dan berbakat,” tulis Fadli. Pada usia 18 tahun, pada 1923, Kartosoewirjo menjadi mahasiswa sekolah dokter Hindia Belanda di Surabaya. Nah, di masa itulah cikal bakal bakat sebagai organisatorisnya mulai muncul. Di Kota Surabaya, Kartosoewirjo menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya, dan bahkan kemudian menjadi ketua cabang. Hingga pada 1925 dia bergabung dengan Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Wiwoho, “Selama di Surabaya, Kartosoewirjo bersama para pemuda lain berkenalan dengan banyak ideologi atau haluan politik dan bentuk perjuangan semuanya mengambil konsep-konsep modern dari Barat,” tulis Fadli lagi.

Pada 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari sekolah kedokteran tersebut. Seperti ditulis Fadli Zon, Kartosoewirjo diangga terlibat gerakan politik. Salah satunya, pihak sekolah menemukan bukti bahwa Kartosoewirjo memiliki buku komunisme dan sosialisme. Buku itu didapat dari pamannya Mas Marco Kartodikromo. Hingga akhirnya, perjalanan politik sesungguhnya Kartosoewirjo dimulai ketika dia berkenalan dengan Tjokroaminoto, yang dikenal sebagai pimpinan Syarikat Islam yang sangat berpengaruh di Jawa.

Di zamannya, Tjokroaminoto merupakan panutan anak muda saat itu. Mulai dari Soekarno, Semaun, hingga Kartosoewirjo berguru kepadanya. Pemimpin Syarikat Islam, organisasi terbesar saat itu pun banyak menelurkan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Fadli Zon dalam buku ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ seperti dikutip detikcom, Jumat (7/9/2012) menulis Tjokroaminoto saat itu disebut Belanda sebagai ‘Raja Jawa Tanpa Mahkota’.

Kartosoewirjo yang kemudian menjadi imam DI/TII, memulai kariernya dengan menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto sekitar tahun 1927. Kartosoewirjo sering menemani perjalanan politik Kartosoewirjo keliling Jawa. “Tjokroaminoto adalah guru politik dan mentor Islamisme Kartosoewirjo,” tulis Fadli Zon. Pada 1929, Kartosoewirjo berhenti karena sakit. Dia pun pindah dan tinggal bersama mertuanya di Malangbong, Garut. Kartosoewirjo sudah menikah dengan Dewi Siti Kalsum, yang juga putra tokoh PSII Ardiwisastra.

Kemudian, Kartosoewirjo pun belajar agama kepada Notodiharjo, tokoh Islam modern. Dia juga belajar pada sejumlah ulama di Bandung dan Tasikmalaya. “Ia juga belajar agama Islam dari buku-buku asing, dan mendalami Alquran dan hadist dari kitab berbahasa Belanda,” tulis Fadli.

Selama aktif di pergerakan Islam, seperti koleganya Soekarno, Kartosoewirjo pun kerap mengenyam dinginnya sel penjara. Kartosoewirjo juga pernah menjadi sekretaris umum PSII, kemudian pimpinan koran harian Fadjar Asia. Saat Jepang masuk Indonesia, Kartosoewirjo juga aktif dalam MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia). Di organisasi itu, Kartosoewirjo memberikan pendidikan pelatihan kemiliteran. “Lulusan pelatihan itu banyak yang akhirnya memasuki organisasi gerilya Islam, seperti Hizbullah dan Sabilillah yang kemudian menjadi Tentara Islam Indonesia,” tulis Fadli.

Hingga kemudian setelah Perjanjian Renville, Kartosoewirjo bersama pasukan Tentara Islam Indonesia yang di bawah komandonya memutuskan memisahkan diri. Pada 1949 dia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Saat itu Jawa Barat memang tengah ditinggalkan TNI sesuai isi perjanjian Renville, merujuk kepada perjanjian Linggarjati, wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura.

Lewat foto-foto di buku Fadli Zon, ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’, terpapar bukti bahwa sang imam DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimakamkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. Lokasi yang juga tempat eksekusi itu kini menjadi tujuan keluarga untuk berziarah. “Kita rencanakan, harus musyawarah bagaimana ziarah ke Pulau Ubi,” jelas putra Kartosoewirjo, Sardjono Kartosoewirjo, saat berbincang, Kamis (6/9/2012).

Selama ini banyak orang menyangka makam Kartosoewirjo yang dieksekusi pada September 1962 berada di Pulau Onrust. Memang sempat tersiar kabar, bahwa makam yang berada di Pulau Onrust, merupakan pindahan dari Pulau Ubi. Namun kabar itu pun belum jelas. “Yang di Pulau onrust kita belum tahu, mungkin saja sudah dibongkar yang di Ubi, dan dipindah ke Onrust. Tapi kan harus dibuktikan forensik. Kita saja belum lihat makam di Ubi, masih ada atau enggak,” jelasnya.

Kartosoewirjo ditangkap pada Juni 1962 di Gunung Geber, Majalaya. Dia dieksekusi pada September 1962. Berdasarkan foto-foto yang didapat Fadli Zon dari seorang kolektor, diketahui lokasi pemakaman Kartosoewirjo berada di Pulau Ubi, dengan sebuah pohon menjadi penanda. Kisah mistis tak lepas dari sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang juga imam DI/TII. Bahkan ada pengikutnya yang meyakini sosok Kartosoewirjo sebagai satria piningit. Apalagi, Kartosoewirjo memang dikenal memiliki sejumlah senjata yang banyak disebut orang bertuah.

“Orang-orang yang bilang bapak terkait mistik, itu pemahaman keliru,” sanggah putra Kartosoewirjo, Sardjono Kartosoewirjo saat berbincang dengan detikcom, Kamis (6/9/2012). Sardjono menegaskan ayahnya manusia biasa. Tak terkait mistik ataupun hal yang berbau takhyul. Namun, dia menuturkan ayahnya itu memang memiliki keris yang dikenal dengan nama Ki Dongkol dan pedang yang diberi nama Ki Rompang. Walau orang banyak menyebut senjata itu sebagai ajimat, Sartono tetap yakin benda-benda itu semata hanya senjata biasa, dan merupakan pemberian orang.

“Keris itu sudah disita tanggal 6 Juni 1962. Benda itu perkakas perang saja, keris itu pemberian. Dulu dapatnya dari tukar menukar cinderamata. Saya enggak tahu siapa yang ngasih, tapi Bapak enggak pernah ngoleksi benda-benda,” jelas Sardjono memberi penegasan. Soal pedang yang disebut sebagai Ki Rompang, yang dia tahu benda itu juga pemberian. Pedang itu sebagai senjata untuk perang dan diberi seseorang sebagai hadiah. Bukan terkait jimat atau mistik.

“Pedang itu juga disita, dulu ada di musium Siliwangi Bandung, tapi enggak tahu apa itu asli atau duplikasi,” tutur Sardjono. Soal keris dan pedang, memang sempat menjadi cerita di masyarakat kala itu. Kartosoewirjo dianggap kebal dan terlindungi dari kejaran tentara. Sartono kembali menegaskan lewat foto-foto yang dipublikasikan di buku Fadli Zon ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ terpapar bukti ayahnya manusia biasa.

“Dengan foto-foto kemarin dibuktikan, mistik itu enggak ada. Kepercayaan itu sesuatu yang sesat. Karena bapak juga tidak kebal saat ditembak,” jelas Sardjono. Rolex dikenal sebagai jam tangan mewah. Hanya kalangan atas saja yang bisa memakainya. Tapi siapa sangka kalau imam DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo penyuka Rolex. Saat ditangkap di Gunung Geber, Majalaya, jam tangan Rolex ada pada dirinya. Seperti dituliskan dalam buku Fadli Zon ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’, salah satu yang diserahkan Kartosoewirjo untuk dikembalikan ke keluarga adalah jam tangan Rolex. Kabarnya setelah dikembalikan ke keluarga, jam tangan itu hilang dicuri.

Berbicara soal Rolex yang dikenakan Kartosoewirjo, sang anak Sardjono angkat bicara. Jam tangan seperti itu, di masa ayahnya, umum dipakai seorang pemimpin. Jadi hal yang biasa. “Itu jam prosedur standar, untuk pemimpin saat itu,” kata Sardjono Kartosoewirjo saat berbincang dengan detikcom, Kamis (6/9/2012). Soal Rolex itu pun, Sardjono mengaku tidak tahu asal muasalnya. Entah diberi seseorang atau membeli sendiri. Dia hanya tahu, ayahnya sudah memakai jam tangan itu. “Saya enggak tahu dari mana. Enggak ada cerita di keluarga. Pemimpin yang lain juga pakai itu,” jelas Sardjono.

Kartosoewirjo ditangkap pada Juni 1962. Saat ditangkap, seperti ditulis Fadli Zon, kondisi Kartosoewirjo mengenaskan. Pria yang memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949 itu dalam kondisi kekurangan makan dan kurus. Kartosoewirjo dieksekusi mati pada September 1962 di Pulau Ubi. Dia pun dimakamkan di pulau yang berada di gugusan Kepulauan Seribu itu. Pemimpin DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tewas di tangan regu tembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. Foto-foto yang dimuat di buku Fadli Zon berjudul ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ membuka selubung misteri mengenai kematian pria yang memproklamirkan negara Islam Indonesia ini.

Jauh sebelum foto ini terungkap ke publik, berbagai informasi soal kematian Kartosoewirjo memang simpang siur. Saat itu sekitar tahun 1962, sudah jelas Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Geber, Majalaya oleh TNI. Namun ada saja berkembang di masyarakat soal cerita sosok Kartosoewirjo yang masih hidup. Ada yang mengaku melihat Kartosoewirjo di daerah A, atau daerah B. Maklum saja, Kartosoewirjo dikenal pengikutnya sebagai Imam Mahdi atau Ratu Adil. Bukan soal cerita yang masih hidup, lokasi kuburan Kartosoewirjo pun tak jelas. Banyak yang meyakini bahwa kuburan Kartosoewirjo di Pulau Onrust.

Seperti dikutip detikcom dari buku Fadli Zon, Kamis (6/9/2012), lewat foto-foto itu, tampak jelas bahwa Kartosoewirjo tewas di tangan regu tembak dan dimakamkan di Pulau Ubi. Lebih dari soal itu, ada yang menarik bila melihat foto-foto yang ditampilkan di buku itu. Menjelang eksekusi Kartosoewirjo berpakaian putih-putih. Menjelang kapal berlabuh di lokasi eksekusi pun, celana hitam Kartosoewirjo diganti menjadi celana putih.

Bukan hanya itu saja, bila diperhatikan dalam rangkaian foto-foto, terlihat tutup mata yang dipakai pun berwarna putih. Padahal biasanya, tutup mata yang dipakai dalam eksekusi berwarna hitam. Tapi, peci hitam tak lepas dari kepalanya. Apa makna warna putih itu? Mungkin saja hal itu bermakna putih adalah bersih. Mungkin saja itu permintaan Kartosoewirjo. Tapi sayangnya tak ada penjelasan dalam foto itu. Hanya disebutkan saja, Kartosoewirjo berganti pakaian dengan yang berwarna putih.

Pemimpin DI/TII Kartosoewirjo yang kerap dipanggil ‘sang imam’ oleh pengikutnya dieksekusi regu tembak di Pulau Ubi di Kepulauan Seribu. Lewat buku Fadli Zon berjudul ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ yang memuat foto ekslusif detik-detik pelaksanaan eksekusi.

Fadli mengaku memperoleh foto-foto itu dari seorang kolektor 2 tahun lalu. Hingga kemudian pada Rabu (5/9), Fadli Zon yang concern dengan sejarah Indonesia ini berani meluncurkan buku untuk meluruskan sejarah. Bukan apa-apa, selama ini isu soal Kartosoewirjo selalu simpang siur. Mulai dari perlakuan yang tak pantas saat eksekusi hingga lokasi penguburan yang tidak jelas. Melalui buku yang gamblang menampilkan 81 foto itu semua terjawab. Kartosoewirjo di kalangan pengikutnya memang memiliki banyak mitos. Bahkan ada yang menyebut dia sebagai Imam Mahdi. Kartosoewirjo memproklamirkan negara Islam Indonesia pada tahun 1949 di Tasikmalaya.

Cap makar dan pemberontak pun dialamatkan pada Kartosoewirjo, hingga akhirnya pada Juni 1962 dia ditangkap di Garut. Dalam pengadilan militer dia divonis hukuman mati. Grasi (permohonan yang juga pernyataan bersalah) yang diajukan ke Presiden Soekarno ditolak. Awal September 1962, Kartosoewirjo diekseskusi di Pulau Ubi. Berikut 13 momen, detik-detik Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi yang dikutip dari buku Fadli Zon:

1. Menginjakkan kaki di Pulau ‘eksekusi’ Ubi
Setelah jamuan makan bersama dengan keluarga dan melakukan salat taubat, Kartosoewirjo digiring menuju Pulau Ubi. Dengan tangan di borgol dia dibawa ke kapal. Sebelumnya tim dokter memeriksa kesehatan Kartosoewirjo. Seorang rohaniawan dari TNI pun selalu mendampingi. Sesaat sebelum kapal merapat ke Pulau Ubi, Kartosoewirjo diminta berganti pakaian dengan baju putih-putih. Matanya pun ditutup dengan sehelai kain putih. Dipandu polisi militer, Kartosoewirjo berjalan keluar kapal menginjakkan kaki di Pulau Ubi.

2. Menuju tiang eksekusi
Peci hitam, kemeja dan celana putih dikenakan Kartosoewirjo saat melangkah menuju tempat eksekusi. Mata sang imam DI/TII itu pun ditutup dengan kain putih. Dua petugas memapahnya menuju tiang eksekusi, sebilah kayu yang terpancang di atas tanah Pulau Ubi. Tangan Kartosoewirjo tak diborgol. Dia dikelilingi petugas bersenjata saat berjalan menuju tiang eksekusi. Tak ada perbincangan dalam perjalanan singkat itu.

3. Diikat ke tiang eksekusi
Kartosoewirjo tampak pasrah diikat ke tiang eksekusi. Begitu tiba di lokasi ekseksusi, dia langsung diikat dengan tangan di belakang dan tubuh bagian muka menghadap ke regu tembak. Seorang rohaniawan dari TNI terus mendampingi Kartosoewirjo, membantunya berdoa. Sedang beberapa tentara memastikan bahwa ikatan dilakukan dengan kuat. Ketika semua sudah siap, regu tembak mengambil posisi.

4. Berdoa sebelum regu tembak beraksi
Doa dipanjatkan Kartosoewirjo menjelang pelaksanaan eksekusi. Sang rohaniawan yang menemaninya sejak di kapal terus membimbingnya, membantu Kartosoewirjo melafalkan doa. Selama beberapa saat sebelum pelaksanaan eksekusi, Kartosoewirjo diberi kesempatan berdoa. Sedang regu tembak terus mempersiapkan diri. Ada 12 anggota regu tembak yang siap melaksanakan eksekusi.

5. Regu tembak bersiap eksekusi Kartosoewirjo
12 Anggota regu tembak bersiap melaksanakan perintah eksekusi. Oditur militer sudah menerima laporan komandan regu tembak. Kartosoewirjo sudah berdiri sendiri di tiang eksekusi. Oditur militer dan komandan regu tembak memeriksa barisan. Regu tembak yang bersenjata lengkap dan mengenakan helm perang dalam posisi siaga. Pelaksanaan eksekusi tinggal menunggu waktu.

6. Regu tembak mengokang senjata membidik Kartosoewirjo
Pemeriksaan barisan regu tembak yang dilakukan oditur militer selesai. 12 Anggota regu tembak pun bersiap mengokang senjata. Tak ada yang tahu, di pistol mana peluru berada. Kartosoewirjo pun sudah siap di tiang eksekusi. Tak ada gerakan lagi dari Kartosoewirjo. Dia hanya menunggu peluru menembus tubuhnya. Rohaniawan dan sejumlah tentara menyaksikan dari pingggir. Mereka memperhatikan jalannya eksekusi.

7. Kartosoewirjo terkulai, 5 peluru menembus dadanya
Dalam hitungan detik eksekusi selesai dilaksanakan. 5 Peluru menembus dada kiri Kartosoewirjo. Sang imam terkulai lemah. Tampak jelas 5 lubang di baju kiri di bagian dada Kartosoewirjo Oditur militer kemudian berbicara pada komandan regu tembak. Harus dipastikan bahwa Kartosoewirjo benar-benar sudah meninggal. Sang komandan pun kemudian menyiapkan pistolnya untuk eksekusi terakhir Kartosoewirjo.

8. Peluru terakhir untuk Kartosoewirjo
Peluru terakhir diletuskan komandan regu tembak untuk Kartosoewirjo. Penembakan terakhir yang dilakukan sang komandan memang merupakan tahapan prosedur guna memastikan terpidana yang dieksekusi tidak menderita. Komandan regu tembak itu, sesuai prosedur melalui perintah oditur militer. Pistol dia pun dicek lebih dahulu. Selesai diperiksa, dengan pistol di tangan sang komandan melangkah mendekati tiang eksekusi untuk mengambil tembakan terakhir.

9. Tim dokter cek tanda kehidupan di tubuh Kartosoewirjo
Usai peluru terakhir disarangkan, tim dokter kembali melakukan pengecekan memastikan terpidana benar-benar sudah meninggal dunia. Tampak darah menetes dari dada Kartosoewirjo yang sudah tak bernyawa.Dokter memastikan Kartosoewirjo meninggal dunia dengan peluru mengenai jantung. Jasad Kartosoewirjo pun dilepaskan dari tiang eksekusi dibawa menuju ke tempat pemandian.

10. Dilepaskan dari tiang eksekusi
Sejumlah anggota TNI menyiapkan tandu untuk menggotong tubuh tak bernyawa Kartosoewirjo. Sesuai ajaran islam, jenazah sebelum dikubur dimandikan lebih dahulu. Tak ada air tawar di Pulau Ubi, maka air laut pun digunakan. Dipandu rohaniawan dari TNI, jenazah dimandikan sesuai aturan Islam. Usai dimandikan, petugas kemudian mengkafani dengan kain putih jasad Kartosoewirjo. Semua dilakukan sesuai aturan Islam.

11. Salat jenazah
Salat jenazah digelar rohaniawan dari TNI. 3 Orang menjadi makmumnya. Mereka menyalati Kartosoewirjo yang sudah dibungkus kafan dan diletakkkan di atas tandu. Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi dan dimakamkan di pulau itu juga. Foto-foto yang diungkap Fadli Zon dalam bukunya ini yang meluruskan sejarah, dahulu orang percaya bahwa Kartosoewirjo dikubur di Pulau Onrust. Kini terpapar bukti, Pulau Ubi menjadi lokasi penguburan Kartosoewirjo

12. Kuburan tak bernisan di bawah pohon di Pulau Ubi
Usai salat jenazah, Kartosoewirjo dikuburkan di bawah pohon di Pulau Ubi. Tak ada nisan di kuburan itu. Hanya pohon yang menjadi penanda. Kuburan digali sedalam 1 meter. Usai jasad diletakkan menghadap kiblat, papan kemudian menjadi penutup lubang. Usai dikuburkan, sejumlah petugas berdoa di depan kuburan Kartosoewirjo. Doa dipanjatkan untuk imam DI/TII yang tewas dieksekusi atas pidana makar.

13. Tiang eksekusi dibakar
Usai penguburan, tim regu tembak dan seluruh petugas meninggalkan Pulau Ubi. Namun sebelumnya, tiang eksekusi dibakar dan juga sejumlah perlengkapan lain. Ketika semua prosesi selesai, semua petugas bergerak kembali ke kapal. Pulau Ubi pun ditinggalkan, kapal berlayar kembali ke Jakarta.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Geber, Majalaya pada Juni 1962. Pasukan TNI dari Divisi Siliwangi kemudian menahannya untuk diadili. Mahkamah Militer memvonisnya hukuman mati atas tuduhan makar.

Seperti dituliskan dalam buku Fadli Zon, ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ seperti dikutip detikcom, Jumat (7/9/2012), sang terpidana meminta agar bisa bertemu keluarganya sebelum dieksekusi. September 1962, istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, dan lima orang anaknya yakni Tahmid Basuki Rahmat, Dodo Mohammad Darda, Kartika, Komalasari, dan Danti, berkumpul bersama Kartosoewirjo mengadakan jamuan makan bersama terakhir kalinya. Nasi dan rendang menjadi santapan. Dalam buku Fadli Zon yang akan beredar di toko buku mulai pekan mendatang itu, terpapar sejumlah rangkaian foto saat terakhir Kartosoewirjo bersama keluarga. Kartosoewirjo juga tampak memberikan petuah untuk istri dan anak-anaknya.

Berikut 5 momen saat terakhir Kartosoewirjo di tengah keluarga seperti dinukil dari buku Fadli Zon:

1. Bertemu keluarga
Salah satu permintaan Kartosoewirjo kepada Mahkamah Militer adalah bertemu keluarga. Mahkamah pun mengabulkan permintaan itu. Istri dan anak Kartosoewirjo dipanggil bertemu dengan sang imam DI/TII terakhir kalinya. Kartosoewirjo dalam foto tampak santai. Tak ada cemas di wajahnya, dia terlihat tenang. Sebatang rokok juga terlihat di tangannya. Sedang sang istri yang datang bersama 5 anaknya pun terlihat menikmati pertemuan itu. Terlihat selendang putih melingkar di bahu sang istri. Anak-anaknya tampak memperhatikan sang ayah yang sebentar lagi akan dieksekusi.

2. Makan nasi rendang
Pertemuan yang dilakukan siang itu, antara Kartosoewirjo dan keluarga diisi dengan santap siang bersama. Pihak TNI memberikan nasi dan rendang untuk dimakan. Keluarga Kartosoewirjo pun menikmati santapan itu dengan lahap, bahkan sang istri disebutkan sampai kepedasan karena tak terbiasa menyantap rendang. Tapi, dalam foto itu disebutkan, Kartosoewirjo sama sekali tidak makan nasi dan rendang itu. Dia tidak mau makan. Dia hanya minum, menikmati rokok, dan memperhatikan keluarganya yang menyantap makan siang. Kartosoewirjo pun terkadang menengahi dengan candaan-candaan ringan. Sang istri kadang tersenyum, sedang anak-anaknya memperhatikan dengan serius.

3. Minum kopi dan merokok
Kartosoewirjo entah karena alasan apa, menolak makan. Nasi dan rendang yang diberikan oditur militer tak disentuhnya. Namun dia menikmati momen bersama keluarga itu. Hanya kopi dan rokok yang dia minta. Sambil melihat keluarganya menyantap makanan, Kartosoewirjo pun berbagi cerita dan senda gurau. Waktu terus berlalu, detik-detik jelang eksekusi semakin dekat. Sang istri dan juga Kartosoewirjo tampak santai. Raut wajah mereka tidak memperlihatkan ketegangan. Bahkan di foto terlihat senyum keduanya.

4. Petuah terakhir
Selesai bersantap siang dan berbincang dengan keluarga, pihak oditur militer memberikan kesempatan kepada Kartosoewirjo memberikan pesan terakhir. Sempat berpikir sejenak, akhirnya Kartosoewirjo memberikan wasiat terakhir kepada istri dan anak-anaknya. Putra Kartosoewirjo, Sardjono yang saat itu tidak hadir karena masih kecil, namun diceritakan kakaknya, salah satu pesan sang ayah adalah agar agar anak-anaknya menjadi mujahidin dan muslim yang baik, serta menjaga ibu mereka. Seluruh keluarga mendengarkan dengan seksama petuah yang disampaikan sang ayah. Seorang anak Kartosoewirjo tampak menulis di sebuah kertas pesan-pesan dari ayahnya itu.

5. Salam perpisahan dan foto bersama keluarga
Keluarga Kartosoewirjo akhirnya harus berpisah dengan sang ayah. Mereka pun menyempatkan diri berfoto bersama. Salam perpisahan dan pelukan sayang sudah dilakukan. Air mata juga tumpah dalam perpisahan terakhir sebelum eksekusi. Keluarga Kartosoewirjo sudah siap dengan eksekusi yang akan dijalani sang ayah. Pihak militer memang tidak memperkenankan salah satu anggota keluarga untuk ikut ke tempat eksekusi. Saat berpisah tiba, keluarga pun meninggalkan Kartosoewirjo, setelah jamuan terakhir.

Buku Baru: Tidur dengan Musuh: Rahasia Perang Coco Chanel Yang Ternyata Agen Nazi

Perancang busana Prancis Coco Chanel menjadi mata-mata bagi Nazi dalam pendudukan Jerman di Prancis pada Perang Dunia II, berdasarkan sebuah buku baru yang dijual, Selasa.

Buku berjudul “Tidur dengan Musuh: Rahasia Perang Coco Chanel” karya Hal Vaughan memaparkan bukti-bukti mengenai kehidupan ganda perancang busana ikonik itu yang merupakan kekasih dari mata-mata, Baron Hans Gunther von Dincklage.

“Buku itu menjelaskan mengenai bagaimana Coco Chanel menjadi bagian dari operasi intelijen Jerman, bagaimana dia terdaftar dalam sejumlah misi mata-mata, bagaimana menghindari penangkapan di Perancis pasca-perang,” kata penerbit Knopf asal New York dalam sebuah pernyataan.

Buku Vaughan mengungkapkan bahwa tidak hanya Chanel direkrut untuk menjadi bagian dari organisasi militer Abwehr namun juga bahwa Dincklage sendiri adalah “mata-mata utama Nazi”.

Dia “menjalankan sebuah tim mata-mata di Mediterania dan Paris serta melaporkan langsung kepada Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels, tangan kanan Hitler.”

Chanel juga anti-Semit, menurut buku itu, sekalipun pada waktu itu ia tidak akan tampak menonjol di jajaran sejumlah rekan-rekannya yang kemudian tampak bekerja sama selama masa pendudukan 1940-1944.

Chanel, seorang anak yatim yang menjadi perancang busana revolusioner Prancis, pindah ke Swiss setelah perang sebelum kembali ke Paris untuk melanjutkan karirnya di bidang mode. Dia tidak pernah dituntut melakukan tindak kejahatan dan meninggal pada 1971.

Buku Baru: The Dancing Leader

Buku setebal lebih dari 700 halaman ini ditulis oleh 45 pakar dari berbagai bidang keilmuan dan pengalaman. Rentang keahliannya cukup lebar dari ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial dengan turunannya yang cukup spesifik.

Mereka berasal dari kalangan akademisi, praktisi, swasta, dan pemerintahan. Penggagas awal dan kordinator tim editor adalah Jusuf Sutanto yang dikenal sebagai filsuf Timur dan berpangalaman dalam dunia bisnis pangan.

Dari banyaknya kontributor dan keragamannya terlihat memang tidak mudah untuk membuat buku sejenis The Dancing Leader (TDL) ini.

Diawali dengan keinginan mengisi hari-hari besar Indonesia, para kontributor mengharapkan adanya suatu pendekatan holistik terhadap permasalahan umat manusia, khususnya bangsa Indonesia yang diduga akan semakin kompleks.

Ledakan penduduk yang sulit disetop ini tentu akan menuntut pemikir, ilmuwan, praktisi, dunia pendidikan, pemerintahan, swasta dari berbagai sektor kehidupan untuk bersama-sama mencari solusi terhadap persoalan dengan pendekatan holistik, integratif, dan transdisiplin. Atas dasar keinginan itulah buku ini disusun.

TDL mencoba menyodorkan pendekatan transdisiplin terhadap persoalan bangsa yang saling kait mengait, rumit, dan berliku. Di situlah pentingnya the dancing leader yang dapat melihat dengan telinga dan mendengar dengan hati. Sensitif terhadap persoalan kebangsaan dan kemanusiaan lalu mampu menjalankan ide-ide solutif dan tidak terlalu banyak berwacana.

Momen demi momen lebur menyatu dengan persoalan kemanusiaan dan semesta, bebas dari perasaan menjadi orang penting yang mengemban amanah suci. Kecepatan, ketepan, keindahan, dan keteraturan yang dilandasi dengan kecintaan adalah tipe-tipe pemimpin yang memahami sejarah, kekinian, dan masa depan bangsa.

Buku ini terdiri atas empat bab diawali dengan sambutan-sambutan bermakna dari para pemimpin universitas. Rektor Universitas Pancasila menitikberatkan sambutannya pada tema perguruan tinggi sebagai pusat peradaban.

Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia mengangkat isu pemahaman seni memimpin dari pertanian holistik. Berikutnya, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah mengapresiasi TDL dan mengajak menari bersama semesta.

Rektor Universitas Kristen Satya Wacana menekankan betapa indahnya keragaman. Rektor Universitas Sanata Dharma mengetengahkan perilah keanekaragaman hayati di Indonesia. Mereka bisa dikatakan sebagai pemimpin yang mempunyai kriteria the dancing leader: kecepatan bertindak, penyatuan visi dan aksi, pengatur suara-suara orkestra besar sehingga enak didengar dan indah dipandang.

Bab I yang diberi judul Tarian Kepemimpinan itu memuat tulisan-tulisan yang mendasari betapa pentingnya leadership untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Indonesia pada hakekatnya mempunyai sebuah peradaban tinggi yang dapat menjadi modal kebanggaan jati diri bangsa lalu menjadi landasan untuk bergerak maju menghadapi berbagai tantangan.

Keyakinan untuk maju dalam kemajemukan bangsa akan membawa Indonesia menjadi negara terhormat yang disegani bangsa-bangsa lain di dunia ini. Rocky Gerung menekankan bahwa peradaban jauh lebih penting dari sekedar memenuhi kebutuhan material yang justru bisa membawa manusia ke wilayah terpuruk. Azyumardi Azra menekankan bahwa modal multikulural Indonesia itu sangat baik dalam membangun masa depan melalui kaidah-kaidah Pancasila.

Untuk itu, Daoed Joesoef mengajak kita untuk mencari kriteria-kriteria pemimpian yang relevan dalam pembangunan Indonesia ke arah yang sangat cerah. Sudarsono Hardjosoekarto menyodorkan pemikiran learning leader, learning people dan learning organzitation. Sarlito W. Sarwono mengajak pemimpin untuk mampu berinteraksi dengan masyarakat secara terus menerus dan melakukan upaya learning by doing.

Penguasa dan pengusaha kadang-kadang membuat ‘sikon’ menjadi sumir. Ketidaktahanan akan bujukan material sering membuat penguasa menjadi bermata lamur. Pemimpin harus mampu menekankan betapa pentingnya hal-hal yang bersifat immaterial.

Akan tetapi, Christianto Wibisono mengangkat betapa pentingnya meritokrasi dalam birokrasi pemerintahan untuk menghindari penguasa menjadi pengusaha atau sebaliknya. Kepentingan untuk diri sendiri dan kelompok sempitnya harus di bawah kepentingan negara dan umum.

Pada hakekatnya menurut Vincentius Y. Jolasa adalah ikhtiar untuk menghasilkan pemimpin yang tanggap dan sukses melalui pemaknaan kepemimpinan yang ditopang oleh komunikasi transfromatif, kecakapan merancang, menerapkan dan berpartisipasi dalam dinamika sosial,ekonomi, dan politik yang dicita-citakan bersama.

Krishnanda W. Mukti mengajak kepimimpinan berbasis kesadaran bukan membuat orang menjadi tunduk, tergantung dan takut kepada pemimpin. Proses penyadaran dan kecintaan terhadap bangsa dan negara untuk menjadikan negara lebih bermartabat, terhormat, dan penuh dengan inovasi-inovasi adalah bagian inti dari pendidikan.

Itulah sebabnya Asep Saefuddin menekankan bahwa segala sesuatunya bermula dari pendidikan yang sangat esensial, bukan sekadar melatih keterampilan teknis.

Hemawan Kartajaya mengingatkan kita bahwa dunia sudah berubah dan akan terus berubah. Hanya bangsa yang pandai mengolah perubahan yang akan mampu bertahan dan menang dalam menghadapi tantangan.

Dewasa ini dalam dunia bisnis saja harus menguasi nilai, value driven, yang mendekati pelanggan sebagai manusia utuh dengan kesatuan pikiran, perasaan, dan jiwa.

Selain itu, Sudhamek A.W.S. menyarankan bangsa untuk mampu membangun budaya kompetitif yang positif melalui pengembangan kepemimpinan unggul. Ronny Adhikarya mengusung pemikiran yang tidak ‘bekutet’ di dalam kotak, rutin dan pengap.

Akan tetapi, pemimpin harus mampu berpikir di luar kotak, thinking out of the box, dengan aplikasi ilmu menjadi tacit knowledge. Di situlah pentingnya motivasi seperti yang dibahas oleh Eko Legowo. Jiwa kewirausahaan sangat perlu untuk menjadi pemimpin dengan nilai-nilai agama sebagai dasar penguatan mental.

Haidar Bagir menyadari betapa pentingnya cinta dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dikatakan Rumi bahwa cinta adalah pengggerak segalanya.

Ricardi S. Adnan menganalisis bahwa masih besar kesenjangan di dunia politik, terutama antara janji kampanye dan realisasinya. Politik memang sangat perlu di dalam sebuah negara. Namun, tanpa landasan kejujuran dan niat baik mambangun bangsa secara kokoh politik hanya akan membuat masyarakat nelangsa.

Untuk itu perlu ada dialog terus menerus antarmasyarakat dan pemimpin. St. Sularto menyarankan perlu adanya pemimpin penuh kharisma untuk mengurangi kesenjangan antara keadaan saat ini (das scin) dan das sollen (keadaan ideal yang diinginkan). Bab ini ditutup oleh Tu Weiming yang menyarankan agar kita tidak sekedar manusia antropologis tetapi total kosmologis.

Bab II berjudul Tarian Pangan, Energi dan Kewirausahaan itu merupakan pemikiran para ahli bagaimana secara riil pemimpin menghadapi kenyataan dunia. Pembangunan pertanian adalah awal dari peradaban. Peperangan juga bisa berawal dari persoalan pangan sehingga tidak salah kalau the angry man adalah the hungry man.

F. Welirang menerangkan bahwa persoalan pangan dan pertanian sangat kait mengait dengan berbagai faktor lainnya di dunia. Di sinilah betapa pentingnya kebijakan unity in diversity. S. Nagarajan, saintis pertanian India, menulis tentang belajar dari India, menegaskan bahwa India dengan penduduk 1,1 miliar itu sedang menikmati ketahanan pangan yang terus harus dibangun melalui tarian-tarian ilmu pengetahuan untuk kehidupan.

Kaman Nainggolan menjelaskan tujuh masalah strategis yang memerlukan kebijakan integratif dan pemimpin yang siap melayani. Sejalan dengan Subejo yang menekankan bahwa keadaan ini menuntut pemimpin yang mempunyai visi jauh ke depan. Dipertegas oleh Soemarno bahwa upaya kesinambungan dan kearifan dalam mengelola Bunda Alam, the mother of nature.

Fransika Z. Rungkat membahas tentang pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang tidak pernah bisa ditunda, karena manusia tidak bisa menimbun pangan di dalam perutnya. E. Gumbira Sa’id menyarankan adanya kepemimpinan inovatif berbasis agribisnis dna agroindustri.

Untuk itu diperlukan peran litbang dalam membangun komoditas unggulan nasional, misalnya, kelapa sawit. Saran tambahan dari Rachmat Pambudy adalah kepemimpinan entrepreneur dalam sistem agribisnis.

Di dalam perlombaan kemandirian pangan dunia, tidak pelak lagi merembet ke persoalan pemanasan global seperti yang disitir Purwiyatno Hariyadi. Dus, semua jenis pembangunan, termasuk pertanian diperlukan kepemimpinan yang prolingkungan hidup.

Perguruan tinggi mempunyai kesempatan emas untuk menata ulang ranah keilmuan agar tidak terlalu terkotak-kotak sehingga menjadi kaku. Persoalan lingkungan adalah persoalan dunia yang harus dihadapi secara interdisiplin bahkan transdisiplin.

Didiek H. Goenadi mengupas pentingnya hubungan antara teknologi dan langgam keilmuan. Teknologi seperti ini dihasilkan oleh sebuah aktivitas riset yang fokus dan aplikatif untuk dunia usaha. Sinkronisasi ini bagaikan orkestra yang enak didengar dan menyejukkan sesuai dengan harapan pengguna iptek seperti yang diulas oleh L. Wijayanti.

Arnold Soetrisnanto menyarankan perluasan porsi green energy yang semakin urgen dirasakan, apalagi setelah ada betapa hebatnya efek stunami di Jepang terhadap rusaknya stasiun energi nuklir di Fukuyama. Hal ini selaras dengan pandangan Clara M. Kusharto untuk memperhatikan isu-isu global yang berkaitan dengan kesehatan.

Dalam pandangan Bambang Ismawan, semua kegiatan pembangunan ini tidak bisa menihilkan peranan masyarakat agar terjadi keoptimuman hasil.

Bab III berjudul belajar arif dari orang sederhana isinya merupakan kumpulan kisah-kisah bijak baik berupa kisah nyata atau bukan yang secara esensial sangat baik untuk kehidupan masa depan. Kisah-kisah ini dikemas dengan cerdik oleh Muhammad Muhajirin dan Paul K. Somalinggi.

Belajar dari kisah nyata dan probe ini diharapkan dapat membangun rasa bijak kita yang semakin dituntut dalam peradaban yang semakin kompleks. Adapun Bab IV berisikan makalah-makalah dan diharapkan merujuk ke sebuah titik. Akan tetapi, tetap belum tercapai titik karena perjuangan TDL saat ini baru koma.

Punawan Junadi menyodorkan sebuah transformasi dengan friksi minimal, cerdas dan sehat. Lalu dipertegas oleh Irid Agoes betapa pentingnya pemahaman antarbudaya sebagai jendela perdamaian dunia.

Tim editor menyadari bahwa TDL ini harus diteruskan oleh TDL-TDL berikutnya yang semakin menukik dan operationable.

Di dalam bab terakhir ini disisipkan epilog-epilog. Misalnya, Siswono Yudo Husodo membuat epilog tentang revitalisasi dan reinterpretasi nasionalisme. Disusul oleh epilog Joko Widodo yang menyarankan agar pemimpin harus belajar sabar dari masyarakat. Dilanjutkan oleh Jusuf Sutanto yang mengangkat epilog tentang berguru dari para leluhur dan menemukan alam di dalam tepung beras. Sebagai negara berbasis kepulauan, Arif Satria menyodorkan konsep kepemimpinan lautan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi landasan berpikir holistik dan transdisiplin menghadapi persoalan dunia yang cenderung semakin rumit. Mereka yang berada di dunia pendidikan dan keilmuan tidak bisa berdiri di ruang hampa dan kering dari pengalaman.

Mereka yang berada di lapangan tidak mungkin menganggap remeh ilmu pengetahuan. Keduanya saling mengisi dan membutuhkan.

Mesin ilmu pengetahuan akan berjalan dengan baik bila diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dus, para pemimpin harus memahami kedua aspek tersebut atau dalam bahasa lain pemimpin harus mampu berilmu amaliah dan beramal ilmiah.

Selain itu, para pemimpin dan seluruh masyarakat janganlah merasa bosan untuk terus mendengungkan kecintaan terhadap Indonesia.