Monthly Archives: November 2008

Puluhan Ribu Guru Honorer Di Provinsi Lampung Hidup Sangat Memprihatinkan Dengan 100ribu Perbulan

Sebanyak 53.317 guru honorer murni di Provinsi Lampung hidup memprihatinkan. Gaji mereka jauh di bawah upah minimum regional, hanya Rp 100.000-Rp 300.000 per bulan. Selain itu, mereka kurang mendapat kesempatan belajar untuk dapat mengembangkan karier.

Guru honorer mendesak Pemerintah Provinsi dan DPRD Lampung memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kesempatan belajar untuk meningkatkan mutu guru, serta kesetaraan kesempatan menjadi pegawai tetap seperti guru berstatus PNS. Hal serupa juga dituntut oleh guru honorer di Jawa Barat.

Ketua Persatuan Guru Honorer Murni (PGHM) Lampung Andi Warisno, Selasa (25/11), pada acara dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Lampung, mengatakan, guru honorer murni merupakan guru yang diangkat sekolah atau yayasan penyelenggara pendidikan. Rata-rata pendidikan mereka SMA atau SMK, sangat sedikit yang sarjana.

Rendahnya gaji menyebabkan guru honorer tidak bisa melanjutkan sekolah untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi.

Rahmat Tri Mulyo, guru honorer dari SMK Muhammadiyah Metro, mengungkapkan, ia mendapat gaji Rp 250.000 per bulan karena merangkap jabatan sebagai wakil kepala sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia harus nyambi pekerjaan lain.

Menurut Andi, pemerintah sudah berupaya membantu guru honorer. Namun, bantuan sebesar Rp 3 juta per guru per tahun hanya untuk 3.380 guru honorer di daerah terpencil. Artinya, bantuan hanya untuk sebagian kecil guru honorer.

PGHM Lampung mendesak agar peningkatan kesejahteraan guru dijadikan peraturan daerah.

Kepala Dinas Pendidikan Lampung Johnson Napitupulu mengatakan, Pemprov Lampung menaikkan jumlah penerima bantuan lewat APBD. Tahun 2009, guru honorer penerima bantuan menjadi 6.000 guru.

Menurut Napitupulu, Pemprov Lampung belum bisa membantu seluruh guru honorer akibat keterbatasan anggaran.

Anggota Komisi D DPRD Lampung, Tulus Purnomo, mengatakan, agar guru honorer bisa menjadi pegawai tetap, mereka bisa mengisi kekosongan guru tetap periode Inpres I yang tahun 2009-2010 akan pensiun.

Dalam peringatan Hari Guru Nasional di Bandung, Forum Guru Swasta Jabar menuntut perlakuan layak dari pemerintah. Jika tidak bisa mengangkat menjadi PNS, setidaknya ada jaminan kesejahteraan yang layak.

Berpegang pada Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Koordinator Forum Guru Swasta Jabar Dede Permana mengatakan, setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

”Kenyataannya masih terjadi diskriminasi terhadap guru honorer. Guru negeri mendapat gaji pokok minimal Rp 2 juta dan tunjangan lain, sementara guru swasta masih ada yang bergaji Rp 50.000-Rp 150.000,” katanya.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan, sudah saatnya pemerintah memerhatikan kesejahteraan guru swasta, khususnya honorer.

Sementara itu, Rektor Universitas Negeri Surabaya Haris Supratno mengatakan, di Indonesia tercatat sekitar 2,7 juta guru. Namun, baru satu juta guru berpendidikan minimal sarjana. ”Sisanya belum menyelesaikan pendidikan sarjana. Bahkan, banyak yang hanya menyelesaikan pendidikan guru setara diploma satu,” katanya di Surabaya.

Akibatnya, mereka tidak bisa ikut sertifikasi guru sehingga tak bisa menikmati tunjangan profesi. Padahal, sebagian besar dari mereka sudah mengajar puluhan tahun

Penerbit Masih Andalkan Buku Sekolah Sebagai Omzet Terbesar

Buku pelajaran sekolah masih menjadi andalan para penerbit. Hal itu karena oplah buku pelajaran sangat besar dibandingkan dengan buku bacaan umum. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang menerbitkan buku pelajaran sekolah online sangat memengaruhi penerbit buku.

Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Setia Dharma Madjid, mengatakan, Senin (24/11) di Jakarta, dari sisi jumlah judul, buku umum jauh lebih banyak ketimbang buku pelajaran. Namun, sebaliknya dari sisi oplah.

”Satu judul buku umum biasanya dicetak sekitar 3.000- 5.000 eksemplar, sedangkan buku pelajaran, satu judul bisa mencapai 100.000 eksemplar,” kata Setia Dharma.

Ketua Bidang Buku Pelajaran dan Umum Ikapi, Saiful Bahri, menjelaskan bahwa oplah buku pelajaran sekitar 75 persen dan buku umum 25 persen dari keseluruhan buku yang diter- bitkan oleh penerbit anggota Ikapi.

Hal itu tak mengherankan mengingat jumlah pelajar dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan kejuruan sekitar 50 juta siswa. Dia mengatakan, buku pelajaran mau tidak mau menopang industri penerbitan dan perbukuan.

Dari sekitar 900 penerbit anggota Ikapi, sebanyak 250 penerbit di antaranya menerbitkan buku pelajaran.

Dalam kesempatan tersebut, Setia mengatakan, kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) soal buku pelajaran online yang bisa diunduh di internet sangat memukul penerbit. Apalagi ada ketentuan buku online yang dicetak harus dijual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET).

”Terdapat stok buku yang sudah telanjur dicetak dan tidak dapat terjual,” kata Setia.

Menurut Setia, jika 250 penerbit anggota Ikapi masing-masing memiliki stok dua juta eksemplar buku, maka saat ini ada sekitar 500 juta buku yang tidak terjual. Penerbit juga kesulitan menjual buku ke sekolah ada aturan yang melarang guru dan sekolah terlibat dalam proses distribusi buku.

Setia Dharma berharap pemerintah memberikan kesempatan kepada penerbit untuk menjual dan menghabiskan buku yang telah telanjur tercetak dan tersimpan di gudang. ”Berikan kami kesempatan yang sama,” ujar Setia Dharma.

Samuh, Apaan Tuh? Alien Kali Ya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan Kelima tercantum lema samuh, pesamuhan. Berkelas kata nomina, persamuhan berarti pertemuan, persidangan, atau kongres untuk membahas sesuatu. Contoh pemakaiannya dalam kalimat menurut kamus itu: ”Persamuhan Bahasa Indonesia yang kelima diadakan di Jakarta.”

Ketiga kata yang menjelaskan arti lema samuh, persamuhan dapat diperiksa pada lema kata pokoknya masing-masing, tetapi lema-lema ini tidak mencantumkan kata samuh sebagai sinonimnya. Lema itu pun tidak tercantum sebagai sinonim pada lema konferensi, kongres, muktamar, rapat, sidang-persidangan, majelis, dan sebagainya. Tampak bahwa lema itu merupakan kata baru atau lema baru, dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta, lema samuh tak dijumpai.

Dari manakah asal samuh? Pengecekan [samuha] m S An assembly, collection, accumulation, aggregate, generally; a multitude or number, or a mass or heap dilakukan dalam Kamus Bahasa Marathi. Rektor Athenaeum, Pune Prof Dr Noel Sheth yang ahli bahasa Sanskerta lulusan Harvard menjelaskan bahwa akar katanya adalah sam dan uha. Mahasiswa Universitas Pune menjelaskan bahwa arti kata sam adalah ’bersama’, sedangkan uha adalah ’ada, to be’. Maka, samuha berarti ’ada bersama’ dengan keterangan bahwa yang mungkin berada bersama itu bukan hanya benda mati, tetapi juga makhluk hidup.

Samuha berarti to be together dan to deliberate. Kamus besar bahasa Jawa-Belanda susunan JEC Gericke-T Roorda-AC Vreede (Amsterdam, 1875) dengan aksara Jawa untuk lemanya menulis sebagai berikut: samuha, samuwa, samoha: semua, padha (Sanskerta samuha, verzameling [kumpulan], vergadering [rapat, sidang]; menigte [kumpulan, kerumunan]; Mly alles, alle [semua, segala]).

Dari sini muncul kata Jawa pasamuwan, vergadering [kumpulan], vergaderplaats [tempat berkumpul]. Pembicaraan dengan Dr N Tanner dari Universitas Gregoriana dan rekannya mengatakan bahwa sam bersaudara dengan kata Belanda samen, Jerman gesamt, dan Inggris same, terkait bahasa Ugaritik di Siria. Dari sini tampak jelas bahwa kata samuha menyebar ke Barat dan ke Asia Tenggara menjadi kata Indonesia semua dan samuh, kata Jawa pasamuwan [suci] yang berciri bukan hanya ada bersama, tetapi berinteraksi.

Dari segi kebahasaan, lema dalam KBBI itu baru mencantumkan kata samuh dan pesamuhan, sedangkan Dr A Teeuw dalam Kamus Indonesia-Belanda mencantumkan lema samuha Jw, pesamuhan dengan arti bijeenkomst [pertemuan, rapat, dan sebagainya]. Dari segi pembentukan kata Indonesia, lema samuha boleh dijadikan samuh. Dari segi produktivitas pembentukan kata—tanpa anomali!—jika yang dipilih adalah kata samuh sebagai kata (baru) bahasa Indonesia, kiranya lema lebih lanjut harus dapat dibentuk jadi bersamuh, menyamuhkan, persamuhan, pesamuh, penyamuh, penyamuhan, samuhan, disamuhkan, tersamuh, tersamuhkan.

Seluruh sinonim kata yang ada sebagaimana telah disinggung di atas sebaiknya diorganisasi jika sepakat bahwa bahasa adalah suatu sistem komunikasi, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia memang demikian adanya.

Willie Koen Pengamat Perkamusan

Menguraikan Masalah Guru Swasta Yang Dianaktirikan Oleh Pemerintah

Persoalan nasib guru swasta yang merasa dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil kian mencuat ke publik. Polarisasi antara guru swasta dan negeri sebenarnya bukan persoalan utama yang kita hadapi.

Masalah utama yang menjadi pangkal perdebatan adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri, swasta, tetap, maupun honorer.

Dua kekuatan

Sebenarnya, nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini terjadi karena negara berkepentingan hanya mereka yang memiliki kompetensi dan layak mengajar di kelaslah yang boleh berdiri di depan kelas. Karena itu, negara mengatur berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebelum mereka boleh mengajar di dalam kelas. Kualifikasi akademis, sertifikasi, kemampuan sosial, dan keterampilan pedagogis adalah hal-hal yang harus dikuasai guru. Berhadapan dengan aturan negara yang koersif ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain harus menyesuaikan diri. Sebab inilah satu-satunya cara agar profesi guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, masyarakat juga memiliki kekuatan kultur yang menentukan gambaran sosok guru. Guru harus memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan pembelajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya. Masyarakat telah menentukan pola perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru di dalam kelas dan di luar kelas. Bahkan, masyarakat dengan kekuatan kulturalnya mengatur bagaimana guru harus berpakaian. Guru tak bisa seenaknya memakai jenis pakaian tertentu selama mengajar. Pelanggaran atas harapan masyarakat ini membuat individu guru kehilangan integritas.

Berhadapan dengan dua kekuatan ini, guru tidak memiliki kekuatan penawaran, selain mengikuti apa yang ditetapkan instansi di luar dirinya. Tidak jarang, norma sosial yang harus dilaksanakan guru menjadi rambu-rambu yang sebenarnya menjaga martabat guru itu. Ketika ada pelanggaran kode etik yang dilakukan guru, masyarakat akan menilai pribadi itu sebagai kehilangan kualitas keguruan dan dia tidak akan dipercaya. Karena itu, sanksi sosial, baik dari masyarakat maupun negara, sebenarnya bukan bersifat punitif, tetapi juga reparatif, yang membuat status dan martabat guru tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Bagian hakiki

Kekuatan memaksa negara dan kekuatan kultural masyarakat sebenarnya menjadi bagian hakiki yang mewarnai status seorang guru. Karena itu, tiap orang yang ingin menjadi guru harus mempertimbangkan dua tuntutan itu. Guru tidak bisa mengklaim dirinya sebagai guru jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaan individu itu sebagai guru.

Sayang, situasi sosial, politik, dan ekonomi kian membuat status guru terpencil dan terpinggir. Ini terjadi karena tuntutan tinggi yang dipaksakan pemerintah ternyata tidak dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru. Bahkan, ada guru digaji di bawah upah minimum regional. Sedangkan masyarakat, terutama para pemilik yayasan pendidikan swasta, juga tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana untuk mengangkat guru-guru mereka menjadi guru tetap. Minimnya sumber daya yayasan sering menjadi alasan untuk tidak memerhatikan nasib guru, bahkan membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan.

Entah berhadapan dengan kekuatan negara atau masyarakat, guru ada dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban. Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.

Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.

Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.

Dukungan bagi swasta

Ketidakmampuan sekolah swasta dalam membiayai para guru yang bekerja di lingkungannya juga harus menjadi keprihatinan utama pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah juga wajib menjamin bahwa masyarakat yang mengelola sekolah memenuhi persyaratan sesuai standar pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar pelayanan pendidikan, yayasan seperti itu tidak layak melangsungkan pelayanan pendidikan karena akan merugikan masyarakat (menarik ongkos terlalu tinggi), tidak mampu menghargai kinerja guru, dan tidak mampu memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi siswa karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru.

Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Di Papua, ada fenomena, status menjadi guru pegawai negeri banyak diincar sebab tiap bulan mendapat gaji, sementara hadir di sekolah dianggap tidak wajib.

Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Puisi-puisi Yonathan Rahardjo

jago kate menang di rumah sendiri.
labrak sana-sini patuk sabetkan pedang tumpul.
darah bukan karena tajam tapi sekuat batunya gila.
main, menang, main, kalah, main, ko,
main, mati, main, mampus.
apa dicari makin seperti terasi busuk
dimakan lalat malam.
di bawah bertebaran belepotan tai bertaburan
laksana pupuk urea setumpuk nasi impor
bernama mi.

ayam berpacu dari kandang,
teriak ngeri terbilang, ribuan surai melayang,
mana kuping, mana otak, mana dada,
goncang getar otot, koyak buluh darah, lari terlunta.

rajam kasih sayang, ia hidup tapi kami jagal,
ia bergairah tapi kami buat berdarah.
kami mangsa kehidupan, hamba keraguan,
ragu hilang, kala yakin sahabati selera,
ganti aroma, gauli cita rasa, gauli rejan pangkal lidah,
teguk air liur, biar tetesnya antara rasa di lidah,
antara gelisah ganti gairah, dalam mangkuk bubur ayam,
cita rasa rajam dendam, basuh rindu, lupa prosesi,
slalu ingin lagi.

ayam tak sendiri lagi, tlah satu dengan bubur,
garam, bawang putih, kuah sari ayam sendiri,
hancur dan menyatu,

krupuk hidupi, kacang warnai, bawang merah jadi saksi.
ayam sendiri hilang pribadi. enak lezat gurih renyah.
tapi ia bangkai gigit telusur cekik leher lumat isi perut.

penipuan? ya.
pemalsuan? ya.
perusak etika? ya.
penghancur norma? ya.
gimana gak ada yang lapor?
lapor saja.
polisi petugas, pembeli.
lupakan kasihan, iba, ingatan,
ia butuh makan.

cari makan toh bukan dari bangkai.
masa suruh makan.
bangkai tuk beri makan orang miskin melarat.
ia tetap jual dan laku.
murah meriah di warung.
depot restoran siapa tahu?
masa makan bangkai di kedai tak ingat umur.
bangkai, mengapa tak boleh dimakan?
kalau mau kan bisa jadi sumanto?
tuduhan bukan makan bangkai.
tapi penipuan.
ah lemahnya jerat penjaja bangkai
pencuri bangkai
pengibul bangkai.

bau busuk bukan hanya di bangkainya.

depok-jakarta, 2003-2004

donat

wajah yang selalu mengetuk di rongga tubuh tengah
wajah yang selalu menyembul dari dasar mata
wajah mu
tak peduli bintang sudah bercahya di siang
tak ragu menyergap nadi yang tlah muntah
ia yang keluar dari wilayah-wilayah
berlobang
masihlah
kau.

entah kenapa

dalam lobang tengah lingkaran
smua kenangan denganmu
muncul begitu saja

toh smua sperti biasa
kau tetap kau
kau punya rahasia
ku pernah buka
namun kadang lupa
tuk percaya.

:karena mata

jakarta, 2006-2007

emping mlinjo

hidup hanya sebentar
tak guna jalani keliru
maka kita harus saling baik dan
paham dan
terima kenyataan
tentang
kita

sejarah kita
hingga membiji tua
rela ditumbuk
mempe-lempeng derajat
nyaris remuk
turut
memperkaya
kebaikan
di ujung
maut

menteng, 2006-2007
es campur

beres kan?
niat baik kita jelas sudah
didengarnya

sukses segala
untukmu
: kita

ragunan, 2006-2007

es cincau

sahabat atau seorang yang istimewa
itu alami

sejarah yang bicara

yang harus kita lakukan sekarang
cukup berbuat baik

sebagai ganti
dicuci dan diremas
diendap dan dikeras
nya
aku

bercinta dengan
direbus dan dikental
dibakar dan diparut
dikental dan digaram
nya
kamu

di masa
:lalu

menteng-ragunan, 2006-2007

es degan

tulang tusuk dadaku menahan getar jantungku
otot dadaku menampik hasratku
daging rongganya menolak lebam dari dalamku
kain baju menghempas desis auraku
langit-langit rumahku memantulkan pujianku
otak kumalku membikin mereka tak berdaya
bagaimana bola kristal ini bisa melambung?
kalau padat intinya tak berputar dengan plasma dan
sito-nya?
siti dan situ jadi satu pun tak mampu membuat air ini
menderas ke angkasa
terlalu kuatlah gaya tarik tanah tempat kakiku
bertapak.

ragunan, 2003

es doger

dihisap tanah kering kelapa muda kerok
tape singkong potong dadu
dan ketan hitam kukus

air bah es batu kepruk pun keringlah

keagungan sirup pisang ambon,
susu kental manis, santan dan tape singkong
jadi milik kekeringan

kemelaratan pun jadi milik air
melimpah

apa boleh buat,
kekeringan nan agung
kawan dekat limpahan air

: dalam satu sajian

jakarta, 2005-2007

es goreng

panas! udara fikir keringat mengalir!
kuusap dahi dengan tangan kotor
apakah jadikannya bersih?
ya, setidaknya keringat lepas
pori-pori kulit terhembus udara segar
di bis-bis kota besar
yang sesak penuh
energi panas segar memang
: hiburan!

maka es pun
: digoreng

jakarta, 2005-2007

es kacang merah

apa yang lebih nikmat dari tidur
selain melepaskan diri dari warna

merah kacang bertutur air panas mekar
cuci bersih, tiriskan, rebus empukkan
lalu kembali tiriskan
gapai impian

istirahat hancur sementara kacang merah
tiada beda dengan
istirahat susu dan gula pasir
istirahat usai masak hingga mendidih
istirahat larutan tepung maizena diaduk rata
istirahat krim kental
meski dibangunkan masak panas mendidih
dan ditenangkan dalam cetakan es loli
dibekukan stik es dalam freezer
pembeku

:abadi

jakarta, 2005

Posisi Penulis Dalam Industri Penerbitan Masih Lemah

Posisi penulis buku masih lemah dalam rantai industri perbukuan. Hubungan antara penulis dan penerbit kerap hanya berdasarkan kepercayaan dan penulis sering dirugikan oleh penerbit yang kurang profesional, terutama dalam persoalan royalti hasil penjualan buku.

Pakar pendidikan yang telah menulis 20 judul buku, Prof HAR Tilaar, mengatakan, Jumat (14/11), hubungan penulis dengan penerbit sering hanya berlandaskan kepercayaan. Tilaar pernah mengalami, penerbit tidak memenuhi kewajibannya. Padahal, buku itu termasuk laku. ”Penerbit kabur begitu saja, entah apa masalahnya,” ujarnya.

Penulis, terutama buku ilmiah, juga tidak mendapatkan penghasilan memadai. Penulis biasanya mendapatkan royalti sekitar 10 persen dari harga jual atau sistem lain sesuai kesepakatan dengan penerbit. ”Persentase itu dengan perhitungan penerbit sudah menanggung beragam biaya. Padahal, untuk tembus angka 3.000 eksemplar saja sangat sulit. Ini mengakibatkan ilmu sosial dan alam yang cepat perubahannya, kurang berkembang di Tanah Air,” katanya.

Penerbit harus transparan

Berkaitan dengan rencana membentuk lembaga yang menangani hak cipta penulis buku, HAR Tilaar berpendapat, kebijakan perbukuan harus secara komprehensif dibenahi. Pemerintah harus mendukung biaya produksi buku murah dengan menghilangkan pajak-pajak terkait. Penerbit sendiri harus transparan dan memenuhi kewajibannya terhadap penulis.

Hal senada diungkapkan Rhenald Kasali, pengajar Manajemen Perubahan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Terkait royalti, misalnya, penulis bergantung kepada kejujuran dan transparansi penerbit. Penulis sulit mengakses data penjualan buku. ”Yang diberikan ke penulis biasanya data versi penerbit, bukan hasil audit lembaga terpercaya. Di dalam kontrak tercantum, jika terjadi perselisihan, penulis dapat menunjuk auditor untuk memeriksa. Tetapi, penulis belum tentu mampu membayar auditor profesional,” ujarnya.

Rhenald Kasali telah menulis 15 judul buku, di antaranya yang mencapai angka penjualan baik adalah Change! (2005) dan Re-Code Your Change DNA (2007). Judul terakhir terjual sekitar 30.000 eksemplar.

Sekjen Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Wanti Syaifullah mengatakan, hubungan penerbit dan penulis umumnya didasari rasa saling percaya. Penerbit, dengan visi jangka panjang, tidak akan merugikan penulis karena akan berpengaruh pada kerja sama di masa depan.

Bahasa Indonesia Salah Satu Rumah Menangis

Di koran Kompas edisi ”daring” (dalam jaringan), kalimat seperti ini dapat dibaca beberapa jam menjelang pemilihan umum Amerika Serikat: ”Rumah yang pernah ditempati oleh salah satu calon presiden AS, Barrack Obama di kawasan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat sedang berduka.” Ini kalimat pertama dalam suatu artikel. Tak jarang pembaca tak sempat membaca semua artikel di koran dan, karena itu, ia merasa cukup hanya membaca judul berita dan satu atau dua kalimat pertama.

Kira-kira apa yang terjadi di benak pembaca jika dia berhenti membaca artikel tadi setelah kalimat pertama? Kendala bahasa pertama yang muncul setelah meletakkan koran ialah salah satu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu berarti 'satu di antara yang ada'. Jika ucapan salah satu digunakan, pasti ada lebih dari satu hal, barang, atau orang yang terlibat dalam pembahasan. Calon presiden AS memang ada dua, tapi setahu saya hanya satu di antaranya yang pernah bertempat tinggal di Jakarta, yaitu Pak Obama. Dengan demikian, salah satu dalam kalimat di atas tidak ada fungsinya sama sekali.

Tentu bukan hanya Kompas yang melakukan kekeliruan seperti ini. Sebaliknya, kegalatan sejenis cukup biasa terjadi pada koran lain. Masalah ini juga mirip dengan soal kebahasaan lain, yaitu perbandingan. Cukup sering saya membaca mengenai hal-hal yang lebih besar, lebih banyak pilihannya, lebih keren, dan seterusnya, tapi tidak jarang tidak disebut apa yang jadi patokan perbandingan. Lebih banyak pilihannya daripada apa? Lebih keren daripada apa? Siapa yang sudi membeli sepeda motor baru hanya karena lebih keren jikalau belum tahu lebih keren daripada apa?

Kembali ke laptop. Rintangan kebahasaan kedua dalam kalimat itu (selain pemakaian tanda koma, tapi masalah itu bisa kita abaikan sekarang) adalah pertanyaan siapa yang sedang berduka. Siapa, ya? Menurut logika kalimat di atas, yang sedang berduka ialah rumah yang pernah ditempati Pak Obama. Saya meragukan kemampuan sebuah rumah mengungkapkan perasaan begitu. Kalaupun bisa, kira-kira apa yang ditangisi si rumah? Atap bocor gara-gara hujan yang kelewatan? Salah satu kacanya pecah? Tumbuhan di halamannya tak berkembang dengan subur? Merindu pada si Barack semasa dia kecil? Tidak. Rumah di atas sedang berduka karena sang pemilik rumah meninggal dunia, seperti dinyatakan dalam kalimat kedua artikel yang sedang dibahas. Saya masih meragukannya, tapi sudahlah.

Terpeleset kulit pisang dalam berbahasa gampang sekali dan itu sering terjadi dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Berhubungan dengan hari kasih sayang beberapa tahun silam, dikatakan bahwa sebuah toko sepeda motor memasang papan besar di jendelanya: ”Hadiah langsung bagi pembeli cewek hari ini!” Wah, siapa yang mau membeli cewek? Kira-kira apa hadiahnya? Ngomong-ngomong, tentu sebuah toko tidak bisa memasang papan!

Dua contoh terakhir ini bisa dibilang salah mengacu, kurang jelas, atau malah menyesatkan. Apakah arti ”Bebas rokok” yang tertulis pada sebilah papan? Apakah lingkungan di sekitarnya daerah yang bebas dari asap rokok dan semua kegiatan yang berhubungan dengannya, ataukah ini daerah yang pemiliknya menyambut dengan gembira kegiatan rokok-merokok? Apakah daerahnya harusnya bebas dari rokok, atau bebas dari larangan merokok?

Andre Moller Penyusun Kamus Swedia-Indonesia

Penerbitan di Daerah Tidak Berkembang Karena Kualitas Sumber Daya Manusia Jadi Kendala

Penerbitan di daerah-daerah belum tumbuh dan berkembang, baik untuk penerbitan buku fiksi, nonfiksi, maupun buku pelajaran sekolah. Padahal, perkembangan industri kreatif penerbitan memeratakan akses pengetahuan dan bisa berdampak ekonomi besar.

Demikian terungkap dalam pembukaan Indonesia Book Fair ke-28, Rabu (12/11). Pekan raya buku tersebut diikuti lebih dari 180 perusahaan dan tahun ini mengambil tema The Heritage of Ranah Minang.

Empat tahun ini, kegiatan tahunan tersebut mengambil tema pelestarian kekayaan kebudayaan daerah. Beberapa tema sebelumnya: The Rise of Aceh (2005), The Growth of Papua (2006), dan Gorontalo The Hidden Paradise (2007). Selain pameran, terdapat pula penjualan buku, peluncuran buku, workshop, sumbang buku, dan diskusi di acara itu.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Setia Dharma Madjid, seusai pembukaan, mengatakan, sebagai gambaran, dari total jumlah anggota Ikapi sebanyak 900 penerbit hanya sekitar 10 persen atau 90 penerbit yang berada di luar Jawa. Penerbit itu ada di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Bali.

Kurangnya sumber daya manusia guna memulai usaha penerbitan menjadi salah satu penyebab. Penerbitan merupakan industri yang membutuhkan kreativitas, mulai dari mencari penulis berbakat, menyeleksi naskah, hingga mengeditnya. Faktor pendukung tumbuhnya industri penerbitan di daerah juga terbilang minim. ”Terkadang harga kertas di daerah lebih mahal dibandingkan di Jakarta atau di daerah lain di Pulau Jawa. Belum lagi pembayaran pajak, termasuk pajak penghasilan bagi pengarang,” katanya.

Peran pemerintah daerah

Setia Dharma mengatakan, untuk menumbuhkan industri penerbitan di daerah dibutuhkan peran besar pemerintah. Pemerintah daerah harus mulai membina penerbit di daerahnya.

”Pemerintah daerah dapat menghimpun karya penulis daerah atau meminta mereka menulis. Naskah disimpan di perpustakaan daerah, untuk kemudian diterbitkan secara bertahap,” ujarnya.

Bisa pula pemerintah menyiapkan dananya. Naskah kemudian diserahkan ke penerbit lokal yang ada, atau didorong agar muncul penerbit lokal baru.

Setia Dharma mengatakan, perpustakaan di daerah juga perlu menyisihkan sekitar 30 persen dari anggaran mereka untuk membeli buku dengan materi lokal yang diterbitkan penerbit daerah. Jika terdapat stimulasi tersebut, dipastikan kian banyak penerbit, percetakan, dan penulis bermunculan. ”Produksi buku di daerah juga memangkas biaya distribusi sehingga harga buku lebih murah,” ujarnya.

Dalam pidato pembukaan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi yang dibacakan Staf Ahli Bidang Pemerintahan Gubernur Sumatera Barat, Sultani Wirman, terungkap, kendala pembangunan sumber daya manusia tak lepas dari kesenjangan distribusi antara kota dan desa. Minat baca yang kurang di daerah menjadi kendala lain.

Jejak Tradi Bahasa Seni Rupa Indonesia Lama

Judul: Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama
Penulis: Wiyoso Yudoseputro
Penerbit: Yayasan Seni Visual Indonesia, Fakultas Film dan Televisi IKJ, Fakultas Seni Rupa IKJ, Koperasi Sinematografi IKJ
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xxvi + 244 halaman

Kemajemukan yang menjadi ciri dasar kebudayaan Indonesia telah melahirkan berbagai jenis dan bentuk ekspresi seni rupa Indonesia lama. Berdasarkan karya yang ditemukan, seni rupa Indonesia dibagi menjadi empat zaman, yaitu kebudayaan prasejarah, purba, madya, dan zaman baru atau modern. Keragaman karya seni rupa dari masa prasejarah, Klasik Hindu, dan Islam, tidak hanya timbul karena pengaruh budaya asing secara tidak merata, tetapi juga karena proses kelahiran dan perkembangannya dipengaruhi lingkungan alamnya.

Jati diri seni rupa Indonesia-Hindu diidentifikasikan sebagai local genius yang mengalami proses akulturasi dan inkulturasi selama berabad-abad. Manifestasi dan keragaman gaya ekspresinya berlandaskan kesinambungan nilai-nilai tradisi seni asli Indonesia yang diperkaya dengan unsur seni dari luar seperti dari Cina dan Campa.

Corak kebudayaan feodal zaman Hindu masih dipertahankan dan mewarnai bentuk ungkapan seni zaman kekuasaan raja-raja Islam. Pembentukan budaya Islam yang berasal dari India dan Gujarat menjadikan kebudayaan Hindu-Parsi ikut mewarnai kebudayaan Islam di Indonesia. Tradisi Hindu yang didominasi oleh ragam hias floralistis menjadi gaya khas seni hias Islam di Indonesia.

Dokumentasi karya seni ini menunjukkan pluralitas gaya ekspresi seni rupa Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial kehilangan makna sebagai hasil kesinambungan tradisi yang mampu menghasilkan ciptaan baru. Persinggungan dengan kebudayaan Eropa yang hanya didasari kepentingan perdagangan dan militer saja mengakibatkan kebudayaan barat tidak berhasil membentuk kesenian dengan nilai artistik utuh. Bentuk karya cipta seni rupa yang menyerupai budaya barat hanya merupakan peniruan kesenian asing tanpa melali proses akulturasi.

Jejak Bakti Pamong Praja Di Tanah Papua

Judul: Bakti Pamong Praja Papua: Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia
Penulis: Leontine E Visser & Amapon Jos Marey
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, Oktober 2008
Tebal: xvii + 451 halaman

Publikasi ini memberikan gambaran posisi dan kontribusi pamong praja orang Papua dalam struktur administrasi pemerintahan di Nederlands Nieuw-Guinea pada periode 1950-1962. Gambaran ini dirangkum dari pengalaman 17 pamong praja orang Papua yang sebagian besar adalah lulusan OSIBA (Opleiding School voor Inhemse Bestuurs Ambtenaren atau Sekolah Pendidikan Pamong Praja Papua) di Abepura.

Kompleksitas permasalahan dengan penduduk dan luasnya wilayah Papua memberikan kesan tersendiri bagi para bestuursambtenaar (pegawai pamong praja). Pengalaman Alex Sawaki, misalnya, yang berusaha masuk dan memahami masyarakat lewat sosok guru.

Strategi ini didasari kepercayaan masyarakat, terutama di kampung-kampung yang lebih menghargai guru. Lain lagi pengalaman Lambert Marani. Dia menceritakan pengalamannya mengurusi administrasi catatan sipil yang tertib pada masa itu. Di bagian lain, Marani juga berkisah tentang nuansa demokrasi saat pemilu Nieuw-Guinea Raad di Dafonsoro.

Saat-saat menjelang penentuan pendapat rakyat juga membawa perubahan besar bagi sistem pemerintahan kala itu. Dirk Bernadus Urus mengungkapkan, pada masa UNTEA (Badan Pelaksana Sementara PBB), sistem pemerintahan Belanda masih berlaku. Pegawai-pegawai Trikora yang didatangkan oleh Indonesia masih menyesuaikan diri. Pegawai bekas Belanda dilengserkan dan pegawai pemerintah (Belanda) seperti dirinya harus mengikuti penataran, pelatihan, serta kursus-kursus yang diberikan Pemerintah Indonesia