Ayu Utami Ingin Semua Perempuan Bebas Dari Rasa Takut

Ayu Utami pernah menjadi wartawati beberapa berita mingguan. Ayu kemudian bergiat bersama para aktivis, termasuk bergabung bersama para jurnalis yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Ayu kemudian mengemuka sebagai novelis setelah novel pertamanya, Saman, menjuarai sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta pada 1998. Setelah itu novel-novelnya, Larung dan Bilangan Fu, hadir mewarnai kancah sastra Indonesia dengan gaya Ayu yang gamblang, terus terang, termasuk terkait isu gender, seks, dan spiritualisme.

***

Kak Ayu, kira-kira apa kiat jadi penulis yang produktif, sekaligus berbobot? Jujur saya kagum dengan novel Kak Ayu berjudul Bilangan Fu yang turut mewarnai dunia sastra Indonesia. Saya juga kebetulan mengikuti salah satu lomba yang dijurikan Kak Ayu. (Daniel Hermawan,xxxx@gmail.com)

Wah, kamu mengikuti lomba tulis yang saya jurikan? Aduh, antara peserta dan juri tidak diadakan surat menyurat, nih. He-he-he.

Tiga kiat menjadi penulis yang produktif dan berbobot: pertama, jadilah pembaca. Penulis harus banyak membaca. Membaca membuat kita punya banyak ide. Jadi, jangan narsis dan hanya pengin dibaca. Baca juga orang lain. Kedua, berdisiplin. Jangan hanya menulis kalau ada mood. Menulislah tiap hari. Kedua, jangan takut. Jangan takut kalau tulisan kita akan diejek, ditolak, atau dihujat orang. Juga jangan takut kalau terpaksa menulis malam-malam, sendirian….

Sudahkah Anda mengakhiri hidup lajang? Apakah itu sudah ”membatu”? (Wardoyo, Probolinggo)

Soal melajang. Hidup lajang yang saya pilih adalah ”keputusan politik”. Saya tidak anti-pernikahan, sejauh pernikahan itu melindungi pihak yang lemah. Pihak yang lemah dalam masyarakat patriarkis umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Kenyataannya, perkawinan sering kali malah jadi lembaga yang menindas perempuan dan anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) paling sering dilakukan suami terhadap istri dan anak- anak. Karena itu, harus ada kritik yang terus-menerus untuk memperbaiki struktur lembaga perkawinan.

Kenapa Mbak Ayu tertarik jadi novelis, padahal sebelumnya Anda adalah seorang jurnalis? (Arif Maulana, xxxx@yahoo.com)

Saya suka membaca novel sejak kecil. Itu yang membuat saya pengin bikin novel juga. Saya pernah gagal menerbitkan novel. Karena itu, saya jadi wartawan.

Lalu, sebagai wartawan pada era Presiden Soeharto saya juga jadi aktivis, memperjuangkan kebebasan informasi. Kami mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, yang dianggap melawan pemerintah. Karena itu, kami dihukum. Beberapa teman saya masuk penjara. Saya hanya dipecat dari media tempat saya kerja. Nah, karena tak bisa jadi wartawan lagi, saya kembali menulis novel. Dulu gagal jadi novelis terus jadi jurnalis. Kini terbalik. Gagal jadi wartawan lalu jadi sastrawan. Namun, dunia jurnalistik membuat saya punya disiplin dan lebih matang sehingga kali ini saya berhasil jadi novelis.

Di dalam Bilangan Fu, Kak Ayu memasukkan dan menulis nama ”Ayu Utami” sebagai bagian dari cerita. Menurut Kak Ayu, apa perbedaan mendasar antara karya fiksi dan non-fiksi? (Yodie Hardiyan, Salatiga, xxxx@yahoo.co.id)

Dengan kata ”fiksi”, artinya karya tidak harus sesuai dengan kenyataan obyektif. Namun, kalau ada kesesuaian, ya, enggak apa-apa. Banyaknovel yang menggunakan tokoh dan peristiwa sejarah. Tengoklah karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan YB Mangunwijaya, misalnya. Toh, meskipun nama-namanya ada betulan, penulis membikin tafsir bebas atas karakter dan kejadian itu. Kan, tidak untuk diuji di sidang tesis! Yang jelas, fiksi itu lebih bebas dari pada nonfiksi. Lebih asyik!

Setahu aku novelis-novelis yang bermutu seperti Mbak Ayu Utami di Indonesia ini masih segelintir saja. Apa sih penyebabnya? (Thomas Salvatore DF, Bandung)

Terima kasih, Thomas. Memang novelis di Indonesia masih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk kita yang sudah lebih dari 200 juta orang. Itu karena bangsa ini tidak betul-betul diajar untuk membaca. Kebanyakan orang lebih senang menonton televisi daripada membaca. Orang yang tak biasa membaca pasti tidak bisa menulis. Orang yang hanya biasa dengar gosip pasti tidak biasa berpikir jernih. Padahal, pikiran jernih dibutuhkan untuk menulis buku.

Sebagai seorang penulis novel, bagaimana cara Mbak Ayu Utami supaya selalu mendapatkan ide yang fresh dan selalu menarik untuk dibaca? (Nemesius Pradipta II, Jakarta)

Caranya: tertariklah kepada orang lain. Kalau kita narsis, atau kenarsisan, alias terlalu tertarik kepada diri sendiri, kita bisa cepat kehabisan bahan. Namun, kalau kita tertarik kepada orang lain, mempelajari mereka, membaca mereka, niscaya kita punya banyak sekali bahan tulisan.

Apakah pendapat Anda mengenai seks sebelum menikah? (Rosa Nova D, Cinere, Depok)

Apa itu seks sebelum nikah? Apa bedanya dari seks di luar pernikahan? Cara kita merumuskan pertanyaan bisa jadi mengandung bias-bias tertentu. Sering kali orang menghujat seks sebelum nikah, tetapi lupa bicara tentang seks yang dilakukan para suami di rumah-rumah hiburan atau perselingkuhan mereka dengan bawahan di kantor. Para suami itu, kan, sudah menikah, jadi tidak melakukan seks sebelum nikah. Toh, mereka melakukan hal yang tidak menghormati istri mereka.

Biasanya orang mengatakan ”seks sebelum nikah” merujuk pada seks di kalangan remaja. Saya ingin mengatakan, seks itu berisiko. Karena itu, sebaiknya remaja yang umumnya belum bisa menanggung risiko itu jangan melakukan hubungan seks. Namun, saya juga tidak setuju pernikahan di bawah umur. Itu namanya meresmikan hubungan seks untuk anak-anak yang belum siap mengelola risikonya.

Dear Ayu, saya suka dengan gaya tulisan Anda. Bagaimana, sih, cara meyakinkan penerbit besar bahwa naskah kita itu layak muat? (Gregorius Subanti, xxxx@mq.edu.au)

Terima kasih, Greg. Penerbit besar biasanya sudah punya pengalaman mengenai mana yang menarik, mana yang tidak. Meski begitu, mereka tidak selalu benar. Harry Potter, misalnya, pada awalnya ditolak oleh banyak penerbit Inggris.

Berhadapan dengan penerbit besar, penulis baru sering harus banyak mengalah. Namun, sekarang sebetulnya bisa saja penulis menerbitkan buku sendiri. Tidak mustahil, kok. Memang harus punya sejumlah uang untuk menerbitkannya. Distribusinya bisa diserahkan kepada agen atau distributor. Promosinya lewat Facebook dan jejaring sosial lain. Memang, kalau tidak laku, risiko tanggung sendiri.

Cara lain, seperti yang saya alami: ikut lomba, menang, dan penerbit akan datang sendiri!

Kalau mau laku, ikuti tren pasar. Namun, bahayanya, penulis bisa kehilangan otentisitas dan tidak punya karakter. Selera pasar selalu berubah-ubah.

Gimana caranya supaya karya kita dilirik orang? Kasih tahu, ya, resepnya. Kalo boleh, saya pengin kontak langsung. (JW Harnas Putra, Bogor)

Caranya? Sama seperti gimana supaya kita dilirik orang. Setidaknya ada dua alasan kenapa kita dilirik: pertama, karena keren atau cantik atau ganteng. Kedua, karena punya karakter kuat. Kalau tidak punya karakter kuat, kamu harus jadi keren. Keren, dalam hal ini, maksudnya memenuhi selera umum pasar. Sayangnya, selera umum pasar bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Satu kali mereka doyan seks, kali lain mereka doyan beragama. Pandai-pandailah menyesuaikan diri. Saya sih memilih punya karakter kuat daripada harus memenuhi selera umum.

Resep lain bisa lihat di http://www.ayuutami.com, ya, Jim.

Anda memilih tidak menikah. Apa yang membedakan pilihan Anda dengan para biarawati yang juga tidak menikah? (Lilik Sujamro, xxxx@yahoo.co.id)

Biarawati mempersembahkan kemurniannya bagi Tuhan. Saya tidak. Saya mengagumi para biarawati. Malah, waktu kecil saya pernah ingin jadi biarawati (penyanyi Madonna juga pernah ingin jadi biarawati).

Namun, selain tak sanggup, ada banyak persoalan yang harus saya jawab yang membuat saya memutuskan untuk tidak menjalani kemurnian itu.

Misalnya, sejak kecil, saya melihat begitu banyak perempuan yang tertekan karena tidak kunjung dapat suami. Mereka dilecehkan masyarakat, dianggap tidak laku, cerewet, judes, dan sebagainya. Stigma itu membuat perempuan jadi takut jika tidak menikah. Karena ketakutan itu, mereka memilih menikah meskipun dengan lelaki yang suka memukuli mereka.

Nah, saya ingin perempuan bebas dari rasa takut itu. Sederhananya, saya ingin menunjukkan bahwa tidak punya suami bukanlah hal yang mengerikan dalam hidup. Saya ingin semua manusia bebas dari rasa takut. Saya ingin kita berbuat baik bukan karena takut, melainkan karena masing-masing kita membutuhkan belas kasih dari manusia lain.

Apakah Anda berminat membuat film yamg mengangkat cerita kaum lajang? (Avilla AM, Jakarta, xxxx@yahoo.com)

Wah, saya tidak bisa membuat film sendirian. Biayanya besar sekali. Mencari pemodalnya akan lebih lama daripada menulis naskahnya. Mungkin Nia Dinata yang bisa membuat film itu. Dia punya modalnya dan sangat peduli soal gender dan perempuan.

Sering ada orang yang menampilkan hasil karya tulisnya di Facebook atau Twitter demi mendapatkan opini dari masyarakat sebelum menerbitkan karyanya. Pertanyaan saya: apakah cara ini tidak berkesan membocorkan alur cerita dan membuat masyarakat malas membaca versi aslinya? (Henry Kurniawan, xxx@gmail.com)

Setiap toko punya etalase. Setiap film punya teaser. Setiap pemancing punya umpan. Saya kira, ”bocoran” di Facebook atau Twitter bisa berguna sebagai umpan agar calon pembaca tertarik. Kalau mereka tertarik, kemungkinan besar mereka akan mencari versi lengkapnya. Jadi, kalau menggunakan dengan tepat, apa pun bisa jadi baik.

Saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada semua penulis termasuk Ayu Utami yang mencerahkan bangsa ini melalui goresan penanya. Semoga tulisannya bisa memandu bangsa keluar dari keabu-abuan. Percikan apa yang mengawali Anda menulis dan apa target terbesar yang belum tercapai? (Jhon Rivel Purba, Padang Bulan, Medan)

Terima kasih, Jhon. Waktu kecil saya mulai menulis karena senang menulis. Ketika saya sudah jadi jurnalis, lantas jadi novelis, saya sering sekali menulis karena gelisah atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Misalnya, ketidakadilan ekonomi terhadap petani kecil dan ketidakadilan budaya terhadap perempuan membuat saya menulis Saman.

Kekerasan atas nama agama membuat saya menulis Bilangan Fu. Jika dunia ini sudah adil, saya pasti akan senang membikin komik yang lucu-lucu, seperti Tintin, Lucky Luke, Asterix dan Obelix, Doraemon.

Di mata saya, Mbak Ayu adalah penulis terhebat dan tergila di negeri ini. Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana semua fantasi tulisan Mbak bisa hadir dalam pikiran Mbak? (Angela Sawangie, Jakarta, xxxx@yahoo.com)

Terima kasih, Angela. Saya bisa berfantasi berkat orangtua saya yang tidak pernah melarang atau menyalah-nyalahkan saya karena fantasi yang aneh. Setiap anak punya fantasi aneh, tetapi sering kali kemampuan berfantasi itu dimatikan oleh orang dewasa.

Saya sudah membaca novel Mbak Ayu, Bilangan Fu. Isinya sangat menarik untuk memperkaya spiritualisme kita. Sedikit yang ingin saya tanyakan, dalam novel ini saya ”mencium” Mbak Ayu seakan mengampanyekan sesuatu yang anti-Tuhan yang monoteisme, bahkan hidup tanpa Tuhan. Sebetulnya secara pribadi bagaimana ketuhanan dalam diri Mbak Ayu? (Heru Heu, Solo, xxxx@yahoo.com)

Mas Heru…, Anda pasti tidak membaca Bilangan Fu dengan saksama. Sebab, dalam Bilangan Fu saya jelas membedakan antara sikap anti dan sikap kritis. Sikap anti artinya menolak. Sikap kritis bukan begitu. Sikap kritis adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dan keraguan dengan tulus, tanpa maksud jahat ataupun kesombongan. Karena itu, dalam Bilangan Fu, saya mengajukan istilah ”spiritualisme kritis”. Di dalamnya, kita bisa tetap beriman sekalipun kita punya keraguan. Kita tak perlu takut jika kita ragu. Kita bisa tetap menggugat konsep dan dogma agama, sembari menyediakan sebuah ruang di hati untuk adanya misteri ilahi. Dalam ”spiritualisme kritis”, yang harus dihilangkan adalah arogansi. Jangan takut untuk menggugat, asal bukan dengan maksud jahat. Jangan takut untuk beriman, asal bukan dengan kesombongan.

Leave a comment